LIFE

20 September 2023

Angga Yunanda Menggaris Batas Antara Kehidupan Profesional dan Realitas Personal


PHOTOGRAPHY BY Zaky Akbar

Angga Yunanda Menggaris Batas Antara Kehidupan Profesional dan Realitas Personal

styling Alia Husin; fashion Louis Vuitton; makeup & hair Mutia Caldera

Angga Yunanda menelusuri galeri foto di ponselnya. Ia kemudian membuka salah satu file, dan memperlihatkannya pada saya. Dalam foto itu, ia berambut cokelat keemasan yang cenderung tampak hampir pirang terkena sinar matahari. “Begini penampilan saya nantinya buat proyek film terbaru,” katanya tanpa mengungkap apa judulnya, seraya memberi isyarat bahwa informasi tersebut hanya untuk mata serta telinga saya, setidaknya sampai tiba waktunya ia bisa bercerita. Percakapan singkat itu terjadi pada bulan Desember 2022; dan bersambung di bulan Juli silam ketika ia mengabarkan filmnya siap dirilis. Saya menemui sang aktor beberapa hari sebelum pengumuman filmnya bakal lebih dulu diputar di teater global sehubungan lolos seleksi Toronto Film Festival 2023, sebelum kemudian rilis di Indonesia pada bulan November tahun ini. Rambut Angga telah kembali berona gelap, kendati tidak hitam sebagaimana warna naturalnya. Namun ia sudah lebih mirip pribadinya sediakala.

Budi Pekerti adalah judul film yang Angga bicarakan delapan bulan silam. Naskahnya ditulis dan disutradarai oleh Wregas Bhanuteja. Berkisah tentang seorang guru perempuan yang mengalami intimidasi masyarakat usai video perselisihannya dengan seorang pengunjung pasar menjadi viral di media sosial. Dalam narasi tersebut, Angga memerankan Muklas, putra sulung sang guru yang kariernya sebagai influencer terancam kandas imbas konflik ibunya turut memengaruhi aspek kehidupan sosial seluruh anggota keluarga. “Berperan menggunakan dialek Jawa adalah pengalaman yang penuh kesan, apalagi di bawah arahan Wregas. Saya mengagumi sosoknya. Ia memiliki visi yang jelas, tegas tapi terbuka akan sudut pandang para pemeran dan timnya,” cerita Angga. Setelah berkisah suasana syutingnya yang bertempat di Yogyakarta, obrolan kami berkembang menyentuh salah satu isu sosial yang sedang tumbuh di tengah masyarakat. “Bagaimana pendapat Anda tentang cyber bullying? Apakah profesionalisme seseorang hilang kredibilitasnya ketika kehidupan pribadinya bermasalah?” Ia lebih dulu melempar pertanyaan.

Saya katakan padanya bahwa terdapat selisih—meski tampaknya tipis—antara personalitas dan kapabilitas profesional seseorang. Keduanya ibarat dua karakter berbeda latar belakang dalam satu raga. Saya bisa mengakui kualitas karya seseorang terlepas dari budi pekertinya. Ia pun berpendapat demikian, “Kita harus mampu membedakan penilaian, karena sesungguhnya persona seseorang tak seutuhnya merepresentasikan kemampuan profesionalnya.”

Jaket dan celana denim, Lanvin.

Selama tiga tahun berkesempatan mengenal sosok Angga dari luar panggung sinema, ia tercatat hampir tak penah berkonflik. Di lokasi syuting, pemeran Bima dalam Dua Garis Biru yang menjadi nomine Pemeran Utama Pria Terbaik Festival Film Indonesia 2020 itu terkenal berkepribadian santun dan penuh semangat berkembang. Suatu ketika sutradara Gina S. Noer memuji karakternya sebagai, “Individu yang tahu caranya menghargai sesama manusia, dan penuh integritas dalam berperan.” Di mata para penggemarnya, ia adalah figur ideal yang didambakan. Bagi kekasihnya, Shenina Cinnamon, sosoknya begitu romantis. Ia menuturkan bagaimana, “Dia sangat perhatian dan manis, walaupun sering kali ucapannya bisa terdengar sangat menggelikan.” Angga tergelak mengetahuinya. Barangkali Shenina berkata demikian karena ia adalah kekasihnya. Tetapi sesungguhnya ia tak bersifat subjektif, tingkat kepedulian Angga terhadap sekitarnya memang cukup tinggi. Contohnya, ia selalu memastikan agar orang-orang di sekelilingnya terlebih dulu mendapatkan makanan dan minuman sebelum dirinya mulai bersantap; realitas yang saya saksikan sendiri ketika kami berdua sama-sama menghadiri sebuah acara di Singapura.

Kendati rekam jejaknya bersih dari skandal—baik profesional maupun personal—bukan berarti Angga Yunanda luput sentimen tajam masyarakat. Kredibilitas akting Angga pernah memperoleh ribuan kecaman pedas dari warganet, bahkan sebelum ia sempat unjuk penampilan. “Mereka mempertanyakan dengan sangat keras mengapa saya yang dipilih untuk peran tersebut. Buat mereka saya terlalu lembut, dan tidak pantas memerankan karakter bad boy; bahwa ada aktor lain yang lebih bagus,” ia mengenang momen penolakan itu dengan gelak tawa. “Komentar seperti itu tidak memengaruhi saya. Sebab saya menerima tiap kritik sama seperti halnya dukungan; sebagai motivasi untuk memberikan performa terbaik. Saya percaya kalau peran dan aktor terhubung secara natural seperti jodoh,” ujarnya.

Kemeja dan setelan jas, Gucci.

Sebagai platform komunikasi, media sosial mampu menghubungkan setiap manusia dari berbagai penjuru dunia. Namun di lain sisi kemudahan serta kenyamanan berkomunikasi yang ditawarkan kecanggihannya, media sosial dapat menjadi tempat menakutkan yang berbahaya. Orang-orang memaknai kebebasan beropini secara brutal. Ada yang bersuara sampai menimbulkan suatu bentuk pengadilan massa yang mematikan; seperti memicu tindakan mengensel seseorang atau kelompok oleh karena sikap dan perbuatannya dianggap melanggar aturan sosial yang disepakati segenap masyarakat. Ada yang unjuk kehidupan pribadi dalam skala berlebihan. “Oversharing sungguh sangatlah buruk,” ujar Angga belajar dari pengalaman.

Berbagi kesukaan dan aktivitas hidup sehari-hari di media sosial ialah kebiasaan yang lumrah dilakukan segenap orang pada masa kini. Tidak terkecuali Angga. Beberapa tahun awal memasuki dunia hiburan, ia senantiasa aktif mengunggah kegiatan kesehariannya, secara aktual, lengkap dengan keterangan letak keberadaannya—seperti yang biasa ia lakukan sebelum memangku titel selebritas. Apa yang terjadi kemudian sedikit di luar antisipasinya. Ia tidak mengira kebiasaan lamanya diartikan selayaknya undangan terbuka bagi publik untuk melacaknya dan berbondong-bondong datang ke lokasi; mengikutinya tanpa henti sambil terus-menerus memotret gerak- geriknya. “Pengalaman itu cukup membuat saya bingung di awal karier. Saya ingin bisa berkomunikasi dengan para penggemar, tapi terkadang atensi seperti itu terasa overwhelming,” akunya. Ia bersyukur atas keberuntungannya memiliki penggemar yang begitu luar biasa mendukung. Namun ia juga mencurahkan kegelisahan hidup di bawah sorotan. “Seiring waktu saya sampai pada titik di mana saya merasa sudah terlalu banyak momen pribadi saya yang direnggut sebagai bahan konsumsi publik.

Tidak banyak yang tersisa untuk saya simpan sendiri di ranah privasi yang semakin sempit di dunia ini. Sebab itu, sekarang saya berusaha sekeras mungkin untuk menjaga hal-hal yang penting dalam hidup saya hanya menjadi milik saya,” katanya. Bukannya pekerjaan dunia hiburan tidak menyenangkan. Menjadi aktor dan bermain peran—yang telah digelutinya dari televisi ke layar lebar hingga platform digital, sejak ia ditemukan seorang casting director lewat festival ajang pencarian bakat saat usianya 15 tahun—sangat menakjubkan bagi laki kelahiran Lombok 23 tahun silam itu. Seni peran merangkul jiwanya secara ekstensif dan utuh. Adalah dampak yang datang bersamaan dengan menjadi selebritas yang terkadang menjemukannya.

Kemeja, Louis Vuitton.

Dua tahun silam, untuk pertama kalinya Angga “meresmikan” hubungan asmaranya bersama Shenina Cinnamon ke ranah publik. Ia mengumumkan pada dunia bahwa ia tengah berbahagia dengan mengunggah foto berdua sang kekasih di akun media sosial pribadinya. Dalam waktu singkat, kolom komentarnya dibanjiri tanggapan publik dunia maya. Sebagian memberi selamat; sebagian lain menyatakan ketaksetujuan; sebagian yang lain lagi keberatan dan berharap ia kembali pada mantan pacarnya terdahulu. Angga mengaku bahwa sekarang ia sudah hampir tidak pernah membuka kolom komentar. “Tidak memperhatikan omongan orang-orang sangatlah membebaskan. Tapi jika melihat kembali ke belakang, rasanya lucu mengetahui bagaimana manusia memiliki sifat yang mana kita merasa berhak mengetahui segala hal tentang hidup manusia lain yang bahkan tidak dikenal, hingga mendikte akan cara yang benar menjalaninya,” ujarnya.

Tumbuh bergerak di era metamesta, konon, eksistensi kita di media sosial linier dengan realitas. Konon pula sesuatu kerap dipandang tidak nyata apabila tak berlangsung di kedua semesta. “Saya sempat berpikir untuk berhenti dari media sosial. Tidak untuk selamanya, hanya selama beberapa waktu. Hanya saja pekerjaan dunia hiburan banyak melibatkan aktivitas media sosial, sehingga rasanya sulit untuk melakukan itu sekarang. Yang terbaik yang bisa saya lakukan saat ini adalah mengurangi intensitas update dan memilah perihal apa yang ingin saya bagikan pada publik,” kata Angga. Bagaimana pengaruh absen dunia maya terhadap personanya? tanya saya. Ia tak memungkiri bila aksinya berdampak pada impresi masyarakat terhadap presensinya. Tapi ia tidak khawatir. “Saya rasa orang tidak peduli saya makan apa, di mana, atau mendengarkan lagu apa hari ini. Mereka lebih peduli pada karya saya. Detail kehidupan saya bukanlah sesuatu yang penting di saat mereka memiliki persoalan lain yang lebih besar dan lebih serius,” katanya.

Semester dua tahun 2023 menjadi periode sibuk bagi Angga. Selain merilis Budi Pekerti, saya mengetahui bahwa dirinya akan lebih dulu tampil memerankan karakter laki-laki legendaris di remake film drama Indonesia paling populer di era ‘80-an: Catatan Si Boy. Ini bukan kali pertama film tersebut mendapatkan adaptasi modern. Di tahun 2011, Putrama Tuta mendalangi reboot karya orisinal Nasri Cheppy itu dengan judul Catatan (Harian) Si Boy. Narasi tentang Boy juga sempat hadir dalam bentuk serial televisi di tahun 2016. Kendati telah melalui ragam kebaruan perspektif kreatif, bagi generasi tertentu, Catatan Si Boy yang rilis perdana pada 1987—serta empat judul waralaba yang menyusul setelahnya—akan selalu menjadi peristiwa seismik tak terlupakan dalam budaya populer sinema Tanah Air. Untuk alasan tersebut, menghidupkan tokoh sebegitu ikonis seperti Boy merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi Angga.


“Tawaran peran Boy datang di tahun 2021 silam, dan butuh berbulan-bulan sebelum akhirnya saya memutuskan menerima tawaran peran ini,” ungkapnya. Ia antusias menjadi bagian dari narasi historis, tapi sekaligus resah bilamana ia justru mengacaukan salah satu ikon sinema drama Indonesia. “Boy digambarkan cerdas, baik hati, karismatik, jagoan, dan favorit semua orang. Sosoknya begitu sempurna, bahkan terlalu sempurna. Selama proses memahami karakternya, saya enggak bisa berhenti berpikir bahwa ia benar-benar fiksi. Dia too good to be true untuk eksis di kehidupan nyata. Lalu saya berpikir apakah penontonnya selama ini juga berpandangan sama seperti saya?” ujarnya. Pikiran itu memotivasi Angga untuk berimprovisasi. “Saya tidak ingin ia dipandang fiksi. Saya ingin menampilkan tokoh yang sempurna ini agar dapat relate dengan masyarakat. Saya ingin ia dipandang sebagaimana manusia,” asanya. Persoalannya apakah improvisasi diinginkan bila karakternya sebesar itu? Dan itu baru pertimbangan pertama.

Yang kedua, “Standar yang dibuat oleh mas Onky Alexander sebagai pemeran orisinal Boy sangatlah tinggi. Begitu juga para pendahulu saya dalam adaptasi modernnya.” Bukanlah sebuah kelemahan ketika Anda melalui krisis kepercayaan diri manakala berhadapan dengan sesuatu yang sifatnya ikonis. Namun Angga enggan berlarut-larut dalam keraguan. Ia bertekad memberikan penonton 100% kemampuannya. Demi menemukan Boy dalam dirinya, ia berlatih koreografi bela diri hingga mengendarai mobil sport dan mempelajari teknik drifting. “Meski akhirnya tim produksi memutuskan menggunakan pemeran pengganti saat adegan untuk alasan keamanan, tapi proses pendalaman karakter yang menguji adrenalin itu cukup membantu membangun karakternya pada diri saya,” kisahnya. Ketika kami berbicara hari itu, Angga belum berkesempatan menyimak hasil akhir filmnya. Ia mengungkapkan optimismenya, meski saya juga bisa merasakan kegugupan dalam nada bicaranya. “Saya hanya berharap dapat menorehkan cerita segar yang memperkaya Catatan Si Boy,” katanya.

Pada akhirnya, Angga Yunanda dan setiap karakter peran yang ia mainkan—tak terkecuali Boy—adalah dua kepribadian yang berbeda. Ia barangkali tak selalu merepresentasikan gambaran sempurna suatu peran di mata setiap penonton. Tapi ia akan selalu menjadi aktor yang berusaha maksimal dalam memenuhi idealisme peran yang diamanahkan kepadanya.

Di penghujung hari, saya menanyakan hal yang kerap berulang saya lontarkan: apa rencana peran berikutnya? Responnya di luar perkiraan. Ia libur berperan. “Saya belum menerima tawaran peran lagi dari selesai syuting Budi Pekerti bulan Desember tahun lalu,” ungkapnya. “Oh, saya ingin cepat-cepat Desember! Saya ingin semua film saya segera tayang dan rasa deg-degan ini berakhir,” Angga berseru menutup obrolan.