LIFE

8 Maret 2025

Caroline Monteiro Serukan Kekuatan Feminisme Lewat Aktivisme dan Jalur Sinema


Caroline Monteiro Serukan Kekuatan Feminisme Lewat Aktivisme dan Jalur Sinema

Caroline Jasintha Monteiro, akrab dipanggil Olin, merupakan seorang aktivis, konsultan gender, penulis, peneliti, dan produser film dokumenter. Olin menyelesaikan pendidikan Public Relations di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta. Ia telah menjadi aktivis perempuan sejak awal 1990-an di mana Olin sering menjadi relawan di berbagai organisasi perempuan dan organisasi lingkungan, serta menjadi pembicara dan konsultan untuk isu gender dan feminisme sejak awal tahun 2000. Ia pernah bekerja sebagai relawan di Jaringan Perempuan Perdamaian Indonesia atau Peace Women Across the Globe (PWAG). Selain juga sempat menjadi konsultan untuk berbagai organisasi internasional seperti UNFPA (United Nations Population Fund), PLAN Indonesia yakni organisasi pengembangan masyarakat dan kemanusiaan internasional yang berfokus pada pemenuhan hak anak dan kesetaraan anak perempuan, serta GIZ Indonesia yakni organisasi nirlaba internasional yang memiliki fokus pada kerja sama internasional untuk pembangunan berkelanjutan dan pendidikan internasional. Olin juga telah mendirikan berbagai organisasi pergerakan perempuan, baik secara individu maupun kolektif bersama aktivis perempuan lainnya. Ia mendirikan penerbitan independen bernama Penerbit Buku Perempuan Publishing, kemudian menggagas sekaligus mengelola asosiasi seni dan feminisme untuk pekerja seni dan aktivis perempuan, Arts for Women. Olin juga mendirikan Jaringan Seni Perempuan, sebuah ruang kolektif bagi aktivis perempuan dan pegiat seni perempuan dengan inisiatif awal mendorong promosi perempuan pekerja seni di luar Pulau Jawa, yang kemudian dilegalkan menjadi perkumpulan Puan Seni Indonesia pada 2021. Ia turut mengelola jaringan aktivis lintas generasi di Asia yang dapat ditelusuri melalui kanal Instagram @wokeasiafeminist dan memulai dialog lintas generasi feminis Indonesia (@jagatsetara) dan komunitas kaum muda SeniFeminis yang merupakan ruang aman untuk belajar, diskusi, dan kolaborasi dengan perspektif feminisme. 

Caroline Monteiro memiliki jaringan luas dan bergerak dalam skala internasional dengan menjadi relawan koordinator wilayah Indonesia untuk Peace Women Across the Globe, sebuah organisasi berbasis di Swiss yang bertujuan meningkatkan visibilitas perempuan dalam mempromosikan perdamaian dunia. Olin turut mendokumentasikan dan mempromosikan perempuanperempuan dari Indonesia dan Timor Leste dan berjejaring untuk kerja-kerja kesetaraan dan perdamaian. Karena jaringan ini, ia kerap berbicara di berbagai konferensi serta seminar isu perempuan dan feminisme di Meksiko, Brazil, Kenya, Senegal, Switzerland, Jerman, Prancis, Filipina, dan Thailand. Ia pernah menjadi koordinator program dan manajer penerbit di Jurnal Perempuan (2007-2011), sebagai koordinator penelitian dampak ekonomi di Bappenas (2004- 2006), serta peneliti pengembangan sosial di World Bank (2002-2006). Olin juga sempat membantu kegiatan riset organisasi internasional seperti UNICEF, Ford Foundation, USAID (2000-2008). Kini Olin kerap menjadi konsultan, trainer isu gender dan feminisme, penasihat berbagai program gerakan perempuan, tenaga ahli evaluation on gender program, dan produser dokumenter. 

Dalam perjalanannya, Olin rutin menyelenggarakan kelas-kelas feminisme dan pelatihan-pelatihan gender, serta menjalin berbagai jaringan kerja dengan kaum perempuan. Ia juga sering menjadi konsultan gender, fasilitator dan trainer untuk isu gender dan feminisme bagi aktivis dan komunitas di berbagai kota di Indonesia. Olin turut ambil bagian dari pengurusan berdirinya Women’s March Jakarta pada 2017, yang dikelola oleh Jakarta Feminis dan secara legal menjadi perkumpulan lintas feminis di Jakarta. Kiprahnya di dunia aktivisme turut merambah dunia sinema. Perempuan kelahiran Jakarta 22 Mei ini menggunakan karya film sebagai salah satu wadah untuk menyuarakan isu perempuan. Sejak 2005 ia telah memproduksi lebih dari lima karya dokumenter bersama Peace Women Across the Globe dan menerbitkan 15 buku secara independen yang berbicara mengenai perempuan dan kehidupannya. Karya-karya dokumenter Olin sebagai produser di antaranya adalah Mollo di Timur (2017), Payung Hitam Keadilan (2011), Masih Ada Asa (2015), dan tim peneliti dan tim produksi dokumenter Perempuan Tana Humba/The Woven Path: Women of Humba Land (2019). Dalam periode 2012-2017 Olin juga mendokumentasikan calon legislatif (caleg) perempuan di Aceh, kisah perempuan dari organisasi yang terlarang di periode 1965 di Padang, Sumatera Barat, serta dokumentasi dialog perdamaian perempuan di daerah konflik di Ambon. 

Pengalamannya di bidang gender dan feminisme, terutama memfasilitasi proses pemberdayaan komunitas di daerah Indonesia Timur dan jaringan perempuan sejak tahun 2000, telah meningkatkan kapasitas pemimpin perempuan dan memajukan komunitas perempuan untuk sama-sama belajar menggali potensi diri. Olin juga sudah melakukan pendampingan terhadap jaringan seniman perempuan sejak 2010 dan bersama Arts for Women dan Koalisi Seni di mana ia melakukan beberapa pertemuan dengan seniman-seniman perempuan dalam upaya pengembangan kapasitas seniman dengan perspektif gender dan kesetaraan. 

Kisah atau momen apa yang menguatkan komitmen Anda untuk menjadi aktivis?

 “Awalnya ibu saya kerap mengajak saya ikut berbagai kegiatan sosial. Mengunjungi panti asuhan, mendatangi keluarga-keluarga prasejahtera, mengurus orang lansia. Sesuatu yang membuat saya jadi terbiasa untuk membantu dan memerhatikan kesulitan orang lain. Sedangkan momen bersinggungan dengan aktivisme terjadi pada tahun 1996-1997 ketika saya berkenalan dengan Debra Yatim, seorang jurnalis dan aktivis yang giat berkontribusi di bidang pemberdayaan perempuan. Dia juga merupakan pendiri Yayasan Kalyanamitra, salah satu LSM perempuan tertua di Indonesia. Berawal dari pertemanan dengan para aktivis, saya kemudian terpapar dengan banyak pembahasan menyangkut persoalan perempuan dan semakin tertarik untuk mengetahui lebih jauh soal kekerasan terhadap perempuan. Bagaimana kita tahu ketika seseorang telah dilecehkan? Hal-hal apa yang dapat dikategorikan kekerasan seksual? Apa yang dimaksud dengan feminisme? Salah satu pengalaman yang juga menjadi ‘core memory’ kemudian memberi pengaruh besar adalah peristiwa kerusuhan Mei ‘98. Ada begitu banyak hal pilu yang menjadikan masa-masa itu sebagai satu momen kelam dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, di antaranya adalah perkosaan massal dan penyiksaan terhadap perempuan. Dalam kondisi kerusuhan dan penjarahan, perempuan-perempuan diperkosa beramairamai lalu dibunuh dengan cara yang mengerikan. Saat itu saya berpikir betapa menderitanya hidup perempuan. Ada banyak ketidakadilan dan kekerasan yang dibiarkan terjadi begitu saja. Perempuan kerap menjadi bulan-bulanan dan begitu rentan terhadap pelecehan dan penyiksaan. Belum lagi kekerasan seksual pada perempuan yang juga terjadi dalam lingkaran keluarga. Saya jadi terpanggil untuk berkontribusi di dunia aktivisme dan bekerja memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan, kendati saya tahu jalannya pasti akan sangat panjang dan penuh liku.” 

Apa sesungguhnya pemahaman mendasar tentang feminisme? 

“Konsep feminisme merupakan sebuah gerakan untuk menyuarakan keadilan, membela orang-orang yang tidak bisa bersuara, melawan semua bentuk penindasan, mengangkat hal-hal yang tidak diangkat oleh kebijakan negara, dan menunjukkan keberpihakan kita pada kemanusiaan. Gerakan feminisme sesungguhnya bukan hanya terjadi di ruang akademisi atau tempat demonstrasi, melainkan ada dalam pikiran dan perilaku kita sehari-hari. Perlu diketahui dalam gerakan feminisme, tidak hanya perempuan yang dibela, tapi juga kelompok-kelompok yang ditindas dan bisa saja itu laki-laki. Dan menjadi seorang feminis itu tidak gampang karena kita bukan hanya perlu memelajari isu perempuan, tapi juga memahami persoalan ekonomi, politik, dan hukum, serta membaca konteks sosial politik serta kondisi kebijakan negara. Belum lagi mesti sepenuhnya mempraktekkan sikap egaliter dan demokratis dalam keseharian. Lebih bagus lagi kalau kita bergabung dengan organisasi atau gerakan perempuan yang berperspektif feminisme supaya kita bisa bertemu langsung dengan masyarakat akar rumput, kawan-kawan buruh, pekerja rumah tangga, penganut agama minoritas, dan kelompok marginal lainnya.” 

Mengapa Anda kemudian membuat film dokumenter? 

“Tahun 1995 saya pernah bekerja sebagai asisten produksi di kantor sutradara Garin Nugroho. Hanya tiga tahun tapi saya belajar banyak sekali. Tugas saya saat itu mencari lokasi, mengurus kru, dan ikut menangani casting. Mas Garin beberapa kali bikin film dokumenter, beberapa di antaranya tentang anak-anak Indonesia dari Aceh sampai Papua dan dokumenter yang mengisahkan kehidupan nyata seorang aktivis. Saya melihat beliau sangat tekun mencari sumber-sumber penceritaan yang kaya dengan riset dan pengetahuan. Dia tidak sekadar membuat film tapi menciptakan karya sinema yang bermakna dan punya pesan penting. Seperti apa keberagaman Indonesia, apa yang terjadi pada masyarakat di berbagai pulaunya? Buat saya itu menarik sekali. Saya pun jadi melihat bahwa gerakan untuk menyuarakan isu-isu penting, termasuk persoalan perempuan, ternyata dapat diupayakan melalui film. Memulai percakapan dengan film itu rasanya enak. Artinya ketika kita hendak mendokumentasikan sebuah pengetahuan, kita biasanya membuat riset lalu menghasilkan sebuah tulisan. Namun tidak semua orang senang membaca dan buku buat sebagian masyarakat bukan kebutuhan primer. Maka film bisa menjadi salah satu alat untuk menyebarkan pengetahuan dan mengadvokasi isu-isu penting, termasuk persoalan gender dan feminisme.” 

Isu apa yang menurut Anda paling mendesak saat ini? 

“Kita sangat perlu kebijakan-kebijakan yang berperspektif keadilan. Membangun sebuah sistem untuk memastikan hak-hak perempuan dan kelompok marginal bisa ditegakkan. Sebagai aktivis, saya bekerja dan berjejaring dengan berbagai organisasi dan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Namun pihak yang punya sumber daya untuk melakukan gerakan dan program yang lebih besar adalah pemerintah untuk memastikan terpenuhinya pendidikan bagi semua orang, akses kesehatan dan reproduksi bagi perempuan, infrastruktur perlindungan untuk kekerasan terhadap perempuan, dan lain-lain. Saya juga melihat adanya urgensi untuk mengedukasi dan membongkar tradisi patriarki. Ada konstruksi sosial yang tertanam dalam budaya kita sejak ribuan tahun lalu. Bahwa perempuan sebaiknya tidak banyak bicara. Kalaupun ngomong harus dengan nada pelan dan tutur kata halus. Bahwa laki-laki dilarang menangis dan sama sekali tidak boleh terlihat lemah. Bahwa merah muda hanya pantas dipakai oleh perempuan dan laki-laki yang mengenakan warna tersebut akan berkurang maskulinitasnya. Berbagai stigma yang bisa dipatahkan salah satunya dengan pendidikan. Melalui pendidikan, feminisme sebagai sebuah gerakan juga dapat menjalin interseksionalitas dengan banyak persoalan dan isu lainnya. Misal masalah lingkungan melalui gerakan ekofeminisme, problem ketersediaan lapangan kerja bagi penyandang disabilitas, persinggungan dengan masyarakat adat, dan sebagainya. Bahwa apa yang kita perjuangkan bukan hanya isu perempuan, melainkan membela hak asasi manusia secara keseluruhan.”