LIFE

18 Oktober 2023

Salvita De Corte Melakoni Multiperan dengan Satu Hati Penuh Hasrat


PHOTOGRAPHY BY IFAN HARTANTO

Salvita De Corte Melakoni Multiperan dengan Satu Hati Penuh Hasrat

styling ISMELYA MUNTU, makeup & hairdo SISSY SOSRO

Sebagai perempuan, saya merasa membuat pilihan sering kali menjadi tantangan. Kerap kali ditanya, mengapa memilih jadi pekerja atau kenapa menjadi ibu rumah tangga? Seolah-olah memilih yang satu akan mengorbankan yang lainnya. Pilihan bekerja akan dinilai sebagai pilihan yang melawan kodrat, sementara pilihan menjadi ibu rumah tangga akan membuat perempuan dianggap mengorbankan bakat. Saya selalu yakin pada satu hal, perempuan itu multiperan dan semua peran hadir dengan tuntutan. Rasanya tidak ada perempuan yang tidak bekerja dalam hidupnya. Sibuk menjadi pengurus komite di sekolah, aktif di kegiatan pengajian, bekerja dari rumah dengan jam kerja fleksibel, dan beragam aktivitas lainnya. Terlebih di era digitalisasi teknologi, perempuan bekerja dalam berbagai bentuk aktivitas yang bervariasi. Itu artinya, perempuan yang berkarya jumlahnya luar biasa besar. Lagi pula perempuan bekerja bukan hanya untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, tapi juga untuk mengembangkan potensi dan prestasi. Bukan sekadar demi mendapatkan uang, tetapi juga agar menjadi teladan sekaligus menemukan versi terbaik diri sendiri. Buat saya, Salvita De Corte salah satu sosok perempuan yang merepresentasikan semangat tersebut.


Beberapa hari sebelum kami mengobrol di telepon, awal September silam, Salvita mengirimkan pesan Whatsapp berisi sebuah undangan agar saya menghadiri private viewing koleksi perhiasan Studio Ruang―label aksesori miliknya―yang tengah berkolaborasi dengan The Good Things in Life, sebuah multi-brand concept store di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ketika berada di lokasi, saya menyaksikan sekelompok perempuan terlihat antusias dengan apa yang dipamerkan. Sesekali mereka tersenyum sambil mencoba aksesori lalu memotretnya dengan handphone. Salvita mendirikan Studio Ruang sebagai wilayah kreativitas di mana ia merasa bebas mengekspresikan dan menuangkan segala ide dan gagasan terkait aksesori kerajinan perak dan emas. Label yang berbasis di Bali tersebut turut menjalin kerja sama dengan para perajin Bali dalam memproduksi kerajinan tangan. “Dulu saya pernah punya jewelry brand tapi karena waktu itu masih disibukkan dengan kegiatan syuting film dan modeling, saya jadi tidak terlalu fokus mengurusnya. My passion is still there for jewelry, sampai akhirnya pandemi datang dan saya jadi bisa fokus berkonsentrasi dengan passion saya di bidang jewelry. Mulai menyiapkan studio, bikin website, mengurus consignment, dan sebagainya. Lumayan menantang apalagi waktu itu masih seorang diri, baru satu tahun terakhir I hired someone to help me out. Saya juga sudah cukup lama senang melukis. Dulu saya bahkan suka membawa sketchbook ke lokasi syuting untuk mengisi waktu sambil menggambar, tapi saat itu tidak benar-benar serius melukis apalagi menjadikannya sebagai profesi. Namun ketika awal pandemi pindah ke Bali, saya akhirnya punya kesempatan dan waktu lebih banyak untuk mengeksplorasi dan menekuni seni lukis,” cerita Salvita.


Pandemi Covid-19 di awal tahun 2020 bukan hanya memaksa kita untuk berteman baik dengan teknologi, terutama Zoom, Slack, dan aplikasi sejenisnya, tapi juga membuat kita mendadak harus punya kreativitas dan kemampuan sense of survival. Kita dipaksa ‘putar otak’ dan keluar dari zona nyaman. Hingga pada akhirnya tantangan yang mulanya disangka halangan, lalu jadi katalis untuk peluang dan perubahan. Pandemi bukan hanya menjadi titik yang mengawali kepindahan Salvita De Corte ke Pulau Bali, tapi juga menjadi momen yang mendorong dirinya untuk mengelaborasi beragam kemampuan serta kreativitas berkesenian. Salvita bercerita, “Sejak lahir sampai sekolah saya tinggal di Bali, kadang beberapa kali traveling ke luar negeri. Sempat menetap di Jakarta, namun sejak pandemi saya bermukim di Bali. Sebenarnya saya tidak pernah berniat untuk pindah, namun waktu itu ibu saya kecelakaan dan mengurus traveling di tengah pandemi rasanya sangat menantang. Awalnya saya berencana membawa ibu ke Jakarta karena suami dan anak saya di sana, tapi setelah dipikir-pikir buat apa saya ke Jakarta? Banyak tempat dan mal-mal tutup, waktu itu juga tidak ada banyak kegiatan atau pameran apa-apa, syuting film juga sempat berhenti total. Semesta seperti mengatur cara agar saya punya jalan untuk pindah ke Bali. But I also kinda miss Jakarta, I miss the beautiful mess of the city. Teman-teman baik saya banyak yang tinggal di sana, Jakarta juga sangat menarik karena banyak acara-acara seru mulai dari pameran seni, konser musik, termasuk kegiatan sinema banyak digelar di Jakarta. Meskipun macet dan polusi di Jakarta katanya sedang sangat mengkhawatirkan ya? Well, I think there’s something about love and hate relationship with Jakarta.”


Salvita kemudian berujar, ia merasa senang bisa kembali mengisi sampul majalah ELLE untuk ketiga kalinya. Dalam kesempatan sebelumnya, edisi Women in Cinema dan Environmental Issue, saya dan Salvita banyak berdiskusi tentang dunia film dan isu lingkungan, dua bidang yang juga diminati olehnya. Kini rasanya menarik buat membicarakan perempuan peraih nominasi Aktris Pendatang Baru Terpilih di ajang Piala Maya tersebut dari sisi lain. Mengupas lapisan-lapisan yang membuat Salvita menjadi seorang Salvita yang dikenal publik.


Salvita De Corte mungkin bukan lulusan sekolah seni terkemuka di dunia, namun insting seni dan jiwa artistik itu mengalir deras dalam dirinya. Lahir dari pasangan orangtua seniman, Salvita kini menjalankan berbagai pekerjaan yang bertalian dengan seni. Salvita De Corte memasuki dunia modeling sejak usia 15 tahun. Ia menjajaki profesi model sebelum akhirnya menjadi salah satu aktris di industri perfilman Indonesia. Film pertamanya berjudul Mantan Terindah yang tayang pada 2014. Ia kemudian bermain peran dalam sejumlah judul film; Halfwords (2015), The Night Comes for Us (2018), DreadOut (2019), Bebas (2019), Ratu Ilmu Hitam (2019), Love is a Bird (2019), Abracadabra (2020), dan lainnya. Selain bermain peran, ia juga bergerak kreatif dengan kanvas dan kuas. Saat kami berbincang, sejumlah karya seni lukis Salvita sedang dipamerkan dalam sebuah ekshibisi di The Medium di Canggu, Bali. Ia juga bercerita bahwa ia tengah sibuk mempersiapkan karya untuk pameran-pameran selanjutnya di Bali, termasuk membuat karya-karya commission painting yang telah dipesan oleh sejumlah orang.


Hasrat berkesenian dan perspektif artistik Salvita diturunkan dari kedua orangtuanya. Sang ayah seorang pelukis, sedangkan ibunya desainer perhiasan. Sejak kecil ia hobi menggambar, tapi tak pernah bercita-cita jadi pelukis. Ketika ayahnya meninggal dunia, beliau meninggalkan sebuah studio yang tak terpakai, kanvas yang kosong, dan kuas yang masih tersisa. Salvita lantas mulai rajin melukis. Ia kini dikenal sering kali melukis portrait abstrak dengan gaya ekspresionis dan kerap menggambar figur genderless yang kemudian menjadi identitas berkesenian Salvita. “Saya selalu senang bisa berkesenian dan gemar menggunakan insting dan perasaan, baik saat sedang memainkan peran, melukis, maupun ketika mendesain aksesori. Yang sekarang perlu saya lakukan adalah belajar menyeimbangkan wilayah kreativitas dengan aspek bisnis dan marketingnya. Tentu banyak tantangan karena saya masih berproses, tapi rasanya seru dan menyenangkan sekali. Dan setelah dijalani, saya jadi merasa bahwa ketika kita benar-benar serius meluangkan waktu dan menaruh energi yang besar untuk mengerjakan sesuatu, maka sesuatu itu seperti terlihat tumbuh berkembang. I feel like it’s going somewhere and I’m continuously rediscovering myself. Selain saya juga tidak ingin berada dalam keadaan stagnan, karena rasanya pertumbuhan itu sesuatu yang baik yang bikin kita merasa ‘hidup’,” ujar Salvita.


Perempuan berkontribusi lewat beragam peran yang kerap berbalut tantangan, tak terkecuali Salvita yang sehari-hari melakoni peran-perannya dalam berbagai bidang dan cara. Setiap pagi harinya diawali dengan kesibukan mengurus anak, memastikan keperluan sekolah anaknya tak ada yang terlewatkan. Barulah setelah itu Salvita pergi ke studio untuk membuat lukisan. Satu-dua jam melukis, ia beralih mengerjakan urusan Studio Ruang. Di malam hari, usai mengurus rumah serta menangani kebutuhan anak dan suaminya, Salvita tak jarang menyempatkan diri untuk melukis. Biasanya satu jam sebelum tidur dirasa cukup karena perempuan ini mengaku bukan tipe yang gemar bekerja di tengah malam. Dan karena ia sedang tidak ada jadwal syuting, makanya waktunya banyak dihabiskan di studio dan di rumah. Ritme rutinitasnya sehari-hari mungkin saja berulang selalu sama. Kendati demikian, multiperan sebagai pelukis, pelaku usaha, istri, sekaligus ibu dari satu orang anak nyatanya telah membuat hari-hari Salvita De Corte jauh dari kesan membosankan.


“Ketika sedang melukis, bisa dibilang, rasanya saya seperti berada di dunia yang berbeda, a lot of it is contemplation and questioning myself. Kendati saya juga menyadari ada rasa insecure sebagai pelukis yang kerap kali membayangi pikiran. ‘I wish I can draw like that, oh this is so nice, mine is so bad’ rasa keraguan pada diri sendiri yang masih ada sampai sekarang, meski akhirnya saya tetap merasa nyaman dengan cara saya sendiri. Mungkin kedengarannya tidak enak tapi buat saya, kegiatan melukis merupakan aktivitas yang sangat self-centered. I’m not painting for anyone else I’m just doing it purely for me. Saya menerima dan sangat menikmati mixed emotions yang saya rasakan ketika kuas itu menari-nari di atas kanvas. Sejujurnya tidak ada formula tertentu, kadang saya melukis dengan kalem tapi juga bisa bergerak secara dinamis. Well, it really helps me when I’m angry because it feels like the canvas can be my punching bag, it can receive whatever I give it to it, you know because it’s a blank canvas, it’s there to catch whatever I’m throwing at it. Ada kalanya saya merasa tidak produktif, yang saya lakukan biasanya menyemangati diri sendiri agar terus bergerak. Kalau sedang tidak betah di studio, saya akan duduk di meja makan sambil menggambar di atas kertas. Kegiatan kecil seperti bersih-bersih merapikan rumah atau sejenak pergi ke pantai juga cukup membantu mengembalikan semangat dan gairah berkarya,” ungkapnya.  


Bukan hal yang mudah menjadi perempuan karena tekanan muncul bukan hanya dari lingkungan sekitar, tapi juga datang dari keraguan diri sendiri. Kita perempuan kerap didera perasaan bersalah, apa pun yang dilakukan sering kali rasa kekhawatiran mengikuti langkah. ‘Benarkah karya saya cukup layak untuk dipamerkan ke orang lain?’, ‘Apakah tepat keputusan saya untuk tidak menjadi ibu rumah tangga?’, ‘Sudahkah saya menjadi ibu yang baik?’. Menjadi ibu mungkin dapat menjadi pengalaman indah nan menyenangkan. Namun menjadi ibu juga bisa sangat melelahkan dan membuat frustrasi. Menjadi ibu membutuhkan pengorbanan sepanjang hidup. Bisa jadi inilah pekerjaan tersulit bagi perempuan. Salah satu isi percakapan kali ini yang cukup menarik adalah ketika Salvita berbagi kisah mengenai pengalamannya sebagai seorang ibu. Saking menariknya obrolan mengenai parenting, pembahasan itu berlanjut ke chat Whatsapp. “Setelah obrolan kita kemarin, saya sempat teringat pertanyaan Anda tentang bagaimana saya mendidik anak saya. Because I never thought about it very deeply, jadi ketika Anda bertanya saya jadi memikirkan pertanyaan itu terus. Saya anak satu-satunya dan tumbuh besar dengan didikan sang ibu, so it was a very feminine household I would say. Ketika saya memiliki seorang anak laki-laki, saya tidak merasa bahwa mendidik anak laki-laki akan berbeda dengan membesarkan anak perempuan. Namun ada hal-hal yang saya tanamkan pada dia, terutama soal keterbukaan dalam komunikasi. Ketika anak saya punya pertanyaan, penasaran dengan sesuatu, atau ada masalah yang harus dibahas, maka dia bisa membicarakannya kepada saya atau dengan ayahnya. Buat saya, seorang anak harus merasa nyaman ketika berbicara dengan kedua orangtuanya. Penting juga untuk mendidik seorang anak laki-laki tentang pentingnya menghormati perempuan dan keharusan untuk punya rasa empati pada siapa pun. Namun sebenarnya, bukan hanya saya yang mengajari anak saya tetapi anak saya pun telah mengajarkan saya banyak hal, salah satunya tentang kesabaran. Orang lain mungkin melihat saya kalem dan tenang, termasuk ketika menilai lukisan saya, namun nyatanya kesabaran itu sesuatu yang saya pelajari dari anak saya. Anak saya mengajari saya banyak hal, untuk lebih bersabar, lebih banyak mendengarkan, dan lebih terbuka untuk memahami isi pikiran orang lain ketimbang buru-buru menghakimi,” tutur Salvita De Corte.