LIFE

28 Oktober 2020

Menilai Apa yang Disebut Mewah


Menilai Apa yang Disebut Mewah

Mengendarai mobil mewah, bersantap di restoran fine dining, atau memakai gaun mahal dari rumah mode ternama? Pemikiran tentang hal paling mewah di dunia. Oleh INDRA HERLAMBANG.

Jika ingin melihat barang branded bertebaran, silakan mampir ke ruang makeup acara televisi yang diisi oleh banyak selebriti. Di ruangan penuh cermin itu, kita bisa melihat beragam item fashion dan aksesori mahal yang sedang berlomba menjerit untuk minta diperhatikan. Tidak perlu disangkal lagi, kalangan pesohor memang sering dianggap sebagai pencinta hal-hal inggil dengan kualitas tinggi. Mungkin karena tuntutan profesi, kegemaran pribadi, atau semata demi memenuhi kuota gengsi. Apapun alasannya saya tidak terlalu peduli.

elle indonesia januari 2020 - styling GISELA GABRIELLA photography HILARIUS JASON PRATANA
styling GISELA GABRIELLA photography HILARIUS JASON PRATANA untuk ELLE Indonesia edisi Januari 2020

Yang pasti suatu hari ketika shooting, mata saya nyaris meloncat keluar dari tempurung kepala, saat melihat sepasang sepatu hak tinggi bertengger manis di atas meja. Ya. Di atas meja. Bukan di dalam kotaknya. Tidak pula terbungkus kantong kain selembut sutra. Tapi terpampang telanjang, sejajar dengan alat-alat makeup, baju-baju, aneka tas, dan setumpuk makanan. Saya tahu, stiletto bermerek kesukaan Carrie Bradshaw itu masih sangat baru dan harganya pun bisa membuat semua sepatu lain tertunduk malu. Namun apakah pantas mengingkari kodrat alas kaki dan meletakkannya di tempat yang lebih tinggi hanya karena kedua hal itu?

Sepatu mahal tadi sontak kehilangan harga. Karena yang saya lihat bukan lagi mewahnya sebuah barang, tapi murahnya perilaku seseorang.  Saya jadi bertanya-tanya, apa sih yang membuat sesuatu layak disebut sebagai sebuah kemewahan? Apakah hanya sekadar persoalan nominal, kualitas, kelangkaan atau proses pembuatan? Jika begitu, kenapa ada barang mahal yang bisa terlihat murah dan sebaliknya, banyak hal sederhana yang justru terkesan amat mewah? Jangan-jangan persoalan harga dan perasaan memang harus dipisahkan?

Menurut analisa dangkal saya, sesuatu bisa bernilai lebih tinggi bukan semata karena banderolnya saja, tetapi karena tiga hal; pengalaman, pengakuan dan kenyamanan. (Sebelumnya mohon diingat, saya bukan ahli ekonomi atau psikologi. Ini hanyalah pengamatan cemen dari kacamata minus saya yang sebenarnya lumayan mahal...tapi hasil endorse, sis!)

styling GISELA GABRIELLA photography HILARIUS JASON PRATANA
styling GISELA GABRIELLA photography HILARIUS JASON PRATANA untuk ELLE Indonesia edisi Januari 2020

Mari kita mulai dengan poin pertama, pengalaman. Anda pasti setuju, shopping is an experience. Menikmati setiap proses belanja punya harga tersendiri. Murah atau pun mahal, barang yang kita beli semakin lama semakin aus dan usang, tapi memori tentang perjalanan waktu membelinya mungkin bisa bertahan lebih lama dan memberi rasa hangat di dada setiap kali dikenang. Karena itulah gaun Oscar de la Renta yang dibeli di flagship store termegah bisa sama berharganya dengan sebuah cropped tee vintage superstylish yang didapat dari hasil perjuangan susah-payah thrifting di Pasar Senen seharian. Effort-nya itu loh yang bikin mahal. Iya, kan?

Lalu setelah kita membeli sesuatu dan menikmati pengalamannya, apa yang bisa membuat barang tersebut terasa semakin mewah dan berharga? Salah satunya adalah saat orang lain memberikan pujian atau pengakuan atas hal yang kita banggakan.

Itulah kenapa Lamborghini Veneo Roadster akan lebih ‘wah!’ Ketika menderu bersisian dengan kendaraan-kendaraan ‘jelata’ di jalan raya, ketimbang jika hanya diparkir teronggok di garasi rumah saja. Paling tidak fotonya diunggah ke Instagram lah, untuk memancing likes dan komentar netizen yang selalu meriah.

Pamer? Bisa jadi. Tapi mari kita bersama membela diri dengan menyebutnya sebagai kegemaran berbagi. Terus apa hubungan antara kemewahan dan kenyamanan? Bukankah yang lux sudah pasti nyaman, sementara yang murah biasanya membutuhkan lebih banyak pemakluman?

styling GISELA GABRIELLA photography HILARIUS JASON PRATANA
styling GISELA GABRIELLA photography HILARIUS JASON PRATANA untuk ELLE Indonesia edisi Januari 2020

Ternyata pada kenyataannya, begitu faktor kenyamanan dipertimbangkan, garis yang memisahkan antara sesuatu yang mewah dan tidak, akan semakin nampak buram. Contohnya cerita seorang sahabat yang mengungkapkan kekecewaannya saat mengajak orangtua makan malam di sebuah restoran fine dining termahal. “Enggak berasa sama sekali mewahnya. Bokap-nyokap malah ngerasa kikuk karena gak tahu gimana cara makannya.”

styling GISELA GABRIELLA photography HILARIUS JASON PRATANA
styling GISELA GABRIELLA photography HILARIUS JASON PRATANA untuk ELLE Indonesia edisi Januari 2020

Kemewahan yang diharapkan, seketika hilang makna karena persoalan tata cara. Sendok mana yang harus digunakan duluan? Garnish mana yang bisa dimakan? Apakah boleh berbincang dengan suara kencang di tengah ambience musik klasik yang tenang? Semua pertanyaan ini malah membuat suasana jadi tidak nyaman.

Beberapa minggu kemudian dia mengajak orangtuanya untuk makan di tempat yang lebih sederhana, di mana mereka bisa bersantap lahap menggunakan tangan dan ngobrol sambil tertawa-tawa tanpa ada batasan. Akhirnya dia pun menyimpulkan; “Ternyata yang mewah bukan tempat makannya. Tapi bisa nikmatin quality time bareng sama mereka dengan nyaman. Itu yang mahal.” Setuju atau tidak dengan analisa tulisan ini, rasanya kita semua bisa sepakat, bahwa terkadang hal termewah di dunia adalah sesuatu yang begitu sederhana hingga sering kita remehkan. 

Seperti keluarga.

Dan waktu.