LIFE

29 November 2022

AGNEZ MO Bertekad Menorehkan Warisan Artistik yang Tak Lekang Zaman


PHOTOGRAPHY BY Hillarius Jason

AGNEZ MO Bertekad Menorehkan Warisan Artistik yang Tak Lekang Zaman

styling by Ismelya Muntu; fashion by Balenciaga; makeup Ryan Ogilvy; hair Aileen Kusumawardani

AGNEZ MO sesungguhnya—dalam pandangan saya—tidak lagi membutuhkan sebuah introduksi. Mengawali karier sebagai idola cilik dengan merilis album rekaman solo perdana pada usia enam tahun, perempuan kelahiran Jakarta, 1986 itu kini telah matang mengukuhkan reputasi sebagai salah satu musisi terbaik Indonesia. Di usia ke-36, AGNEZ MO telah merilis dua album internasional plus tujuh single, yang sukses menempatkan pamornya di pusaran industri musik global. Terbukti, karya kolaboratifnya bersama Chris Brown, Overdose, sukses menjadi hit. Tahun ini, single berjudul Patience yang rilis di bulan Februari mampu menembus tangga lagu Billboard dan menyejajarkan nama AGNEZ MO di antara sederet musisi populer dunia. 

Sosoknya ambisius, berani menentang batasan sekaligus optimis, dan unapologetic. Selama tiga dekade terakhir, perempuan yang telah mengoleksi lebih dari 190 piala penghargaan musik prestisius, termasuk iHeartRadio Music Awards, ini senantiasa menyuguhkan performa distingtif yang membuat personanya begitu lekat di ranah budaya pop. Setiap karya dibalut karakteristik autentik menjelmakan nama AGNEZ MO sebagai sebuah brand besar yang begitu kuat. Tidak hanya solid di ranah musik; AGNEZ MO turut menaklukan dunia bisnis dengan membangun label pakaian; meluncurkan merek wine yang ia beri nama sesuai inisialnya, AMO; hingga membuka restoran dan lounge yang gempitanya bergaung di kawasan selatan Ibu Kota.

Ketika seorang individu kaya talenta, dan berdaya atas talentanya, dipuja sebagai ikon pop; apa yang lantas kita lihat dari sosoknya? Kita cenderung memandang ia sebagai manifestasi atas ide, fantasi, atau asa di mana manusia bisa mendapatkan segalanya. Singkatnya, gambaran akan kesuksesan hidup. Terlebih, kita kerap menjadikan sosok mereka bak ‘tumpuan keyakinan’ bahwasanya realitas sebagaimana yang kita damba pun juga bisa terlaksana. Malang melintang di industri hiburan selama berpuluh-puluh tahun menyadarkan AGNEZ MO akan tanggung jawab yang lebih besar atas eksistensinya. Bersama Drug Enforcement Administration (DEA) Amerika Serikat, ia ambil peran sebagai Anti-Drug Ambassador untuk wilayah Asia. Ia juga bergabung dengan MTV EXIT untuk persoalan human trafficking.

Di tengah segudang aktivitas yang tiada henti, AGNEZ MO meluangkan waktu berkisah kepada ELLE Indonesia tentang esensi musiknya, karier yang kian menanjak, serta hasratnya menjadikan dunia sebagai rumah manusia yang lebih baik.

photography Hillarius Jason; styling Ismelya Muntu; fashion Balenciaga (hoodie, celana bahan denim, dan sepatu); makeup Ryan Ogilvy; hair Aileen Kusumawardani.

Agnez, Anda telah berhasil membuktikan diri sebagai musisi, aktor, sekaligus pebisnis. Apa yang sekarang masih ada di bucket list Anda?

“Barangkali, suatu hari saya akan kembali ke bangku pendidikan dan belajar ilmu psikologi; probably, hahaha. Tapi saat ini, saya benar-benar hanya fokus meningkatkan kualitas diri agar menjadi manusia yang lebih baik, secara profesional maupun personal.”

Di fase karier Anda saat ini, di mana tidak ada orang yang tidak tahu AGNEZ MO, apa tantangan yang tmasih Anda hadapi? Apakah Anda masih menerima penolakan?

“Saya mulai terjun berkarya di industri ini sejak usia 6 tahun. Bisa dibilang seluruh fase kehidupan saya berada di bawah sorotan. Untuk menjalani hidup di bawah sorotan; menjadi konsumsi publik; actually, masih menjadi tantangan berat yang harus dihadapi seorang public figure, dan terkadang masyarakat melupakan perihal itu. Orang yang tidak berada di situasi serupa, beruntung karena memiliki privilese—yes, saya katakan itu adalah privilese dan keberuntungan—yang tidak dapat dimiliki seorang public figure. Sebab mereka dapat bertumbuh menjadi seorang manusia, di lingkungan privat mereka.”

Saya sepakat. Tetapi, saya pikir, respons setiap manusia dalam menghadapi permasalahan dan tantangan hidup mereka juga bergantung pada level penerimaan individu itu sendiri.

Yeah. Tapi dengan sedikit perbedaan kondisi itu, bagaimana pun, ada peluang lebih besar bahwasanya beban yang mereka rasakan tidaklah sama dengan seseorang yang tumbuh besar di bawah sorotan publik; di mana kami—I mean, me—bukan cuma harus berjuang jauh lebih keras melalui setiap situasi sulit, dan belajar berkembang menjadi individu dari setiap kesalahan dan pilihan hidup yang saya buat, but also being judged by those mistakes oleh orang-orang yang bersebrangan pendapat. Everybody feels that they have a reason to, and people think that they have the right to judge just because we’re public figure.”

photography Hillarius Jason; styling Ismelya Muntu; fashion Balenciaga; makeup Ryan Ogilvy; hair Aileen Kusumawardani.

Omong-omong, mengapa Anda beralih menggunakan nama AGNEZ MO sebagai titel profesional, di saat eponim Agnes Monica sendiri telah merengkuh reputasi besar?

“Saya tahu barangkali terkesannya penggunaan nama tersebut seperti sebuah strategi, atau ada arti filosofis di baliknya. Tapi sungguh, sama sekali tidak ada yang istimewa. Hahaha. Malahan ceritanya cukup lucu, AGNEZ MO adalah nama, yang saya ketik secara out of the blue, ketika dahulu membuat akun Twitter pribadi. Alasannya, in general, hanya agar lebih singkat; pun tak ada alasan khusus dari penggunaan huruf Z alih-alih S. Beberapa tahun berlalu, saya tidak terlalu memikirkan untuk menggantinya. Sampai fans dan teman-teman mulai memanggil saya dengan sapaan ‘Mo’; atau ‘A-Mo’; atau ‘AMO’. Seiring waktu, panggilan itu melekat hingga hari ini. So, honestly, it just happened organically.”

Di masa awal karier, Anda pernah menggeluti seni peran. Would you be willing to comeback to acting?

“Saya cuma akan menjawab singkat; yes. Hahaha.”

Anda ingat apa yang mengantarkan keyakinan Agnes Monica muda untuk akhirnya memilih fokus di jalur musik?

“Terlepas dari berbagai kegiatan saya di periode awal berkarier, musik selalu menjadi passion nomor satu bagi saya. Dan pada waktu itu, saya masih aktif bermain sinetron, yang mana jam kerjanya luar biasa panjang dan membuat saya kesulitan mencari waktu berlatih vokal, menari, menggarap musik, dan belum lagi tampil di pertunjukan. Ditambah juga saya masih menjalani kuliah hukum (sekarang sudah stop). Oh, and on top of that, periode itu adalah masa di mana saya tengah mengawali upaya merintis jalan ke panggung internasional sehingga harus bolak-balik domisili Jakarta-Amerika Serikat untuk mengerjakan proyek rekaman album. Saya tidak pernah ada waktu untuk bisa beristirahat, benar-benar kelelahan.”

Jadi Anda memilih untuk bersikap realistis.

“Dalam pandangan saya, agar seorang seniman—musisi—mampu berkreasi menciptakan sebuah karya secara jujur, penting untuk kesehatan mentalnya berada di level yang sangat baik. Dan kala itu saya tidak merasa, bahwa saya dapat menghasilkan musik yang autentik; and with such vulnerability; bilamana kesehatan mental saya tidak sedang dalam performa terbaiknya. Saya tidak tahu apakah teori itu masuk akal dan belaku pada semua musisi, tetapi begitulah yang saya rasakan pada saat itu. Keputusan untuk berhenti bermain peran itu pun sebetulnya bukan sebuah dorongan impulsif. Tidak banyak orang yang tahu fakta tersebut, tapi saya telah menyampaikan niatan tersebut pada manajemen barangkali lima tahun sebelum akhirnya saya benar-benar stop.”

photography Hillarius Jason; styling Ismelya Muntu; fashion Balenciaga (t-shirt, celana bahan denim, dan sepatu); makeup Ryan Ogilvy; hair Aileen Kusumawardani.

Apa yang menahan Anda kala itu?

“Tanggung jawab. Saya bukan tipe orang yang bisa pergi begitu saja ketika telah berkomitmen. Looking back, untuk fokus hanya pada satu bidang di saat itu, ialah keputusan yang tepat. Profesi musisi jugalah sangat menuntut; bukan cuma perkara bakat, Anda perlu kerja keras. Today, I’m very happy with the decision I’ve made.”

Sebagaimana Anda berkata bahwasanya hidup dipayungi oleh dunia yang sangat judgemental, menjadi tantangan yang seolah-olah tak ada akhirnya. Tapi hal itu tidak pernah meredupkan semangat Anda.

“Saya tidak pernah benar-benar memberikan atensi untuk haters. Mengapa kita ingin menyisihkan energi bagi haters di saat kita memiliki begitu banyak orang yang mencintai kita. Saya tidak berkata bahwa menghadapi segala sentimen adalah perkara enteng. It’s definitely hard. Tetapi saya rasa alasan saya bisa berkarier secara autentik selama 30 tahun, sampai hari ini; karena saya belajar untuk dapat memaafkan diri sendiri sebagaimana saya memaafkan orang lain. Saya telah menerima kenyataan bahwa saya tidak sempurna; bahwa tidak semua orang akan sejalan dengan saya; pilihan yang saya ambil tak jarang menimbulkan pertanyaan yang juga kerap memicu keraguan— bahkan dari orang-orang di lingkaran pertama saya; but that’s OK. Saya rasa penerimaan diri itu justru membuat saya gampang bersikap jujur dan membuat saya lebih berdaya. Saya mengambil alih kendali power seraya berdamai dengan diri sendiri.”

photography Hillarius Jason; styling Ismelya Muntu; fashion Balenciaga (atasan bahan denim); makeup Ryan Ogilvy; hair Aileen Kusumawardani.

Kendati telah berdamai dengan diri sendiri, apakah Anda cenderung tidak lagi memikirkan sentimen publik, atau hal tersebut turut menjadi salah satu bahan perenungan buat Anda ketika merefleksi diri?

“Setiap orang punya hak untuk berbicara dan beropini. Dan setiap orang juga punya hak untuk tidak mendengar opini orang lain; setidaknya, berhak memilih mana yang ingin atau perlu didengar. Dalam kebebasan berpendapat, saya memiliki sebuah prinsip; terdiri atas lima aturan, yang selalu saya terapkan sebelum mengutarkan pendapat terhadap suatu persoalan.

Pertama, cek kompetensi diri; apakah kita memiliki pengetahuan yang mumpuni dan kredibilitas untuk membicarakan isu tersebut. Kedua, cek kapasitas diri dan tahu bagaimana menempatkan diri; apakah isunya menyangkut kehidupan personal seseorang; apakah kita terhubung langsung—first hand—dengan isu tersebut. Ketiga, cari tahu fakta keseluruhan informasinya secara akurat dari sumber yang bersangkutan; bukan dari pihak-pihak luar apalagi media sosial. Keempat, sadari intensi Anda dalam memahami suatu persoalan; apakah Anda tulus peduli, atau sekadar kepo. Saya telah menemui banyak orang yang selalu memandang saya secara keliru cuma dilandasi rasa tidak suka dan mereka memang tidak mau peduli kebenarannya saja. Ketika sudut pandang Anda bias, begitu pula opini Anda. Kelima, bijak akan kapan dan bagaimana Anda mengangkat persoalan itu sebagai diskusi publik. Sebab sekalipun memenuhi keempat ‘aturan’, jika waktu dan caranya tidak tepat atau salah, tetap akan berujung salah bahkan sampai menyakiti orang lain.

Prinsip lima aturan tersebut adalah perenungan yang saya temukan selama berpuluh-puluh tahun berkecimpung di industri ini. Menerapkannya membuat saya menjadi individu yang jauh lebih baik. Setidaknya, kita bisa menyebarkan energi yang positif bagi orang lain.”

Bagaimana pengalaman selama 30 tahun berkarier akhirnya memengaruhi kreativitas Anda pada hari ini?

“Saya rasa tidak ada pilihan bagi saya selain untuk jujur dan raw dalam hal berkarya, terutama ketika mencipta musik, serta di segala tindakan saya. Buat saya, musik merupakan sebuah visual diary. Musik yang saya buat mendefinisikan kejujuran saya; fakta dan keyakinan atas apa yang saya pandang sebagai kebenaran. Apakah orang bakal membicarakannya, yeah sure. Namun, tidak ada yang benar ataupun salah atas sesuatu yang sifatnya subjektif. I think that’s the beauty of the art and the artist.”


Anda selalu bicara tentang warisan di atas ketenaran dan kekayaan materi. Apakah fakta bahwa musik atau karya Anda akan ‘hidup’ lebih lama, bahkan setelah Anda pergi dari dunia dunia ini; memotivasi Anda untuk senantiasa autentik dalam melakukan sesuatu?

Definitely. I think my legacy is me; bagaimana saya membawa aral langkah saya dalam menjalani hidup ini; setiap tindakan yang saya lakukan; seluruh karya yang saya ciptakan; apa yang telah berhasil saya capai dalam hidup ini; hidup yang saya jalani itu sendiri. This raw, uncorrupted, authentic, yet disruptive ME, is my legacy. ‘Disruptive’ di sini seperti ketika saya menantang tim saya atau diri saya sendiri untuk melakukan sesuatu di luar zona nyaman. Sebab keluar dari zona nyaman ialah satu-satunya cara untuk kita berkembang ke level lebih tinggi.”

Banyak public figure merasa bahwa meski dengan seluruh pencapaiannya, mereka seakan-akan masih harus terus-menerus membuktikan diri pada dunia. Apa ada momen di mana Anda juga merasa demikian?

“Di titik ini, saya telah menemukan jati diri saya; and feeling content with myself; saya sudah tidak lagi merasakan kebutuhan untuk membuktikan diri pada orang lain. Dari dulu saya selalu menanamkan pada diri sendiri bahwa apa yang saya lakukan bukan sekadar untuk pengakuan, tapi karena saya ingin selalu belajar untuk menjadi yang terbaik—profesional dan personal; saya ingin meninggalkan legacy yang berdampak baik di dunia ini. Saya pikir, bagaimana cara kita menyeimbangkan diri dalam hal menjadi manusia, itulah yang terpenting.”

30 tahun berkecimpung di jagat musik; adakah perkembangan yang Anda rasa perihal kesejahteraan perempuan?

“Di industri hiburan, saya melihat ada kesenjangan dalam cara audiens menyoroti aksi perempuan dan laki-laki; saat melakukan kesalahan, lelaki cenderung kerap lebih mudah dimaafkan ketimbang perempuan. Begitu pula tuntutan industri terhadap perempuan; kita didorong untuk bekerja 10 kali lebih keras, menunjukkan hasil lebih intens untuk benar-benar membuktikan bahwa kita pantas. Sedikit miris sebenarnya, tapi semoga dengan akses informasi yang jauh lebih canggih sekarang ini kita bisa lebih cerdas dan bijak dalam berpandangan. Tentu ketimpangan perlakuan terhadap kredibilitas dan kapabilitas seorang perempuan, saya pikir, tidak hanya terjadi di ranah musik.”