24 Mei 2022
Baim Wong Mendefinisikan Makna Kehidupan yang Hakiki
Jauh sebelum sepak terjang konten digital melejitkan ia sebagai salah satu bintang paling bereputasi di ranah digital, ia lebih dulu dikenal lewat kredibilitasnya menghidupkan nyawa suatu peran. Sekarang, Baim Wong bergerak di balik layar sinema.
Sejak lama kita—dari kacamata saya—mengetahui figur Baim Won semata-mata aktor. Segelintir pemeran berbakat natural yang pernah saya saksikan di layar sinema Indonesia. Sejujurnya, tidak seluruh film Baim Wong sudah saya tonton. Tapi di setiap karyanya yang saya nikmati, saya perhatikan Baim (sapaan akrabnya) betul-betul menjiwai perannya. Penampilannya memerankan karakter kompleks mafia psikotropika di film Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017) ialah satu di antara lakonnya yang paling berkesan dalam ingatan saya. Namun, sosok Baim Wong masih dari sudut pandang saya—seolah-olah menjadi divergen dalam beberapa tahun belakangan. Namanya tak lagi sekadar muncul di barisan kredit pemeran layar lebar maupun televisi, tetapi juga menyertai sederet merek kuliner hingga lini mode. Lalu yang paling signifikan selama lima tahun terakhir, gaung reputasinya lebih familier selaku bintang program varietas. Sekarang ini, Baim fokus merangkul media sosial sebagai platform berkarya, dan memproduksi konten-konten video keseharian lekat realitas sosial. Rekaman yang ia buat penuh kejujuran—seringkali direkam melalui tangannya sendiri—sehingga barangkali membuat banyak orang merasa terhubung, bahkan bersimpati, saat menonton. Terbukti jumlah penonton videonya selalu tak pernah sedikit. Kanal YouTube miliknya bersama keluarga pun telah diikuti oleh 20,3 juta akun pengguna platform berbagi video digital tersebut.
Saya pergi menemui Baim pada suatu siang di penghujung bulan Maret 2022. Sebelum duduk bersamanya, saya merancang daftar tentang apa yang ingin saya ketahui dari seorang Baim Wong. Apakah saya perlu membahas tentang keluarganya? Rasanya, kita cukup membuka YouTube untuk menyimaknya. Lalu saya pikir, baru-baru ini ia mendirikan studio animasi (Tiger Wong Animation), sepak terjangnya bertransisi sebagai pebisnis bisa jadi sebuah kisah menarik. Di tengah renungan itu, saya lantas menyadari satu daya pikat Baim Wong yang tak pernah pudar sedari dulu: karisma sang aktor. Faktanya tercatat minimal Baim tampil dalam dua judul karya (tidak termasuk sinetron) setiap tahunnya, sejak 2005 silam ia serius mendalami seni peran. Layla Majnun dan Agen Dunia yang dirilis tahun 2021 merupakan dua penampilan terakhirnya. Maka saya putuskan untuk mengenalnya dengan kembali pada akar identitas figur Baim Wong.
“Saya hampir enggak pernah memperkenalkan diri dengan title CEO perusahaan ini, atau owner usaha itu. Memang betul saya menjalankan bisnis di luar profesi keaktoran, tapi saya selalu menyebut diri saya seorang aktor. Sebab, demikianlah sejatinya saya memandang diri saya,” kata pemenang dua kali piala Indonesian Movie Actor Awards itu (sebagai Aktor Pendatang Baru Terfavorit tahun 2012 untuk penampilan layar lebar perdananya lewat film Dilema, kemudian Pemeran Pendukung Pria Terfavorit tahun 2020 untuk kepiawaiannya memerankan Jojo dalam Bebas besutan Riri Riza). Ia menyambung penuturannya, dengan sedikit nada penekanan, “Saya terlalu mencintai seni peran untuk bisa melepaskannya begitu saja,” ucapnya mengafirmasi perihal hasratnya terhadap seni peran selamanya tak akan surut—walau tetap ada tahun-tahun di mana ia absen dari film maupun sinetron.
Perkenalan Baim dengan dunia peran terjadi di pusat perbelanjaan. Ia ditemukan oleh sutradara Nayato Fio Nuala, yang menawarkannya kesempatan audisi untuk sebuah sinetron produksi Multivision Plus. Baim yang baru berusia 20 tahun kala itu, sama sekali tidak memiliki pengetahuan akan seni peran, dan sesungguhnya cenderung antipati terhadap jagat hiburan Indonesia. “Dahulu saya kerap melihat kebanyakan sosok public figur begitu arogan, jauh dari ramah, dan untuk menjadi salah satunya sama sekali bukan impian saya,” ceritanya mengenang sembari tertawa kecil, “Walaupun persepsi itu lambat laun luntur, ya, setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan ini sendiri. Saya menyadari bahwa tipisnya kerendahhatian seseorang bisa dilatari oleh beragam alasan yang terkadang enggak bisa kita hakimi. Saya hanya berharap bisa menjadi pribadi yang lebih baik ketika akhirnya menetapkan pilihan hidup di bawah sorotan.”
Debut akting Baim dimulai dari sinetron Tunjuk Satu Bintang (2002), kemudian dilanjutkan produksi 7 Tanda Cinta (2002-2003). Sebuah perjalanan baru lazimnya diiringi antusiasme bereksplorasi. Tetapi prevalensi tersebut tidak berlaku pada Baim. Semangat itu tidak menggairahkan hatinya. Ia malah pamit usai menjajal dua judul. Baim mengungkap alasannya, “Saat itu, saya pikir, menjadi aktor bukan bidang pekerjaan yang tepat untuk saya. Sebab, saya terus-menerus merasa nervous beradegan di depan kamera.” Sempat mengecap panggung modeling selama dua tahun, sebelum akhirnya memutuskan balik ke layar televisi. Apa yang membawanya kembali dalam waktu singkat? Tanya saya. “Butuh uang buat hidup,” jawabnya lugas seraya tergelak.
Kebutuhan perekonomian barangkali menjadi titik penentu jalannya kembali pada dunia keaktoran, namun prinsip nyata memotivasi Baim agar mencoba lebih acuh. Maka untuk kali kedua itu, ia bertekad menjalani keaktoran penuh integritas. “Jika akting akan menjadi hidup saya, saya ingin benar-benar serius mendalaminya. Masa muda saya banyak dihabiskan di TIM (Taman Ismail Marzuki) untuk mencari pemahaman dari buku- buku tentang seni peran. Waktu itu saya enggak punya mentor, dan enggak tahu ke mana harus belajar. Jadi, sumber utama referensi saya berasal dari literatur atau menonton film. Setiap kali menonton karya, saya perhatikan bagaimana aktornya bergerak, caranya berdialog; kemudian saya akan mengulangi seluruh adegannya,” ceritanya.
Ketertarikan Baim terhadap profesi keaktoran bertumbuh secara organis dari satu lakon ke lakon lain. Animonya perlahan berkembang menjadi rasa cinta yang menggelorakan gairahnya berkarya. Usai tujuh tahun merajai televisi, kredibilitas berperan Baim meluas ke layar lebar pada 2012. Di titik itu, pemikiran awam seputar akting sekadar konteks hafalan telah terhapuskan dari benaknya. “Seni peran adalah seluruhnya tentang rasa. Aktor yang hebat sulit untuk ditebak. Ia bergerak sejalan perasaannya. Enggak ada pikiran, enggak ada hafalan. Ikhlas menerima sebuah karakter masuk ke dalam dirinya,” kesimpulan yang ia jabarkan dalam sebuah narasi panjang; meliputi pengalaman sepanjang dua dekade menggeluti lokasi syuting, hingga referensi silang melibatkan sederet figur aktor seperti Joe Pesci, Al Pacino, Sean Penn, dan Denzel Washington yang telah menginspirasi caranya berakting. Seiring pencariannya akan hakikat berperan, menjadi aktor rupanya turut andil memperkaya spiritual serta kemanusiaan Baim. Sebagaimana diutarakannya, “Kehebatan dari pekerjaan aktor adalah kami bisa merasakan apa yang, barangkali, tidak bisa dirasakan oleh orang banyak. Setiap kali berakting, saya seringkali berujung mewawas diri dalam memandang hidup ini. Sebab seni peran sesungguhnya berbicara soal kehidupan, bukan kebohongan—sekalipun tokoh yang diperankan fiktif.”
Tahun ini, laki-laki bernama lengkap Muhamad Ibrahim tersebut memasuki usia 41 tahun. Di titik tersebut, Baim Wong telah menjalani separuh masa hidupnya di panggung peran. Menorehkan 35 judul sinetron, 18 karya layar lebar, 17 film televisi, plus 2 serial web. Sebuah presensi jejak yang impresif atas karier nan mapan. Anda tahu apa yang timbul saat seseorang berada di titik stabil? Asa akan kebaruan. Gairah Baim terhadap dunia peran bergejolak. Ia berharap dapat berkontribusi lebih bagi industri yang telah mewarnai hidupnya. Kiprahnya pun beranjak ke balik layar sinema dengan mendirikan rumah produksi Tiger Wong Entertainment.
“Anda tahu, saya tidak pernah setuju akan prinsip ‘kehidupan berjalan seperti roda berputar’. Menurut saya, persepsi hidup ‘terkadang berada di bawah’ dapat membuat seseorang kalah sebelum bertindak. Saya lebih suka menjalani hidup seperti main catur; kita harus memiliki strategi yang jelas dalam melangkah,” ujarnya. Saya mendengarkan. Pergerakannya di balik layar diakui Baim merupakan bagian dari rencananya berkarya di dunia sinema. Ia memahami bahwasanya kehidupan manusia merupakan sebuah proses yang berkorelasi dengan waktu. Segala hal terjadi berdurasi seiring kehidupan tiada henti bertumbuh, dan manusia tidak bisa melawan arus untuk terus-menerus berjalan di tempat yang sama.
Awal Maret silam, Baim mengumumkan keterlibatannya sebagai produser dalam proyek film berjudul Tamu Tak Diundang yang tengah dibesut sutradara Teddy Soeriaatmadja. Dari membaca judulnya, alur drama berbumbu thriller segera terbesit di benak saya. Baim tergelak ketika saya mengutarakan pendapat tersebut tatkala pembicaraan kami sampai pada topik ini. “Beri tahu lagi pendapat Anda saat nanti melihat teaser posternya,” katanya tersenyum jahil. Tentu saja, usaha saya menggali sinopsisnya tidak berhenti di situ. Namun pertahanan Baim sama kuatnya. “Ini kisah drama dengan twist,” ujarnya kemudian, “Skenarionya ditulis sangat berani, dari segi pengolahan adegan, penciptaan setiap karakter, sampai susunan bahasanya dipikirkan secara matang. Penceritaannya sangat kuat sentuhan emosi.”
Menduduki bangku produser memberikan Baim sebuah kekuatan segar yang diimbangi tanggung jawab dalam berkisah. “Di awal membicarakan proyek ini dengan Teddy, saya bilang padanya kalau saya ingin membuat film berkualitas, sekaligus bisa dinikmati oleh masyarakat luas untuk waktu yang tak terhingga,” jawabnya. Ia menetapkan penawaran untuk dapat andil memilih pemain dan diizinkan memegang kendali penuh dalam proses penyuntingan. Mendengarnya bercerita, saya hanya bisa membayangkan betapa alot negosiasi antara dua seniman itu. Baim tergelak seolah mengiakan, “Kami membicarakan persoalan ini secara terbuka di awal supaya enggak terjadi benturan di tengah prosesnya. Saya menghormati kredibilitas penyutradaraan Teddy. Tidak ada yang membantah bahwa beliau sangat andal di pekerjaannya. Namun, menurut saya, dalam film juga penting adanya layer yang perlu mengerti keinginan setiap penonton. Dan saya merasa bertanggungjawab menjembatani keinginan penonton itu dengan visi kreatif para pembuat film.”
Sementara soal pemain, “Kali pertama membaca skripnya, saya sudah tahu bahwa tidak ada pilihan tepat selain Laura Basuki dan Reza Rahadian untuk menghidupkan kisah film ini. Saya telah lama mengikuti performa Reza, dan Laura; bakat aktingnya sangat memesona. Ia sangat tulus dalam menyampaikan perasaannya dan membuat setiap karakter yang diperankannya tampak menonjol,” ia menjelaskan secara lugas. Ketika kami berbicara, Tamu Tak Diundang masih di tengah proses pengambilan gambar.
Saya terpantik untuk mencari tahu performa Baim di balik layar. “Pribadi Baim sangat humble, sangat membumi. Ini adalah kali pertama saya bekerja sama dengan Baim Wong, dan menurut saya, ia memiliki mata sekaligus naluri yang tajam dalam menilai sesuatu. Saya pikir keterlibatannya memberikan dorongan lebih bagi aspek idealisme film ini,” kata Laura Basuki saat saya hubungi lewat telepon.
Seseorang menghampiri kami dan memberitahukan bahwa Baim Wong—aktor, produser, entrepreneur, dan jangan lupakan kegiatan filantropinya—sudah harus berada di tempat lain kurang dari satu jam. Berbincang dengan Baim mengalir begitu cair, membuat saya lupa bahwa ia adalah orang beragenda paling sibuk. Dengan segala pencapaian yang telah ia raih, saya kemudian memintanya mendefinisikan satu hal untuk menutup pertemuan kami: kesuksesan. “Ketika kita bahagia, dan itu bukan perkara uang. Saya sudah pernah melalui hidup kere, pas-pasan, berkecukupan, hingga bisa membeli sesuatu di titik sekarang ini. Bahagia saya sederhana, ketika saya bisa membuat orang lain tersenyum bahagia,” pungkasnya.