16 Februari 2022
Andy Yentriyani Membela Hak Perempuan Korban Kekerasan

Tragedi Mei 1998 adalah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang menyisakan kepiluan untuk banyak orang. Tak terkecuali bagi Andy Yentriyani. Seluruh kejadian buruk yang menimpa perempuan pada masa itu menggerakkan hati Andy untuk mendedikasikan hidupnya bagi perempuan-perempuan korban kekerasan. Andy Yentriyani menghabiskan masa kecilnya di Kalimantan Barat. Ketika lulus SMP, ia menyaksikan kawan-kawannya menikah di usia yang sangat muda. “Saya sering bertanya-tanya, mengapa sebuah praktik pernikahan anak bisa diperbolehkan? Namun yang paling mengubah diskursus tentang tujuan hidup saya adalah peristiwa Mei 1998. Kita tentu tahu, kita tidak pernah bisa memilih mau lahir sebagai perempuan atau laki-laki. Termasuk tidak bisa menentukan etnis dan ras apa yang kita miliki. Maka pertanyaannya adalah mengapa perempuan selalu dalam posisi yang rentan dan kerap menjadi korban kekerasan, bahkan dalam peristiwa politik,” ujar Andy Yentriyani.
Perempuan kelahiran 1977 ini adalah lulusan studi Hubungan Internasional di Universitas Indonesia. Ia menyelesaikan kuliah master di bidang Media & Communication di Goldsmith College, University of London. Andy memulai keterlibatannya di Komnas Perempuan sejak tahun 2000. Setelah 10 tahun ikut berjuang dalam upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Andy dipercaya untuk menjabat sebagai komisioner Komnas Perempuan periode 2010-2014. Dan kini ia menduduki posisi Ketua Komnas Perempuan periode 2020-2024. Ia juga menjalankan advokasi untuk memastikan pemenuhan hak-hak perempuan dan hak asasi manusia dengan memimpin lembaga Suar Khatulistiwa, sebuah organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu kebhinekaan, demokrasi, serta hak asasi manusia melalui ruang-ruang pendidikan, penelitian, kajian strategis, kampanye, dan advokasi kebijakan. Lebih dari dua dekade, Andy Yentriyani mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk kaum perempuan dalam perjuangan pencarian keadilan. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk sepenuhnya berdedikasi pada upaya perjuangan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Apa fungsi Komnas Perempuan?
“Komnas Perempuan adalah lembaga negara independen yang fokus pada penegakan hak asasi perempuan di Indonesia, sekaligus upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) dianggap sebagai pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dirasa ada kebutuhan terhadap hadirnya lembaga-lembaga independen untuk memberikan pengawasan apakah negara menjalankan mandat untuk penegakan HAM atau tidak. Komnas Perempuan lahir dari tragedi Mei 1998. Dalam peristiwa kerusuhan tersebut, terjadi tindak penyerangan secara seksual kepada perempuan. Perkosaan yang dilakukan secara berkelompok, ataupun penganiayaan seksual. Masyarakat menuntut pemerintah agar mengambil tanggung jawab terhadap tindakan-tindakan tersebut. Ketika Presiden Soeharto turun dari jabatan lalu digantikan Presiden BJ Habibie, Bapak Habibie mengambil keputusan untuk mendirikan Komnas Perempuan.
Sebagai lembaga HAM, Komnas Perempuan harus objektif, independen, sekaligus netral. Dia berdiri di antara pemerintah dan masyarakat sipil. Dan karena itu, para pengambil keputusan di lembaga ini harus merepresentasikan keberagaman di dalam masyarakat. Dalam Peraturan Presiden, Komnas Perempuan diberikan tugas sekaligus kewenangan untuk melakukan pemantauan dan pencarian fakta. Termasuk pendokumentasian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Kami kemudian melakukan kajian-kajian untuk edukasi publik dan rekomendasi kerja guna mempengaruhi perubahan peraturan perundang-undangan atau kebijakan publik lainnya.”
Apa langkah strategis Komnas Perempuan dalam mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan?
“Kami tidak melakukan pendampingan satu per satu. Namun karena ada banyak pengaduan langsung dari masyarakat, maka Komnas Perempuan membentuk satu tim untuk rujukan dan penyikapan. Setiap ada pengaduan, kami memeriksa apakah kasusnya termasuk kategori kekerasan terhadap perempuan. Setelah itu melihat apa yang dibutuhkan si korban. Kalau dia butuh layanan hukum, kami membuat rujukan ke lembaga-lembaga layanan hukum dan melakukan pemantauan apakah korban didampingi dengan baik atau tidak. Jika korban perlu konseling, kami buat rujukan pendampingannya. Apabila korban ketakutan dengan ancaman pelaku, kami membuat surat rekomendasi yang ditujukan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kami juga menghubungi sejumlah lembaga untuk membantu mengawasi kasus dan proses peradilannya, seperti Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan. Komnas Perempuan juga menyurati pihak kepolisian dan memberikan pertimbangan hukum untuk kasus-kasusnya, meskipun tidak berarti pasti diikuti.”
Ketika ada suami melakukan kekerasan terhadap istrinya, orang-orang biasanya malah bertanya, "Apa yang dilakukan si istri sampai dai dipukul?" dan ketika perempuan mengalami perkosaan dalam perkawinan (marital rape), banyak orang menganggap hal ini bukan kekerasan, melainkan kewajiban yang semestinya dipenuhi. Kekerasan seksual tidak terjadi dalam ruang hampa dan tidak muncul tiba-tiba. Bagaimana Anda melihat fenomena ketimpangan gender dan konstruksi sosialnya sehingga kekerasan diterima sebagai suatu kewajaran?
“Meskipun ketidakadilan gender di Indonesia tidak setimpang di Afganistan, tapi secara umum masyarakat kita masih menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Kita tentu sering sekali mendengar nasihat bahwa pihak yang diminta untuk patuh seringkali adalah perempuan. Dan selama konstruksi masyarakat kita masih menempatkan perempuan sebagai pengikut yang harus tunduk, bukan sebagai pihak yang setara, maka akan selalu ada orang yang berpikir bahwa jika terjadi sesuatu di dalam rumah tangga, pasti perempuannya yang salah.
Konstruksi masyarakat yang menyatakan bahwa perempuan adalah pengikut, merupakan sesuatu yang diturunkan turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Justifikasinya bermacam-macam, mulai dari tradisi sampai agama. UndangUndang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah salah satu upaya untuk memutus ketimpangan ini. Kendati dalam penegakannya tidak mudah karena sebagai alat ubah sosial, undang-undang ini butuh banyak sektor untuk mendukungnya. Dan bayangkan betapa sulitnya menjadi perempuan apabila dia melapor suatu kasus kekerasan, orang-orang sekitarnya malah meminta dia untuk sabar dan pengertian.”

Kekerasan perempuan tidak hanya terjadi di wilayah personal, tapi juga di ruang publik seperti lembaga pendidikan dan ruang perkantoran. Mahasiswa ke mahasiswa, dosen ke mahasiswa, karyawan ke karyawan, serta atasan ke pekerjanya. Bagaimana Anda melihat fenomena “gunung es” yang pada praktiknya banyak kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan ke jalur hukum karena kejadiannya dianggap sebagai perilaku suka sama suka?
“Rasanya kita sudah harus mendekonstruksi narasi yang menyatakan bahwa manusia jatuh ke bumi karena Adam digoda oleh Hawa. Teks ini melanggengkan pola pikir bahwa perempuan adalah sumber masalah yang memicu terjadinya tindakan-tindakan buruk. Karena itu selalu muncul dugaan bahwa perkosaan terjadi karena perempuannya mengundang nafsu. Namun selama 20 tahun terakhir sejak reformasi, gerakan untuk mendukung korban semakin besar dari waktu ke waktu. Semakin banyak orang yang menyadari bahwa ada yang salah dengan kondisi ketimpangan gender. Maka ini pula yang memicu terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 30 tahun 2021, agar semua orang paham bahwa kekerasan seksual bisa terjadi dalam setiap relasi yang timpang, bukan semata-mata karena pakaian seksi yang dikenakan perempuan.”
Mengapa amat penting bagi kita untuk menunjukkan keberpihakan pada korban?
“Perkosaan bukanlah sekadar tentang serangan pada tubuh, tapi seluruh aspek dalam kehidupan perempuan ikut berdampak ketika dia diperkosa. Perkosaan juga menjadi sangat berat karena sekalipun pemerkosanya dihukum seberat-beratnya, sangat tidak gampang bagi korban untuk bangkit. Bukan hanya tentang trauma terhadap peristiwanya, tapi juga bagaimana masyarakat menilai perempuan yang pernah diperkosa. Maka memberikan dukungan bagi korban adalah sebuah prasyarat untuk terciptanya ruang yang aman untuk semua orang. Sebab tidak mudah bagi korban kekerasan untuk bicara jika dia tidak didukung orang-orang di sekitarnya. Sehingga berpihak pada korban menjadi sangat penting jika kita ingin memutus impunitas pelaku sekaligus mencegah kejadian ini terus berulang.”
Tentu sangat padat agenda perubahan sosial dalam menciptakan tatanan dan relasi serta perilaku masyarakat yang kondusif dalam mewujudkan kehidupan yang bebas diskriminatif terhadap perempuan. Bagaimana Anda menentukan prioritas?
“Daya para pembela hak asasi manusia untuk membantu korban tidak hanya ditentukan oleh kapasitasnya, tapi juga bagaimana kondisi si pembela. Saya pernah mengalami burnout yang luar biasa dimana saya sangat marah melihat kemajuan yang sedikit sekali. Kalau pendamping dan pembelanya saja tidak yakin, maka bagaimana kita bisa membangun harapan untuk orang lain. Jadi prioritas pertama untuk semua orang yang bekerja di isu pembelaan HAM adalah merawat diri sendiri agar tetap yakin pada perjuangannya. Ini bukan berarti kami mengistimewakan diri, tapi mirip aturan keselamatan di dalam pesawat; menjaga diri sendiri sebelum membantu orang lain.
Yang juga tidak kalah penting adalah upaya kaderisasi. Kita beruntung jika bisa menyaksikan terwujudnya perubahan yang sekarang sedang kita upayakan. Namun mungkin baru berpuluh-puluh tahun kemudian semua perjuangan ini dapat tercapai dan terlihat hasilnya. Maka penting untuk mengupayakan terciptanya regenerasi bahwa ada orang-orang yang akan meneruskan perjuangan ini. Dan jika kita selalu berusaha memastikan terpenuhinya pendidikan publik, maka pembelaan hak asasi manusia dan perjuangan pembebasan perempuan bisa terus terjadi. Sehingga apa yang rasanya mustahil kita lihat hari ini, mungkin bisa terjadi di masa depan kehidupan kita.”