18 April 2022
Bryan Domani Berjalan Selaras Realitas

Berkarya di panggung hiburan bukan sesuatu yang direncanakan oleh Bryan Domani. Langkahnya mengalir begitu saja seiring menjejaki kehidupan, dan ia menemukan tempatnya di dunia, sebagaimana diutarakan sang aktor muda.
Bryan Domani mengawali perkenalan kami dengan berceloteh nostalgia tentang bagaimana orangtuanya berjumpa dan jatuh cinta. Keluwesannya di luar antisipasi saya (karena ini kali pertama kami bertemu, dan seberapa sering topik keluarga muncul sebagai pembuka obrolan antara dua orang yang baru berkenalan), kendati hal itu memberikan suatu indikasi yang menyenangkan perihal sejauh apa ia akan terbuka bercerita seputar pribadinya. “Ayah saya pernah menjadi Executive Chef di hotel ini. Di sini juga tempat ia bertemu dengan ibu saya,” kata aktor pemeran Nicholas van Djick dalam film Merindu Cahaya de Amstel itu. Saya dan Bryan (demikian ia akrab disapa sehari-hari) duduk bersama di sudut pantri di kamar sebuah hotel di kawasan Jakarta Pusat, selagi menunggu tim ELLE Indonesia menyelesaikan tata set pemotretan. Ini hari Minggu pukul 10 pagi, waktu masih terbilang terlalu dini—bagi saya—memulai aktivitas tanpa ditemani secangkir kopi, sementara Bryan memiliki preferensi berbeda untuk suntikan spiritnya. “I don’t do coffee, now,” tuturnya sembari menyeduh teh di dalam gelas, “Dulu, saya enggak bisa kalau enggak minum kopi. Karena itu, saya sedang mencoba untuk mengurangi konsumsinya.” Bryan menyesap seduhannya, seraya menyamankan kembali posisi duduk; bersiap memulai perbincangan yang lebih jauh.

Bryan telah menapaki jagat hiburan Indonesia selama lebih dari satu dekade. Perjalanannya dibuka lewat sebuah ajang model remaja muda di Bali, di mana ia berhasil mencuri perhatian seorang pencari bakat yang menawarkannya kesempatan audisi suatu iklan di Jakarta. Kala itu usianya baru 11 tahun, dan ia belum mengetahui bilamana kunjungannya ke Ibu Kota bakal berbuntut panjang. Usai menjadi model iklan, Bryan menerima tawaran bergabung dalam sebuah grup vokal laki-laki. Lalu sekejap mata, periode awal masa remajanya pun menggelora dengan aktivitas merekam rangkaian single, meluncurkan album, serta melakukan pertunjukan musik keliling Indonesia sebagai bagian dari boy band Super7 selama empat tahun mulai 2011; sebelum beralih melengkapi formasi trio vokal Minutes Before Midnight, sampai akhirnya memutuskan rehat bermusik. “Saya pikir, beberapa hal dalam hidup ini tidak selalu berhasil,” kata Bryan. Ia menambahkan, “Tapi saya sangat bersyukur atas kesempatan juga pengalaman yang saya dapatkan bersama band. Saya sangat menyukai musik. Sampai hari ini, pun saya masih kerap mengarang lagu.”
Apakah ia sedang merencanakan sebuah karier solois? “Jujur saja, saya belum memikirkannya. Musik akan selalu menjadi bagian hidup saya, sehingga keinginan itu ada; namun saya tidak yakin kapan waktu yang tepat. Mungkin nanti kalau ada kesempatan, dan menemukan label yang sejalan dalam hal visi dan misi,” ujar Bryan tergelak. Tetapi alasan tersebut bukan satu-satunya hal yang memberatkan pertimbangannya. “Musik adalah tempat saya bercerita perasaan pribadi, impian, dan pengalaman hidup. It’s too personal, dan saya tidak yakin ingin mengungkapnya ke ruang publik,” tuturnya memaknai musik sebagai sebuah zona aman. Bryan sadar bahwasanya privasi merupakan sebuah privelese nan langka untuk profesi pilihannya. Terlebih kini kita hidup di zaman media sosial yang membuat batasan kehidupan manusia hanya sejauh satu klik tombol kirim dan bagikan. “Saya telah melewati momen di mana saya membiarkan kehidupan pribadi dikonsumsi secara bebas oleh publik, dan dari pengalaman itu saya belajar bahwa saya lebih menyukai—tidak, saya membutuhkan—menyimpan sebagian diri saya hanya untuk saya sendiri,” kata Bryan.
Sejatinya memperlihatkan emosi bukanlah suatu problem yang memberatkan bagi Bryan Domani. Saya menyaksikan sendiri bagaimana ia tak sungkan menitikkan air mata demi menuangkan nyawa ke dalam hasil potret pada pemotretan hari itu. Gesturnya menjadi bukti konkret, terlepas dari pengakuan sang aktor sendiri, ketika kami kembali berbincang usai pemotretan. “Saya adalah laki-laki berkepribadian sensitif, and I say it proudly. Hahaha. Saya sama sekali tidak keberatan menunjukkan emosi. Emosi adalah entitas perasaan, jati diri, yang membuat seseorang menjadi lebih real; menunjukkan bahwa kita adalah manusia.” katanya, seraya tersenyum dan menambahkan dalam suara bisikan, “Karena itu, saya sangat mencintai pekerjaan saya.”

Pekerjaan yang ia maksud adalah akting. Keputusan untuk tidak—belum—meneruskan bermusik seorang diri bukanlah titik pamit Bryan dari dunia hiburan. Sejak tahun 2014, ia telah menikmati akting sebagai jalur berkarya. “Kali pertama masuk ke dunia entertainment, sesungguhnya saya tidak berpikir akan membangun karier bidang ini. It just happened along the way. Prosesnya panjang untuk saya akhirnya menemukan keyakinan bahwa ini adalah pilihan yang benar-benar saya inginkan,” kata Bryan. Seni peran memberikan ruang untuk saya lebih mengenal diri sendiri. Dalam cara tertentu, pekerjaan aktor sangat terapeutik." akunya. Gerak Bryan menggeluti seni peran dimulai lewat penampilan ringkas di berbagai judul sinetron serta film televisi. Reputasi Bryan kian menanjak tatkala berperan dalam remake sinetron Siapa Takut Jatuh Cinta (2017–2018), yang mana penampilannya menuai apresiasi sebagai Aktor Pendukung Paling Ngetop di ajang SCTV Awards 2018. Bryan memperkuat portofolio aktornya dengan serangkaian judul karya layar lebar. Terlibat dalam proyek Bumi Manusia (2018) besutan Hanung Bramantyo. Mengambil alih peran utama laki-laki di film Sin (2019). Dan di semester awal tahun ini, figur Bryan meramaikan layar sinema online hingga bioskop-bioskop seluruh Indonesia lewat tiga judul film: Cek Ombak, Kukira Kau Rumah, dan Merindu Cahaya de Amstel. Ia juga masih memiliki lima judul film yang tengah menanti jadwal perilisan.

Jika hanya melihat sekilas resumenya sebagaimana demikian, barangkali yang tampak ialah hidup Bryan Domani mengalir begitu mudah. Saat awal menjajal dunia seni peran, ia sempat menerima kekerasan verbal yang tak jarang melibatkan sentimen atas karakter fisiknya. “Ada yang pernah berkata pada saya bahwa satu-satunya alasan saya diterima berada di dunia entertainment karena sekadar beruntung terlahir blasteran dan memiliki wajah ‘bule’,” Bryan bercerita, “Sementara saya sendiri sulit memahaminya sebagai keuntungan, ketika seringkali penilaian tersebut menjauhkan saya dari kesempatan bermain karakter-karakter tertentu yang sangat saya inginkan.” Bryan tidak bermaksud geram, apalagi menyangkal raga yang merupakan kekodratan. Ia hanya manusia biasa yang bisa terpengaruh sentimen orang lain dan terkadang berat merelakannya. Alih-alih mengonfrontasi, Bryan memilih diam. Nalarnya berproses. Menerjemahkan setiap kritik— sekalipun buruk—menjadi ‘cambuk’ motivasi sekaligus pengingat agar lebih menghargai diri sendiri. “Ayah selalu mengajarkan bahwa memikirkan sesuatu yang tidak dapat kita kendalikan hanya membuang energi siasia. Cukup buktikan kemampuan dengan memberikan upaya terbaik. Tidak perlu berkecil hati atas opini orang lain. Faktanya, tidak semua orang menyukai kita; dan kita juga tak dapat memaksa semua orang menyukai kita,” tuturnya.

Bryan Domani lahir tahun 2000 di Munich, Jerman. Ayahnya berasal dari Jerman, dan ibunya berkebangsaan Indonesia. Bryan bercerita bagaimana ia menjalani hidup secara nomaden, ketika dahulu keluarganya masih mengikuti mobilisasi pekerjaan sang ayah yang sering berpindah-pindah negara. Terhitung ia menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan menjadi penduduk Guam, Jamaika, Filipina, sampai akhirnya menetap di Indonesia. Situasinya begitu menantang lantaran ia mendiami lingkungan perhotelan. “Di mana setiap pertemanan yang saya buat tidak bertahan lebih dari seminggu. Sebab, orang-orang yang saya temui kebanyakan adalah turis yang sedang berlibur. Tapi dari kondisi tersebut, saya belajar untuk cepat bergaul dan menyesuaikan diri,” ujarnya. Kendati mengaku mudah melalui proses adaptasi, Bryan tetap menemukan dilematik seorang pendatang tatkala terkendala persoalan bahasa. Ia tumbuh besar dengan belajar berbicara bahasa bapak dan ibunya. “Ada masa-masa di mana saya merasa asing karena tidak ada orang yang mengerti ucapan saya, begitu juga sebaliknya,” kenang Bryan.

Di usianya yang segera menginjak 22 tahun pada Juli mendatang, ia telah mengukuhkan identitas. Beberapa bulan silam, Bryan secara resmi menetapkan dirinya dalam kewarganegaraan Indonesia. “Saya tidak pernah benar-benar merasa punya ‘rumah’, sebelum tinggal di Indonesia. Di sini saya membangun kehidupan dan bertumbuh dewasa,” katanya. Menyimaknya berbicara membuat saya tersentuh. Saya lalu bertanya kepada Bryan akan rencananya di masa depan, sebab ketika memperingati hari kelahiran, manusia cenderung membangun sebuah harapan besar. “Saya terbiasa untuk tidak menaruh ekspektasi berlebihan atas sesuatu. Bukan berarti saya tidak berpengharapan; pun saya masih muda dan terkadang naif. Tapi saya selalu berpikir bahwa kita sebagai manusia juga perlu mencoba selaras realitas. Realitasnya beberapa hal tidak selalu bisa kita dapatkan dan berjalan sesuai keinginan kita. Manusia bisa berupaya, namun beberapa hal memang berada di luar kendali kita,” jawab Bryan. Responsnya di luar dugaan saya; ia terdengar seperti seseorang yang berpikiran mendalam. Maka saya meminta ia mengontemplasi pribadinya; bagaimana ia berhasrat jejaknya berkesan? “Saya senang apabila orang mengenang saya atas karya saya. Tapi sesungguhnya saya akan lebih merasa bahagia sekali bila mereka mengingat saya sebagai,” Bryan mengambil jeda sejenak sebelum mantap melanjutkan, “Just a nice guy,” ujarnya tersenyum mengakhiri perkenalan kami.