LIFE

20 April 2023

Aurora Ribero Menelaah Karier Akting dan Ketenaraan Di Usia Muda


PHOTOGRAPHY BY Raja Siregar

Aurora Ribero Menelaah Karier Akting dan Ketenaraan Di Usia Muda

styling Ismelya Muntu; fashion Chanel; makeup Archaangela Chelsea; hair Jovita; location Open Doors

Tidak semua aktor cukup beruntung bisa segera mendapatkan peran besar di awal perjalanannya merintis karier. Di antara mereka yang bernasib baik, Aurora Ribero adalah salah satunya. Hanya selang beberapa waktu langkah Aurora memasuki jagat hiburan Tanah Air pada 2017, ia telah mampu menapakkan kaki hingga layar lebar. Penampilan perdananya ketika itu ialah melakoni karakter pendamping sentral bagi tokoh utama dalam film Susah Sinyal besutan sutradara Ernest Prakasa. Yang menjadi pasangan perannya pun merupakan aktor dengan jam terbang jauh lebih tinggi dari jajaran kelas atas; peraih dua Piala Citra Festival Film Indonesia, Adinia Wirasti. “Pengalaman itu masih terasa surreal sampai hari ini. Saya selamanya berterima kasih kepada mas Ernest, mbak Meira Anastasia, dan pak Chand Parwez,” Aurora mengenang kembali masa-masa awal perjalanannya. Bicaranya sedikit terbata manakala ia berusaha mencari kata yang tepat untuk mengekspresikan perasaannya. “I mean... bagaimana bisa Anda menaruh kepercayaan kepada orang baru, yang berusia sangat-sangat muda, serta memiliki pengetahuan akting yang sangat-sangat minim. Tapi mereka percaya pada saya, dan mau memberikan kesempatan untuk saya bermain peran,” ujarnya.

Terkait faktor keberuntungan ini mencuatkan pertanyaan menarik dalam benak saya: apakah orang-orang sukses, sebagian besar hanyalah orang yang paling beruntung? Well, meski jika jawabannya ternyata adalah benar, karier yang dibangun Aurora pada kenyataannya bukan sekadar buah peruntungan. Terlepas dari nasib mujur yang barangkali turut mengiringi ia menggurat garis start di ranah sinema; perempuan kelahiran Semarang tahun 2004 ini sejatinya memang menyandang naluriah pemeran. Silakan nilai sendiri kredibilitas aktingnya di Susah Sinyal—peran yang mengantarkan ia menempati jajaran nominasi Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Indonesian Box Office Movie Awards tahun 2018, dan nomine Piala Maya 2019 untuk Aktris Pendatang Baru Terpilih—maupun lewat sejumlah judul lainnya seperti Warkop DKI Reborn (2019), Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi (2020), Ali & Ratu Ratu Queens (2021), serial web Kaget Nikah (2022), dan sinetron Siapa Takut Orang Ketiga (2022). Menyoal suka atau tidak kemudian akan ceritanya tetap bergantung pada preferensi masing-masing. Namun, tak dipungkiri penampilan Aurora nyaris selalu menoreh kesan.

Atasan, celana pendek, gloves, dan sepatu, seluruhnya koleksi Chanel.

Saya menjumpai Aurora di ruang komunal bernuansa rimbun yang dikelilingi pepohonan hijau di kawasan Alam Sutera. Kami berbincang santai tentang film, dari sudut pandang sesama penikmat hingga apa yang menjadi gairahnya dalam melakoni profesi keaktoran, sambil duduk di salah satu bangku yang tersebar di tengah area lapangan terbuka. “Ketika masih kecil dan sangat naif, saya tidak pernah membayangkan akan bermain peran. I love movies, dan suka banget nonton film. Namun, saya pikir film merupakan hasil dari peristiwa alami yang terjadi begitu saja,” Aurora berkisah lugas seraya tertawa. “Film dapat mengubah cara pandang seseorang. Membuat kita merasakan perasaan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya; mungkin selayaknya pencerahan. Buat saya, film dan seni peran telah mengajarkan banyak hal tentang kemanusiaan dan arti kehidupan; alasan krusial yang membuat saya mencintai profesi aktor, dan menikmati melakukan pekerjaan ini,” katanya.

Di tengah perbincangan yang bergulir, seorang perempuan—tidak lebih muda darinya—mendekat dengan sopan untuk mengajak berfoto bersama. Aurora segera bangkit tanpa ragu seraya merangkulnya. “Memang kamu kenal siapa saya?” guraunya ramah, tapi tersirat jelas kalau ia benar-benar penasaran dalam intonasinya. Sang penggemar tersenyum menimpalinya lalu berkata bahwa ia menontonnya di serial televisi.

Atasan knitwear, rok, belt sebagai headpiece, dan perhiasan cincin Coco Crush, seluruhnya koleksi Chanel.

Aurora menuai pujian artistik secara instan. Dalam waktu singkat, ia menemukan dirinya dikenali oleh orang banyak. Apakah ia sendiri memandang sosoknya sebagai it girl? Saya bertanya ketika ia kembali duduk. “Enggak,” jawabnya cepat. “Am I ? Well, I guess I am,” celotehnya berkelakar. Aurora lantas bercerita manakala ia sempat jengah dengan keadaan populer di tahun awalnya berperan. “Saya sepenuhnya bersyukur saat akting saya berhasil memuaskan penonton, bahkan diapresiasi dengan diberikan nominasi penghargaan. Tetapi atensi yang datang begitu bertubi-tubi sampai bikin overwhelmed,” ungkapnya. “Saya bukanlah anak yang terbiasa mendapatkan atensi di masa lalu. Dan dengan kepribadian saya yang introver, I didn’t want the spotlight on me. Jadi cukup terkejut ketika kemudian disorot dan menjadi sorotan,” ia menjelaskan.

Pergumulan lebih dalam yang menyelubungi batin Aurora terkait popularitas adalah, “Ketenaran itu bisa mengangkat Anda ke puncak tertinggi; dan di saat yang sama menghancurkan jiwa Anda jika terlalu dijunjung.” Tetapi bergelut sekian tahun di bawah ingar-bingar industri entertainment menyadarkan Aurora untuk menerima segala tentang profesi dunia ini, termasuk fakta bahwa ia terkenal. “Saya harus bersyukur telah diberi kesempatan untuk berperan, dan menggunakan posisi saya untuk menyuarakan suara yang luput dari pendengaran,” katanya penuh rendah hati.

Berbeda dari si penggemar yang menghampiri kami, impresi saya atas permainan peran Aurora paling membekas saat menonton filmnya yang terakhir rilis di bulan Desember 2022 silam, Like & Share, di mana ia berperan sebagai Lisa; perempuan muda yang tengah mengeksplorasi jati diri di antara sederet konflik masa remaja. Lisa mempertanyakan apa yang dianggap benar dan salah oleh norma masyarakat; memberontak dari tuntutan pakem orangtuanya; bersandar pada dunia maya; sampai hanyut oleh adiksi erotika; dengan lapisan emosi yang naik-turun secara intens. Kita bisa merasakan dinamikanya lewat ekspresi wajah Aurora—gerak mata yang berbahasa hingga mulut yang berkedut dalam diam—serta intonasi vokal yang melompat dari penuh ketenangan jadi bergetar geram. Selama menghidupkan sang karakter, Aurora mengaku seringkali amarahnya memuncak, dan ingin berteriak acap kali merekam adegan-adegan emosional. Kendati demikian ia harus, “memahami bahwa sifat Lisa tidak seperti itu,” dan berusaha keras menundukkan egonya. “Karakter Lisa memiliki banyak layer. Ia berusaha agar tampak tenang dari luar, padahal sedang terjadi perang hebat di dalam dirinya. Terkadang, ego saya ingin sekali memeluknya dan bilang, ‘Sudah lepaskan saja. Marah saja!’” tuturnya dengan cara yang sungguh menarik, seolah-olah Lisa merupakan sosok riil dan ia bersahabat karib.

Atasan knitwear, jumpsuit, kalung, dan tas, seluruhnya koleksi Chanel.

Aurora dan Lisa sangat bertentangan. Namun Aurora juga tak menyangkal jikalau ia merasakan kedekatan yang cukup erat, yang membuatnya terlampau terhubung dalam beberapa hal, dengan karakternya tersebut. “Saya yakin, diri saya bukan satu-satunya; banyak orang di dunia ini yang bisa relate kepadanya. Lisa merepresentasikan siapa saja yang tengah struggle melewati fase pubertas dalam mencari jati diri, dan saya pikir karakternya tidak terpaut usia. Siapa yang tidak pernah melalui kesulitan berkomunikasi dengan orangtua; atau kecanduan sesuatu dan susah berhenti sekeras apa pun usahanya mencoba,” katanya.

Kali pertama menerima skrip Like & Share dari sang sutradara sekaligus penulis naskah filmnya, Gina S. Noer; Aurora sangat bersemangat. Begitu meletup antusiasnya hingga ia tidak mengkhawatirkan pengadeganannya yang terlalu eksplisit. Apa yang di pikirannya hanya, “Betapa karakter dan kisahnya mewakili suara banyak orang yang sedang struggling mengatasi adiksinya. Bentuk kondisinya tidak mesti sama persis seperti Lisa yang adiktif terhadap konten pornografi—yang mana barangkali juga sebenarnya banyak ‘Lisa’ di dunia ini. Tiap orang, saya rasa, pernah berada dalam situasi di mana ia tidak bisa terbuka membicarakan kondisinya dengan orang lain sebab merasa dirinya memalukan. They don’t really wanna be in that situation, and don’t know how to handle it; but don’t have someone to talk to. Akhirnya kesendirian itu menimbulkan kehampaan dan kesepian. Padahal, di satu sisi, manusia memiliki kebutuhan untuk merasa dicintai, dan terkadang menerima afirmasi dari orang lain. Maka itu, saya pikir, penting untuk kita membicarakan persoalan ini.”

Sebagai aktor pendatang baru, Aurora Ribero terbilang cukup eksploratif dalam mengurasi pilihan tema latar perannya. Ia senantiasa menantang kemampuannya agar menjadi lebih dari sebelumnya. Prinsipnya: apa pun yang membuatnya merasakan ‘takut’ akan ia jajal. Ia tidak telalu mengkhawatirkan bakal risiko publik mengasosiasikan lakon yang ia perankan sebagai sosoknya di kehidupan nyata. “Selama saya mengetahui pribadi saya yang sebenarnya, I think it’s enough; I’ll be okay,” katanya. Tapi kekhawatiran itu datang dari kedua orangtuanya.

Jumpsuit dan perhiasan cincin Coco Crush, Chanel.

Aurora Ribero mulai menjajaki dunia hiburan di rentang usia yang begitu muda. Ia baru menginjak 13 tahun ketika seorang pencari bakat di Bali menemukannya melalui media sosial, dan memperkenalkannya pada talent management di Jakarta. Ia adalah anak tunggal dari pasangan orangtua berlatar asal Indonesia dan Italia. Plus, tidak ada rekam jejak keluarga yang berprofesi di industri kreatif dalam silsilah besarnya. “Papa merasa beban pekerjaan ini terlalu berat, dan saya masih terlalu muda. Lain hal dengan mama, beliau sedari awal tahu kalau saya mampu melakukannya dan akan baik-baik saja. Walaupun kadang mama lebih mencemaskan pilihan peran yang saya ambil. Hahaha. Tapi kecemasannya segera padam begitu ia paham alasan saya melakukannya. Melihat mama penuh keyakinan, begitu pula papa lama-kelamaan,” ungkapnya.

Tidak dipungkiri, kita hidup di dunia di mana masyarakatnya bisa menjadi begitu menghakimi dan dengan cara-cara brutal yang kadang tak terbayang nalar. Kita kerap melihat bagaimana seseorang— semoga saja saya dan Anda tidak termasuk di antara korban maupun pelakunya—dapat dirundung, dikucilkan, bahkan diboikot secara beramai-ramai oleh publik bilamana tindakannya bertentangan dengan penilaian orang banyak. Pemahaman itu pun tak luput dari kesadaran Aurora. “Saya beruntung sudah mampu berdamai dengan opini orang lain. Ucapan orang lain, jika sumber informasinya bukan berasal dari diri kita sendiri, tidak lebih dari sekadar opini. So why bother. Saya menghargai opini mereka tentu saja, tapi tidak membiarkan pandangan mereka terhadap saya memengaruhi cara saya menilai diri sendiri. Apalagi sentimen yang tidak masuk akal, jika membiarkan diri kita terpengaruh sama halnya memberikan power atas diri kita kepada mereka,” tuturnya.

Ini adalah impresi saya atas Aurora Ribero di luar perannya: seorang remaja berusia 18 tahun—Aurora berulang tahun ke-19 bulan Mei mendatang—dengan kebijaksanaan melampaui angka yang melabelinya. Saya memberikan pertanyaan terakhir sebelum mengakhiri hari yang semakin menuju petang, bagaimana ia ingin dipandang sebagai seorang aktor? Ia semula menjawab dengan cepat, seperti yang dilakukannya sepanjang obrolan kami, “Dalam cara bagaimana saja.” Tapi ia menarik jeda seraya bergumam, “Hmm... that’s an interesting question. Saya tidak pernah memikirkan ini sebelumnya,” dan merenungkannya kembali. “Sejujurnya, saya tidak terlalu memikirkan citra diri sendiri di mata orang lain. Buat saya, esensi akting adalah tentang karakternya. Saya melihat raga saya sebagai wadah, seperti sebuah transportasi, untuk karakter saya bersuara. That’s what matter the most,” jawabnya.

Apakah itu hal yang baik? “I don’t think it is a bad thing,” pungkas Aurora tersenyum.