17 Agustus 2021
Najwa Shihab: Meneriakkan Kebenaran Demi Menggagas Perubahan
Lewat jalur jurnalistik, Najwa Shihab menerobos kebuntuan dan menggagas perubahan dengan cara memekikkan kebenaran secara lantang.
Jurnalis perempuan paling berbobot di Indonesia saat ini. Sosok yang cerdas sekaligus lugas dalam menjalankan profesinya di bidang media. Najwa Shihab menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada 2008, ia meraih beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Melbourne University dan menerima gelar magsiter hukum dari universitas tersebut. Najwa merintis kariernya sebagai jurnalis di Metro TV pada tahun 2000. Diawali dengan menjadi reporter, menjadi produser sekaligus pembawa acara Mata Najwa, hingga pernah menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Metro TV. Ia merupakan jurnalis pertama yang melaporkan secara langsung bencana tsunami Aceh pada Desember 2004. Najwa kemudian memperoleh penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia Pusat dan menerima National Journalism Award dari Indonesia Journalist Association untuk laporan-laporannya tentang tsunami Aceh tersebut.
Anak kedua dari Quraish Shihab (mantan Menteri Agama Republik Indonesia sekaligus cendekiawan muslim) ini dikenal luas di masyarakat sejak ia menjadi pembawa acara Mata Najwa. Program bincang-bincang dengan berbagai tokoh di bidang politik, hukum, sosial, dan budaya yang telah menjadi narasumbernya. Konsep dan eksekusi acara ini tidak main-main, Mata Najwa kerap dinobatkan sebagai program televisi terbaik, terinspiratif, dan terpopuler, dalam berbagai ajang penghargaan; Asian Television Awards, Indonesian Choice Awards, Indonesian Television Awards, Panasonic Gobel Awards, dan Anugerah Komisi Penyiaran Indonesia.
Pengakuan atas reputasi Najwa Shihab ditandai dengan sejumlah penghargaan prestisius. Beberapa di antaranya, Most Progressive Figure yang dilansir Majalah Forbes tahun 2014, The Best News Presenter and Current Affairs Presenter dalam acara Panasonic Gobel Awards 2017, menerima Journalist Award dari Jawa Post Institute pada 2014. Dan atas konsistensinya dalam mengangkat berbagai isu korupsi, Najwa dinobatkan menjadi Tokoh Publik Antikorupsi oleh Indonesia Corruption Watch. Selain isu antikorupsi, ia juga ditunjuk sebagai Duta Baca Indonesia (2016-2020) oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan tugas utamanya menyebarkan minat baca ke penjuru negeri. Pada 2018 silam, Najwa Shihab bersama Catharina Davy dan Dahlia Citra mendirikan Narasi, sebuah perusahaan media digital yang mengelola sejumlah program dan konten di berbagai platform.
Bagaimana Anda menggambarkan Narasi?
“Narasi adalah ruang kita bersama untuk bertukar ide dan beradu gagasan. Berkiblat pada idealisme serta nilai-nilai kemajemukan dan toleransi, untuk mendorong setiap anak bangsa agar menggagas perannya masing-masing. Kami ingin mengajak masyarakat menyelami berbagai suguhan melalui program-program perbincangan, reportase, dokumenter, opini, ruang interaksi, serta mengelola komunitas dan aktivasi lewat kanal digital Narasi TV. Sebab saya percaya, mereka yang aktif menebar karya niscaya menularkan energi positif yang terus menggelora.”
Nilai dan prinsip apa yang selalu ditanamkan orangtua kepada Anda?
“Saya lima bersaudara, empat perempuan dan satu laki-laki. Sebagai anak perempuan, saya tidak pernah meras diperlakukan berbeda dengan adik laki-laki saya. Kami semua diizinkan untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin dan diperbolehkan bekerja di bidang apa pun. Abi (Quraish Shihab) memberikan kebebasan dan kesempatan untuk anak-anaknya beraktivitas. Dan anak perempuan tidak pernah dianggap tidak lebih berharga dibanding anak laki-laki. Abi selalu menekankan, jangan pernah merasa diri kita tidak berharga karena kita perempuan. Sebaliknya, kita justru harus menempatkan perempuan di posisi terhormat.
Sejak dulu Abi selalu menekankan pentingnya ilmu. Sewaktu masih SMA tahun 1994, saya pernah mendapat kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar. Ketika saya kemudian berhasil lolos ujian dan sudah bisa berangkat ke Amerika Serikat, sempat terjadi perdebatan di keluarga besar. Katanya, ‘Masa anak perempuan masih berusia 16 tahun tinggal bersama keluarga asing nonmuslim di Amerika”. Suara-suara yang jelas-jelas menganggap bahwa tidak pantas perempuan tinggal sendiri di luar negeri. Tapi Abi justru mendukung dan mengizinkan saya pergi karena melihat ini adalah kesempatan bagus untuk belajar dan melihat dunia luar. Abi membiarkan saya pergi karena percaya sepenuhnya pada nilai pendidikan.
Abi juga mengajarkan saya tentang pentingnya bergaul dengan banyak kalangan. Bahwa keragaman itu suatu rahmat dan kita tidak boleh pilih-pilih teman. Selain juga penting untuk selalu melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda-beda. Abi selalu bilang,” Allah itu menyajikan banyak hal. Ibarat hidangan, ada teh, kopi, dan susu. Kita dipersilahkan memilih selama hidangan itu memang masih disajikan di atas meja”. Abi Quraish juga pernah mengatakan, “Allah itu tidak pernah bertanya, 5 tambah 5 itu berapa karena jawabannya sudah pasti hanya satu, yaitu 10. Tapi Allah bertanya, 10 itu berapa tambah berapa? Bisa 2 tambah 8, 1 tambah 9, 7 tambah 3”. Hal itu menggambarkan betapa ada banyak keberagaman yang seharusnya justru memperkaya diri kita sebagai manusia.”
Pada akhirnya Anda tidak hanya bicara soal politik dan hukum, tapi juga kencang berteriak soal kemanusiaan dan isu-isu perempuan. Bagaimana awalnya Anda menemukan kepedulian yang tinggi pada kemanusiaan?
“Semuanya berawal dari keluarga. Abi Quraish Shihab adalah pendidik dan penceramah. Percakapan kami di meja makan atau sesudah shalat berjamaah, selalu soal hal-hal yang Abi temukan dan amati dari murid-muridnya dan jamaahnya. Sementara ibu adalah sosok yang selalu mementingkan silaturahmi. Ibu senang sekali bertemu orang dan suka bergaul. Beliau selalu berpesan ke anak-anaknya, ‘Lebih baik menjenguk orang sakit daripada menghadiri pernikahan’. Selain itu kedua kakek saya, Habib Abdurrahman dan Habib Ali, sejak dulu aktif di masyarakat. Ayahnya Abi dulu adalah anggota konstituante dari Partai Masyumi. Habib Ali juga aktif di gerakan pemuda.Jadi sejak kecil saya terbiasa menyaksikan diskusi. Dan dulu waktu sekolah dasar, saking banyaknya buku di rumah, saya dan kakak saya bikin perpustakaan kecil di rumah agar tetangga-tetangga bisa meminjam buku. Sewaktu SMP saya terlibat kegiatan OSIS, mengikuti pertukaran pelajar ketika SMA, dan aktif di berbagai kegiatan saat kuliah. Semua ini, termasuk pengalaman bergaul dengan banyak kalangan, pada akhirnya membentuk cara saya melihat berbagai isu.”
Bagaimana Anda melihat signifikansi peran perempuan dalam menyuarakan isu-isu penting?
“Perempuan itu membawa suatu keunikan. Sifat-sifat yang memang bisa menjadi kelebihan dan asset. Di segala bidang, organisasi ataupun komunitas. Sudah banyak riset yang menunjukkan bahwa organisasi yang dipimpin perempuan maka jauh lebih ‘perform’ dibanding yang gendernya tidak seimbang. Jadi keperempuanan kita itu nilai tambah. Kita punya modal kepemimpinan. Perempuan itu cenderung memikirkan perasaan orang lain, senang bekerja sama, lebih ekspresif, itu semua modal untuk jadi pemimpin. Bicara tentang pemimpin, bukan terbatas hanya jabatan formal dan struktural. Tapi mereka yang bisa menggerakkan, meyakinkan orang lain untuk mau bergerak bersama. Perempuan punya kelebihan untuk mendengarkan hatinya dan lebih berempati. Dan pada akhirnya, perempuan mampu meyakinkan orang-orang akan pentingnya isu-isu yang diangkat, termasuk isu kemanusiaan. Perempuan juga seringnya lebih teliti dan lebih sabar."
Do you think being a woman helps you? Apakah menjadi perempuan dengan segala sifat keperempuanan kita, pada akhirnya membantu Anda untuk menjadi diri Anda saat ini?
“Saya merasa jurnalis perempuan itu punya kelebihan-kelebihan yang membuat mereka bisa menjadi jurnalis yang lebih hebat. Karena biasanya perempuan lebih peka mendengarkan dan itu sangat membantu profesi jurnalis di mana pekerjaan ini butuh kemampuan untuk mendengarkan, menemukan angle. Perempuan juga biasanya jauh lebih luwes, sementara jurnalis itu kekayaannya adalah jejaring. Semakin banyak ia membangun jejaring, maka sesungguhnya semakin besar kekayaan seorang wartawan. Bukan hanya menjalin di awal, tapi juga membina hubungan. Jadi saya merasa beberapa hal yang melekat pada keperempuanan / apa yang biasanya jadi kelebihan perempuan itu helps me in my career and my skill as a journalist. Lebih luwes, lebih berempati, lebih bisa mendengarkan, orang lain juga jadi lebih mudah percaya, perempuan lebih teliti."
Bagaimana kritik Anda terhadap pola pemberitaan di tengah maraknya berita bohong dan kekacauan informasi di Indonesia?
"Bill Keller New York Times bilangnya kondisi ini disebutnya tsunami informasi. Pasokan informasi yang membludak. Menurut saya, problemnya bukan lagi soal mana berita dan mana opini, tapi juga mana yang fakta, mana yang disinformasi, mana yang propaganda, mana yang dusta. Dan yang harus diatasi akhirnya bukan hanya individunya, kekacauan informasi juga bisa lahir dari media massanya sendiri atau bahkan dari pemerintah. Jadi tantangannya jauh lebih besar hari-hari ini. Perlu peran baru yang harus dilakukan media. Bukan hanya penyedia informasi, tapi juga penyedia validasi. Jurnalis harus memeriksa kebenaran, mana yang otentik dari suatu informasi. Mana yang cacat, mana yang fakta kebenaran. Peran lain yang tak kalah penting adalah bagaimana kita menjadi sense maker. Apakah sebuah informasi itu masuk akal atau tidak, peran ini menjadi penting karena saat ini banyak sekali informasi yang mengkhianati akal sehat. Apalagi urusan pandemi, ada banyak banyak hal hal yang gak masuk akal. Plus, saking banyaknya informasi, saya khawatir akhirnya kita jadi kehilangan fungsinya sebagai agenda setting maker untuk menuntun orang mengetahui mana informasi yang penting untuk publik. Salah satu fungsi media itu kan? Menjadi gatekeeper, menentukan mana yang penting untuk dilihat publik. Kekhawatiranku adalah di saat sekarang semakin banyak informasi dan kita berlomba-lomba untuk menjadi yang paling cepat menyampaikan sesuatu, akhirnya fungsi kita sebagai gatekeeper informasi itu malah gak kita jalankan."
Sebagai media, Narasi tidak hanya sebagai menyajikan informasi tapi juga menjalankan berbagai kegiatan sosial seperti penggalangan dana, pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang terkena kendala, meningkatkan literasi masyarakat dengan mendirikan klub buku. Sebenarnya apa misi Anda terhadap berdirinya Narasi?
“Di luar aspek bisnis, ketika dulu memutuskan mendirikan Narasi itu karena melihat lanskap media kita yang berubah. Cara orang mengonsumsi informasi yang tidak lagi satu arah tapi jadi dua arah. Jadi saya merasa memang harus berubah. Kalau saya bertahan di televisi, padahal sekarang orang mengonsumi informasinya justru lebih banyak di luar medium televisi, maka saya akan ditinggalkan. Pertama, kesadaran bahwa perlu ada perubahan. If you’re finish changing, then you’re finish. Kedua, sebetulnya mendirikan perusahaan media sendiri itu pilihan strategis untuk memastikan bahwa kendali atas independensi dan obyektivitas itu ada di tangan saya sendiri, bukan orang lain. Dua hal yang selalu saya pegang dan penting untuk dijaga. Pada titik tertentu, ketika saya mendirikan Narasi, itu untuk menjaga dua hal itu. Bersama Narasi, saya merasa ruang geraknya jadi lebih lapang. Leluasa berinteraksi dan berkolaborasi dengan banyak orang. Seperti yang Anda lihat, kami bukan hanya sekadar menyediakan informasi tapi juga menjadi ruang untuk berkolaborasi. Itu juga yang kami lakukan, misalnya, pencarian dana bersama Kita Bisa, udah beberapa kali kami lakukan. Kami juga pernah menggalang dana dengan bikin konser musik #dirumahaja, alhamdulillah dapatnya di luar dugaan, 13,5 miliar. Ketika itu kami berkolaborasi bersama musisi-musisi Tanah Air. Sebelumnya kita juga berkolaborasi dengan LBH Jakarta untuk menggalang dana korban salah tangkap, dana yang didapatkan untuk menyekolahkan mereka. Jadi dengan Narasi, ruang kolaborasinya jadi lebih beragam. Kita juga kolaborasi dengan Youtube untuk bikin workshop creative journalism di berbagai kota. Karena saya percaya, media itu bukan hanya sekadar menyuguhkan informasi tapi juga harus memastikan informasi itu bisa menggerakkan orang untuk melakukan hal hal yang real di akar rumput. Karena itu di Narasi ada divisi khusus komunitas, kami mengelola komunitas sekarang udah 200 ribuan anggotanya. Komunitasnya ada di seluruh Indonesia, mereka menjadi mata dan telinga kami bukan hanya untuk memberikan informasi ke Narasi, tapi juga kami memberikan mereka wadah untuk bisa melakukan aktivasi di daerah masing-masing yang sesuai dengan kebutuhan lokal mereka. Di Ambon, banyaknya kegiatan-kegiatan yang berbau toleransi. Di Jogja, aktivitasnya banyak soal literasi karena banyak mahasiswa di sana. Jadi sekali lagi memang, saya percaya media bukan hanya menyampaikan berita, tapi juga memastikan bisa menjadi wadah berbagai tindakan-tindakan kolektif yang membawa dampak nyata di publik.
Sudah 3 tahun, sekarang jalan 4 tahun. Jumlah tim Narasi sekarang ada sekitar 150 karyawan.
Seperti apa gaya kepemimpinan Anda?
“Saya mendirikan Narasi, tapi tidak terlibat dalam keseharian organisasi karena saya bukan CEO. Narasi memiliki 3 orang pendiri yang semuanya adalah perempuan. Saya, Catharina Davy, dan Dahlia Citra. Catharina Davy, sahabat saya, dialah yang menduduki posisi CEO. Seminggu sekali saya ikut dalam rapat pimpinan untuk kemudian mendengar perkembangan Narasi, memberi masukan, dan terlibat dalam keputusan-keputusan yang memang memerlukan saya untuk ikut kasih suara. Selebihnya, saya tidak banyak terlibat di kegiatan harian perusahaan. Saya lebih intens dalam urusan konten, terutama di Mata Najwa, Catatan Najwa, Shihab Shihab, termasuk konten-konten Newsroom. Tapi itu pun konten Newsroom dipegang oleh pemimpin redaksinya sendiri. Dan saya belajar dari pengalaman, bahwa pemilik media seharusnya tidak ikut campur pada kegiatan harian redaksi, Maka saya tidak pernah ikut campur di Newsroom. Semuanya di bawah kendali pemimpin redaksi. Posisi saya adalah sebagai pembaca yang kadang memberi masukan, menyampaikan kritikan, dan memberi pujian. Jadi buat saya, pemimpin itu seharusnya bukan jadi ‘center of power’ tapi jadi ‘center of trust and energy’. Di Narasi, kami selalu mendorong semua orang agar berani berkontribusi dan berani kasih opini. Ada satu kalimat yang tertulis di tembok kantor Narasi, “If you do not speak up, how can the world know that you exist”. Kita selalu mendorong setiap orang di Narasi agar berani bicara. Prinsipnya, tidak ada ide yang jelek. Ide yang buruk adalah ide yang tidak disampaikan dan tidak dieksekusi.”
Belakangan kita digempur banyak peristiwa kurang menyenangkan yang membuat kita seringkali mempertanyakan kembali rasa cinta Tanah Air. Di tengah kondisi patah hati terhadap negara, apa yang bisa kita lakukan untuk sama-sama menjaga Indonesia?
“Kesadaran ‘menjadi Indonesia’ itu yang penting untuk terus dimaknai. Dalam perjalanannya, kita mungkin putus asa pada situasi, kecewa sama pemerintah, kesal dengan sesama warga. Itu sesuatu yang menurutku seharusnya tidak membuat kita kehilangan fokus pada apa itu Indonesia. Kalau kita bicara soal Indonesia, kita semua mewakili Indonesia. Indonesia kan bukan diukur dari angka ekonomi atau pernyataan pejabat, tapi apa yang kita temukan dan kita jalani sehari-hari. Contih di tengah pandemic, kita berusaha meredefinisi apa itu nasionalisme, kita kemudian mendefinisikannya dari partisipasi kita. Apakah kita mampu mencegah pandemi dengan solidaritas. Seberapa jauh kita bisa ikut turun tangan untuk menjaga diri dan keluarga. Semuanya harus berawal dari kesadaran yang sederhana, kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Kita adalah bagian dari negara, sehingga tidak ada pilihan selain ambil peran. Jadi kalau saya ditanya, apa itu Indonesia? Indonesia adalah keseharian kita. Bagaimana kita mencerminkan diri kita. Kita mau Indonesia jadi seperti apa? Apa yang kita lakukan menjadi cerminan apa itu Indonesia. Mudah-mudahan kita bisa menjadi versi terbaik diri kita, yang artinya versi terbaik dari Indonesia.”
Menjadi orang Indonesia, apa artinya hal tersebut untuk Anda?
“Salah satu yang paling menonjol dari orang Indonesia adalah kemurahan hati. Dari beberapa kejadian yang saya alami, terbukti betapa mudahnya menggerakkan orang Indonesia untuk mau turun tangan terlibat membantu menyelesaikan sesuatu. Saya percaya, pada dasarnya orang Indonesia adalah orang-orang yang penuh empati dan murah hati. Dan empati itu salah satu kualitas terpenting dari manusia. Kemampuan untuk bisa memahami orang lain dan melihat dari perspektif orang lain, itu salah satu skill yang paling penting untuk dimiliki manusia. Bagi saya sendiri, menunjukkan rasa bangga akan Indonesia adalah dengan cara berempati, memahami orang lain, dan melihat sesuatu dari beragam perspektif. Dalam konteks pandemi, empati bukan hanya dengan memberi sumbangan uang, tapi dengan memakai masker, menjaga jarak, menjadi pribadi yang kritis dan gak asal menyebarkan informasi hoaks. Semua itu wujud dari empati.”
Yayasan Bakti Untuk Bangsa Bekerja Sama dengan Happy Hearts Indonesia Merevitalisasi Infrastruktur PAUD Ar Rafa Bogor
L’Oréal-UNESCO For Women in Science National Fellowship 2024: Merayakan Kontribusi Perempuan Peneliti Indonesia untuk Solusi Berkelanjutan
Ikuti Perjalanan Seru Rolex Dalam Mendukung Ekspedisi Penjelajah National Geographic Steve Boyes di Sungai Kasai