8 November 2024
Martha Hebi Melawan Feodalisme dan Budaya Patriarki dalam Bentuk Kekerasan Berbasis Kultural
PHOTOGRAPHY BY AZIZAH DIAH APRILYA
MARTHA HEBI (Penulis, Aktivis, Relawan Komunitas Solidaritas Perempuan dan Anak Sumba)
Mengambil paksa perempuan untuk dijadikan istri dalam tradisi perkawinan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, sudah berlangsung ratusan tahun. Namun praktik ini baru diketahui secara meluas semenjak videonya viral pada 2019. Publik (di luar Sumba dan juga warga Sumba sendiri) ada yang baru tahu bahwa tradisi ini masih berlangsung di Sumba. Dalam bahasa Anakalang, Sumba Tengah, tradisi ini disebut yappa maradda yang berarti tangkap di padang. Praktik ini lebih dikenal dengan istilah kawin tangkap yang dipopulerkan oleh Mama Salomi Rambu Iru. Mama Salomi adalah seorang perempuan Sumba yang menjadi inisiator advokasi kawin tangkap 20 tahun terakhir ini.
Perempuan lajang diculik oleh kelompok laki-laki yang tak dikenal di tempat publik misalnya pasar, mata air, kebun, dan jalan. Mereka menangkap perempuan yang sudah diincar lalu memanggulnya. Jika perempuan meronta maka makin erat dia dibekap dan diraba agar perempuan menjadi ‘tenang’ dan tidak melawan. Gerombolan laki-laki ini secara terorganisir telah menyiapkan kuda, motor, dan mobil untuk dilarikan ke kampung laki-laki yang akan menjadikannya istri. Sejumlah perempuan di Sumba menjadi korban, menerima kekerasan berlapis termasuk pelecehan dan pemerkosaan, serta terpaksa hidup dengan suami yang tak dicintainya. Sampai saat ini, kebiasaan kawin tangkap ini sulit tersentuh oleh hukum karena sebagian besar warga setempat dan aparat penegak hukum masih menganggapnya sebagai budaya, bukan tindakan kriminal dan pelanggaran hukum. Praktik ini masih terjadi di Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya. Sedangkan di Sumba Timur, lebih kental dengan tradisi perbudakan tradisional.
Martha Hebi, salah satu perempuan Sumba yang mengecam dan melawan praktik kawin tangkap dan perbudakan. Kecintaannya pada dunia seni budaya sangat membantunya untuk menyuarakan isu keadilan sosial dan melakukan autokritik terhadap tradisi patriarki seperti diskriminasi terhadap perempuan, penyandang disabilitas, praktik kawin tangkap, perkawinan anak, dan perbudakan. Martha menuangkan kegelisahan dan melakukan perlawanan lewat karya tulis seperti esai, puisi, cerpen, dan monolog. Karya-karyanya mencakup fiksi dan nonfiksi yang berkaitan dengan apresiasi dan kritik sosial pada berbagai persoalan perihal ketidakadilan dan penindadan terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Beberapa karya tulis Martha Hebi di antaranya yakni kumpulan puisi Perempuan Indonesia Timur (2014), monolog Menjadi Perempuan (2010), Esai berjudul Rahim Perempuan Diperalat sebagai Penerus Perbudakan Tradisional (2022) yang kemudian diterbikan oleh Komnas Perempuan dalam buku berjudul Jalan Sunyi Pekerja Rumah Tangga.
Perempuan kelahiran Wingapu, Sumba Timur, ini merupakan lulusan Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta (kini jadi Institute Teknologi Yogyakarta). Tahun 2002, Martha mulai menjajaki dunia aktivisme ketika bekerja di Yayasan Atma Solo, Jawa Tengah, yang fokus pada penanganan kasus dan persoalan litigasi dan non litigasi. Satu tahun mendampingi kelompok masyarakat di Solo, Boyolali, dan Sragen, Martha pulang ke Sumba bersama Yayasan Atma untuk mengembangkan pola advokasi. Saat bersamaan, ia juga memperkuat komunitas anak dan orang muda melalui kegiatan literasi dan diskusi.
Martha Hebi mulai menjajaki dunia aktivisme ketika bekerja di Yayasan Atma di Solo, Jawa Tengah. Sebuah lembaga bantuan hukum yang berfokus pada pengaduan dan penanganan kasus-kasus struktural, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan sasaran utama kelompok marginal. Satu tahun mendampingi kelompok masyarakat di Solo, Boyolali, dan Sragen, Martha pulang ke kampung halamannya bersama Yayasan Atma untuk mengembangkan pola advokasi bagi masyarakat. Saat bersamaan, ia juga memperkuat komunitas anak dan orang muda melalui kegiatan literasi dan diskusi. Sejak tahun 2003 Martha bekerja di isu pemberdayaan masyarakat di Sumba dengan isu kawin tangkap dan perbudakan tradisional yang dianggapnya “kurang populer” pada waktu itu namun menyimpan luka yang dalam dan berkelanjutan. Dari refleksinya terhadap kedua praktik ini melahirkan gugatannya terhadap tradisi lokal di kampungnya sendiri.
Tahun 2005 hingga tahun 2014, Martha bergabung dengan program ACCESS (Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme) yang berfokus pada penguatan warga dan organisasi masyarakat terutama bagi perempuan, orang miskin, dan kelompok minoritas. Hingga 2014, Martha Hebi aktif melakukan interaksi dengan warga dan mengidentifikasi isu-isu penting terkait perempuan desa dan anak-anak. Ia juga pernah berkarya di program PRISMA (Promoting Rural Income through Support to Market in Agriculture) sebagai Business Consultant di wilayah Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Di PRISMA, Martha berinteraksi dengan sektor swasta dan para petani serta mengidentifikasi isu-isu perempuan dan pertanian.
Seluruh pengalaman dan perjalanan kegiatan aktivisme Martha Hebi dengan para perempuan di desa-desa kemudian didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba Era 1965-1998. Karya tulis ini sekaligus menegaskan kecintaan Martha pada seni dan sastra dan mendorongnya untuk terus konsisten menyuarakan isu-isu sosial lewat tulisan puisi, cerita pendek, monolog, dan beberapa kegiatan seni lainnya. Tahun 2022, dia sempat bekerja di SIAP SIAGA sebuah program terkait manajemen resiko bencana. Di sini Martha memperdalam pengetahuannya tentang kerentanan perempuan, anak, penyandang disabilitas, lansia dalam bencana. Hanya setahun, karena dia memilih melanjutkan studinya di Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia. Hingga saat ini dia masih aktif sebagai relawan di Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) Sumba yang didirikannya bersama sejumlah rekan pada tahun 2005. Bersama SOPAN, Martha melangsungkan pertemuan dan melakukan dialog dengan para penyintas dan pelaku kawin tangkap, serta berjejaring dengan sejumlah komunitas perempuan dan organisasi sosial untuk bersama-sama melawan kekerasan berbasis kultural dan menghilangkan praktik kejahatan yang merendahkan martabat perempuan.
Bagaimana Anda memperoleh kepercayaan dan dukungan dari masyarakat setempat dalam mengatasi isu sensitif seperti kawin tangkap dan perbudakan?
“Dari sebuah tulisan dalam buku saya yang mengungkap kisah lima belas perempuan Sumba dari berbagai latar belakang perihal peristiwa yang mereka alami dari tahun 1965 sampai 1998, periode yang amat bergejolak di Indonesia. Meskipun sejak 2005 saya sudah mengenal isunya, tapi proses pembuatan buku ini mengharuskan saya riset dan membuat saya punya gambaran yang detail tentang kawin tangkap. Buku itu berjudul Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba Era 1965-1998 dan beberapa kali menjadi rujukan bacaan bagi mereka yang hendak mengetahui kasus kawin tangkap di Sumba. Saya menyadari tulisan itu penting sebagai sarana untuk bersuara. Orang-orang jadi tahu dan peduli karena melihat publikasi pemberitaannya. Saya dan rekan-rekan juga berjejaring dan terkoneksi dengan berbagai organisasi seperti Komnas Perempuan dan Sekolah Pemikir Perempuan untuk sama-sama mengadvokasi korban kawin tangkap. Kekuatan jaringan inilah yang membuahkan tekanan-tekanan bahwa masalah tersebut harus masuk ranah hukum.”
Apa tantangan paling signifikan?
“Dalam praktiknya, kawin tangkap sangat merendahkan martabat perempuan dan menjadi ajang kekerasan karena perempuan bisa ditangkap seenaknya oleh laki-laki di mana pun dia berada, diseret, serta tak jarang juga dilecehkan dan diperkosa. Tidak hanya dalam praktik kawin tangkap, perempuan Sumba juga rentan mengalami kekerasan seksual dalam perbudakan. Tradisi di Sumba yang menempatkan masyarakat dalam beberapa golongan, seperti golongan bangsawan (maramba), masyarakat merdeka atau bebas (kabihu), orang dalam rumah atau hamba atau budak (ata), juga menjadi celah terjadinya praktik kekerasan seksual pada anak dan perempuan hamba. Seseorang diperkosa lalu memiliki beberapa anak dari bapak yang berbeda dan tidak mendapat perlindungan dari tuannya. Bahkan anak-anak yang dilahirkan justru dianggap aset tenaga kerja dan penerus trah hamba. Sulitnya, kedua praktik ini, kawin tangkap dan perbudakan, dianggap sebuah kebiasaan dan lazim terjadi sehingga tidak tampak aneh. Bahkan sulit sekali membawanya ke ranah hukum karena memang tidak dilihat sebagai tindakan kriminal. Dan bukan hanya warga kelas menengah ke bawah, masyarakat kaum terdidik pun menilai praktik kawin tangkap sebagai bagian dari adat yang harus dipatuhi. Ini bagian paling menantang karena kami sebagai orang Sumba dianggap mengada-ada dan bahkan dinilai sedang mempermalukan Sumba dan melawan keluarga sendiri. Namun saya tekankan kawin tangkap dan perbudakan tradisional bukan masalah geografis melainkan isu kemanusiaan.”
Seperti apa pendekatan Anda untuk melawan tradisi yang sudah mengakar kuat?
“Alih-alih menggunakan kekuatan senjata atau cara-cara yang sifatnya memaksa, maka soft advocacy seperti diskusi formal dan informal, negosiasi dengan pendekatan sosial dan budaya jadi strategi yang lebih baik mengingat kondisi yang menantang dan pihak yang dihadapi adalah lingkaran keluarga, kawan, kerabat dan berbagai lapisan ikatan sosial. Kami melakukan pendekatan dengan tokoh adat karena mereka punya peran penting, selain juga paralel mendampingi para korban dan penyintas. Kami juga melakukan dialog dengan laki-laki pelaku yang notabene adalah suami korban dan penyintas untuk mencari tahu apa sesungguhnya motif pelaku. Barangkali kalangan akademisi akan menganggap upaya ini sebagai gerakan feminisme baru, namun saya melihat betapa penting membangun kesadaran dari pihak laki-laki.”
Berkaca pada perjalanan Anda, hal penting apa yang Anda peroleh dari pengalaman interaksi dan kerja advokasi Anda dengan kaum perempuan dan kelompok marginal?
“Kasus-kasus kekerasan berbasis gender dan budaya seperti kawin tangkap dan perbudakan akan bisa sangat menyentuh hati kalau kita bisa mendengarkan sendiri kisah-kisah dari korban atau penyintasnya. Kami akhirnya melihat bahwa laki-laki juga menjadi korban dalam konteks kawin tangkap. Ada konstruksi sosial yang dipelihara budaya seolah laki-laki yang tidak atau belum menikah itu diragukan kejantanannya, tak jarang bahkan dianggap impoten. Mitos-mitos dan stigma seperti ini yang harus dibongkar, salah satunya dengan dialog dan diskusi dari hati ke hati.”
Menurut Anda, cara apa yang paling efektif untuk melawan praktik-praktik tradisional yang mendiskriminasi perempuan?
“Berbagai pengalaman pahit yang dialami dan disuarakan para perempuan korban kawin tangkap dan perbudakan tradisional atas nama budaya seharusnya sudah cukup untuk mendorong semua pihak masyarakat, pemerintah, lembaga keagamaan, lembaga adat, dan jaringan masyarakat sipil untuk menghentikan praktik tersebut. Dari sisi penegakan hukum, seharusnya aparat penegak hukum memberi perlindungan yang disertai regulasi yang kuat, bukan hanya sebatas gerakan dan imbauan. Selain juga perlu dukungan semua warga Sumba dan masyarakat Indonesia dengan menolak dan menghentikan praktik kawin tangkap dan perbudakan tradisional karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan norma hukum. Saya berharap semua upaya ini mampu menggerakkan hati semua pihak, terutama pemerintah, untuk memperbaiki kebijakan atas perlindungan perempuan dan etnis minoritas di Indonesia. Perjuangan masih sangat panjang dan perempuan adat Sumba hanyalah salah satu kelompok perempuan adat di Tanah Air yang hingga kini berjuang mendapatkan keadilan dan kesetaraan sekaligus memperoleh perlindungan dari kekerasan seksual.”