1 Januari 2020
Nicholas Saputra Meluangkan Waktu Lebih Untuk Mengenal Tempatnya Berpijak
Nicholas Saputra menemukan bahwa yang terbaik kelak datang sendiri lewat ketegasan untuk bertindak sesuai kata hati.
Yang mana yang lebih baik, mencari kebahagiaan atau menghindari ketidakbahagiaan? Bagi saya, keduanya sama pentingnya. Bahwa seseorang perlu mengetahui secara pasti, apa yang membuat dirinya sukses dan bahagia. Apa yang mesti dilakukan dan apa yang harus dihindari. Teknik ‘bermain aman’ dalam hidup membuat kita punya kepekaan untuk tidak melakukan hal-hal yang negatif; membandingkan diri sendiri dengan orang lain secara terus-menerus, menggerutu tentang banyak hal, dan menghabiskan banyak waktu untuk menyalahkan orang lain. Sekelumit pemikiran dalam benak yang terasa relevansinya ketika saya berbincang dengan Nicholas Saputra.
Sejak 17 tahun lalu kemunculannya di film Ada Apa Dengan Cinta, Nico tidak beranjak dari popularitas di industri hiburan Tanah Air. Kendati aktor-aktor muda yang baru terus bermunculan, ia seakan-akan tak pernah berhenti jadi magnet. Salah satu yang mungkin masih segar di ingatan kita yakni ketika masa kampanye pemilihan calon legislatif dan calon presiden Indonesia 2019 silam. Atas ide produser film Mira Lesmana, Nico mengunggah swafotonya di Instagram demi meramaikan partisipasi kaum muda agar turut terlibat dalam pesta demokrasi. Foto tersebut mengundang ribuan likes dan di-repost oleh banyak orang.
“Hanya sesekali dan jika untuk tujuan yang baik, kenapa tidak?” katanya sambil tersenyum mengomentari peristiwa tersebut. Usai mengetik sesuatu di layar handphone-nya, ia menyandarkan posisi duduk kemudian mulai bercerita tentang kesibukannya, kecintaannya pada lingkungan, dan kegairahannya terhadap dunia perfilman. Lulusan Fakultas Teknik Arsitektur dari Universitas Indonesia ini mengawali kariernya saat ia ‘ditemukan’ seorang wartawan majalah remaja di daerah Senayan, Jakarta Selatan. Nico saat itu tengah bermain baseball kemudian diajak pemotretan untuk majalah tersebut.
Setelahnya, datang tawaran syuting iklan yang lantas mempertemukan dirinya dengan orang-orang di industri perfilman. Ia memulai debut kariernya dengan memerankan Rangga dalam Ada Apa Dengan Cinta (2002). Atas penampilannya tersebut, Nicholas Saputra masuk dalam nominasi Best Leading Actor di ajang Festival Film Indonesia. Ia kemudian menjadi sangat terkenal. Film yang membuat karakter Rangga menempel pada diri Nico.
“Karakter Rangga diciptakan oleh orang-orang hebat. Sosok laki-laki unik yang sebetulnya merepresentasikan orang banyak. Orang-orang sering kali menganggap bahwa dikagumi banyak orang adalah sesuatu yang sangat istimewa. Dikenal di mana-mana dan disukai siapa saja. Namun dalam kenyataannya, ada berapa banyak orang yang punya banyak teman dan disenangi siapa pun? Mungkin dari 400, hanya 20 orang yang betul-betul populer. Karakter Rangga sebetulnya mewakili kelompok mayoritas. Alih-alih jadi populer, lakii-laki tersebut lebih ingin mengutamakan intelektual dan memiliki prinsip yang terkadang berbeda dengan kebanyakan orang. Tidak banyak yang tahu sosoknya, tapi tidak berarti ia jadi tidak penting,” kata Nico tentang Rangga.
Tahun 2005, ia memerankan Soe Hok Gie dalam film Gie. Mahasiswa Fakultas Sastra di Universitas Indonesia, sekaligus aktivis yang menentang kediktatoran. Gie juga merupakan pendiri Mapala UI (Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia), organisasi lingkungan di kalangan mahasiswa. “Ada kedekatan cukup erat antara saya dengan karakter yang saya mainkan. Sebagai aktor, saya harus membuat karakter apa pun jadi bisa dipercaya. Saya memberikan ‘nyawa’ dalam setiap karakter dan sebaliknya, setiap peran selalu membentuk kehidupan saya,” ujarnya. Nico tercatat pernah berperan dalam film Biola Tak Berdawai (2003), Janji Joni (2005), 3 Hari Untuk Selamanya (2007), Pendekar Tongkat Emas (2014), dan Apa Dengan Cinta 2 (2016).
Nico juga ikut terlibat dalam film Motel Acacia (2019) garapan sutradara Bradley Liew yang tayang di Tokyo International Film Festival dan Jogja International Film Festival. Ia memerankan Don, karakter antagonis, dan beradu akting dengan Bront Palarae. “Saya tidak ingin membatasi diri. Peran kecil atau besar, antagonis atau protagonis, semua bisa sama menariknya. Yang penting skripnya bagus. Selain itu, saya tidak ingin terjebak dalam kejenuhan. Saya selalu ingin ada kegairahan setiap kali mulai memerankan suatu karakter,” ungkapnya.
Saat kami bertemu, Nicholas Saputra baru tiga bulan membuka vila di Tangkahan, Sumatera Utara. “Kali pertama saya ke Tangkahan tahun 2005, sewaktu membantu kampanye lingkungan suatu organisasi nonprofit. Tahun 2016, saya bikin film dokumenter mengenai pelestarian gajah di Sumatera Utara. Sepuluh tahun bolak-balik, akhirnya jatuh cinta dengan tempat tersebut,” ujarnya. Bagi Nico, kawasan habitat gajah dan orangutan di Sumatera amat mengagumkan. Ia yang memang telah jatuh cinta pada lingkungan lantas menemukan caranya sendiri untuk berlama-lama di Taman Nasional Gunung Leuser di Tangkahan, Sumatera Utara.
Nico mendirikan sebuah tempat penginapan yang dirancang oleh arsitek Andra Matin. Vila dengan nama Terrario tersebut berada di kawasan hutan tropis yang rimbun dan berdekatan dengan pusat konservasi gajah Sumatera. “Saya ingin mengajak orang-orang mendekatkan diri dengan alam. Meluangkan waktu lebih banyak untuk mengenali tempat kita berpijak. Tidak hanya sekadar bermalam, tapi juga membuat keberadaan kita dapat memberikan dampak positif bagi alam Tangkahan. Memahami persoalan lingkungan, menemui penduduk lokal, mengalami kehidupan yang mereka jalani, dan pada akhirnya menuntut kita agar berperilaku ramah lingkungan,” tuturnya.
Selain kegairahan pada dunia perfilman, laki-laki ini menunjukkan kepedulian yang besar terhadap lingkungan. “Penting bagi setiap orang untuk mulai melakukan sesuatu, sekecil apa pun itu, demi memperbaiki situasi. Dan hal tersebut diawali dengan mengubah cara berpikir. Saya optimis melihat kini ada kemajuan dan keseriusan dari berbagai pihak untuk menanggulangi berbagai masalah lingkungan,” katanya.
Ketertarikan Nico pada isu lingkungan berawal ketika ia mengunjungi Aceh pada 2005 silam, setelah peristiwa Tsunami melanda kota tersebut. “Sejak itu saya mulai menyelami apa saja persoalan lingkungan dan mencari tahu di mana saya bisa berkontribusi lebih besar. Selain film, saya juga sangat cinta lingkungan. Dan jika Anda mencintai sesuatu, tentu Anda ingin melakukan yang terbaik demi keberlangsungan hidupnya dengan menjaga dan melindunginya,” ujarnya.
Industri perfilman menjadi corong yang ia gunakan untuk bersuara lebih nyaring. Bertindak sebagai produser, Nico telah merampungkan proyek film berjudul Semesta. Dijadwalkan tayang pada pertengahan Januari tahun 2020, film tersebut berkisah tentang tujuh orang yang berada di tujuh wilayah di Indonesia. Ketujuh orang tersebut memiliki latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Mereka melakukan tindakan nyata untuk lingkungannya demi menghambat laju perubahan iklim. “Kami mengikuti perjalanan tujuh orang dan menyimak bagaimana mereka menjalani hidup dengan ikut berkontribusi pada keseimbangan dan keberlanjutan lingkungan. Saya berharap film ini bisa membuka ruang dialog mengenai dampak perubahan iklim, sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia selama ribuan tahun telah memiliki kearifan lokal dalam sistem penjagaan hutan dan lingkungan,” terangnya.
Keinginan untuk menciptakan perubahan sekaligus komitmen kuat terhadap isu-isu sosial membuat Nico didaulat oleh UNICEF sebagai Duta Nasional Indonesia, pada November 2019 silam. Ia akan membantu memperkuat kerja-kerja advokasi UNICEF dalam memperjuangkan hak-hak anak sekaligus menyuarakan berbagai isu yang dihadapi kaum muda. Aksinya dimulai dengan meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya mutu layanan air serta praktik kebersihan.
“Setiap tahun, ada sekitar 15.000 anak Indonesia meninggal akibat penyakit yang disebabkan rendahnya kualitas sanitasi. Saya belajar mengenai pentingnya sanitasi saat berkunjung ke Nusa Tenggara Timur untuk melihat kerja-kerja UNICEF di sana. Saya selalu percaya, bahwa untuk menciptakan dunia yang lebih baik, maka harus dimulai dengan memastikan terpenuhinya hak setiap orang, termasuk anakanak,” kata Nico.
Salah satu aktor Indonesia yang menginvestasikan waktunya untuk hal-hal baik. Lewat kecintaannya pada dunia film dan lingkungan, ia mengisi hidupnya dengan pelbagai hal positif. Nico menyadari bahwa eksistensinya di industri hiburan harus berdampingan dengan ketenaran yang lantas mengaburkan batas-batas privasi. Dan ia memilih memanfaatkan risiko tersebut untuk tujuan yang lebih bermakna.
“Saya mencintai dunia perfilman dan ingin terus berkarya. Tetapi kecintaan ini harus diseimbangkan dengan apa-apa yang berdampak positif bagi orang banyak. Popularitas bisa meredup dalam hitungan detik, sedangkan hidup menjadi lebih berarti apabila memuat tindakan-tindakan yang sarat kebajikan,” katanya.
Saya segera mengangguk tanda setuju. Dua tahun berlalu sejak pertama saya bertemu Nicholas Saputra. Dulu kami asyik membicarakan perfilman Indonesia, persoalan regenerasi aktor, dan kemunculan Netflix yang jadi angin segar bagi para penikmat film. Kini saya menyerap inspirasi lain dari sosok laki-laki yang membangun keberanian untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak penting dari pikiran. Dari Nico, saya bertambah yakin untuk mengawali tindakan dengan rasa cinta dan memilih fokus pada beberapa hal penting yang benar-benar dapat memberi pengaruh baik dan kebahagiaan dalam hidup. Untuk yang lainnya, Que sera sera. Yang akan terjadi, terjadilah. Yang terjadi memang tidak selalu indah, tapi hampir selalu mendidik. Lagi pula bertindak sesuai kapasitas, sekecil apa pun itu, lebih mulia daripada sama sekali diam.
Di perjalanan pulang usai menemui Nico, seketika saya teringat pada sebuah slogan menohok untuk mengutuk sifat pasif yang pernah dilontarkan aktivis Eldridge Cleaver, bahwa jika Anda bukan bagian dari penyelesaian, maka Anda adalah bagian dari masalah.
Photo: DOC. ELLE Indonesia; photography CHRIS BUNJAMIN styling ISMELYA MUNTU wardrobe by GIVENCHY