16 Agustus 2021
Chelsea Islan Menunjukkan Cinta Tanah Air dengan Optimisme

Tatkala dunia kian merisaukan, Chelsea Islan merawat optimismenya dan memilih menyalakan cahaya ketimbang mengutuki gelap.
Agar dapat menuai keberhasilan, saya percaya, kita tidak hanya harus melakukan apa yang perlu dilakukan tapi juga mesti memutuskan apa yang tidak perlu dilakukan. Saat menulis ini, saya harus berjuang melawan godaan untuk rehat menonton berita, mengecek Twitter, atau menjawab pesan WhatsApp yang muncul pada layar ponsel. “The art of knowing is knowing what to ignore”, kata- kata Jalaluddin Rumi yang kerap kali jadi pegangan saya untuk beberapa hal. Dan barangkali bukan kebetulan, Chelsea Islan, turut menganut prinsip yang sama untuk urusan menjaga komitmennya. Sosok perempuan yang tidak hanya menolak sikap apatis tapi juga konsisten mengabaikan distraksi yang berpotensi mengacaukan mimpi-mimpinya. “Saya barangkali dikenal sebagai pemain film. Namun sesungguhnya selain hendak mengukir prestasi di dunia seni peran, saya juga selalu ingin mengabdikan diri untuk Indonesia. Menjaga rasa cinta Tanah Air dan melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan bangsa ini. Dalam perjalanannya, saya tidak ingin kegusaran dan kekecewaan kita pada banyak hal membuat saya lupa pada apa yang selalu menjadi tujuan saya,” kata Chelsea.
Mengenal dunia sandiwara sejak kelas satu sekolah dasar melalui panggung teater, Chelsea Islan memasuki industri perfilman lalu mengukir sejumlah kontribusi lewat berbagai judul film, diantaranya Di Balik 98, Guru Bangsa: Tjokroaminoto, Rudy Habibie, 3 Srikandi, dan Sebelum Iblis Menjemput. Nyaris dua tahun pandemi, Chelsea memutuskan rehat sejenak dari kegiatan syuting film. Namun mustahil seorang seniman betah berdiam diri tanpa berkontribusi. Maka pada Mei silam, Chelsea melibatkan diri dalam pementasan monolog bertajuk Nusa Yang Hilang. “Saya memerankan K’tut Tantri, perempuan Amerika yang memutuskan tinggal di Bali dan ikut berjuang membela Indonesia di masa penjajahan. Ibarat atlet, seorang aktor juga harus terus berlatih. Senang sekali di tengah pandemi ini saya punya kesempatan mengasah kemampuan seni peran,” ujarnya. Namun alih-alih membahas dunia sinema, dalam pertemuan kali ketiga dengan Chelsea Islan, kali ini saya memilih untuk membicarakan Indonesia dari perspektif perempuan yang beberapa kali meraih nominasi Piala Citra tersebut.

Manusia tanpa cipta akan merosot sampai ke kakinya sendiri, lalu melata sampai jadi hewan yang tak mengubah apa pun. Satu kutipan kalimat yang melekat dari Pramoedya Ananta Toer ini kerap kali mengingatkan saya bahwa manusia sepatutnya memaksimalkan daya dan upaya agar keberadaannya tak sia-sia di muka bumi. Kiprah Chelsea Islan sesungguhnya tak bisa hanya dinilai dari apa yang terlihat di depan kamera. Sepak terjangnya turut terukir di wilayah aktivisme.
Tahun 2016, Chelsea bersama kawan-kawannya mendirikan Youth of Indonesia, komunitas yang berbasis pada nilai nasionalisme, edukasi, dan pemberdayaan kaum muda. “Saya melihat ada banyak anak muda Indonesia yang melupakan identitasnya sebagai bangsa Indonesia. Tak ada yang salah dengan menimba ilmu di luar negeri, namun alangkah mulianya jika kita sudi kembali ke negeri sendiri demi memajukan Indonesia menjadi bangsa yang besar. Saya sangat berharap komunitas ini bisa menjadi wadah bagi anak- anak muda Indonesia untuk beropini, berkarya, dan berkontribusi untuk Indonesia, termasuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian,” tutur Chelsea.

Merasa menjadi orang Indonesia barangkali bisa menjadi bekal ideologi yang mampu menguatkan kita melewati hari-hari di tengah situasi genting belakangan ini. Chelsea berujar, “Ada banyak informasi tidak akurat dan berita-berita buruk yang bikin imunitas malah kian memburuk dan pandemi tak kunjung usai. Semua orang harus mengambil peran. Pemerintah mesti berpihak pada rakyatnya dan kita, warga Indonesia, harus berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan. Mematuhi protokol kesehatan, menertibkan diri sendiri, sekaligus bijak menggunakan media sosial. Bagi saya, menjadi orang Indonesia adalah sebuah kebanggaan. Negeri dengan 17.000 pulau dan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia. Ada ratusan etnis, lebih dari 600 bahasa daerah, serta berbagai agama di Indonesia. Keragaman ini harmonis dalam satu ikatan nilai kebangsaan, Bhineka Tunggal Ika. Maka bagaimana mungkin kita tidak bangga menjadi orang Indonesia?”
Layaknya semua perang, perang melawan pandemi pun tak bisa dimenangkan seorang diri. Dalam situasi hari ini, memenangkan pertempuran adalah dengan membangun solidaritas, meningkatkan empati, dan mengerahkan segala upaya demi menjaga keselamatan diri dan orang-orang sekitar. Menuju peringatan 76 tahun kemerdekaan Indonesia, Chelsea Islan bercerita bahwa ia memaknai kemerdekaan dengan bertanggung jawab penuh atas dirinya sendiri.
“Mustahil ingin mengontrol orang lain, namun kita selalu bisa mengendalikan diri sendiri, fokus menyalakan cahaya terang ketimbang sibuk mengutuki gelap. Sebab kita butuh lebih banyak orang yang cinta dan peduli dengan Indonesia. Dan kepedulian itu tidak harus ditunjukkan dengan masuk parlemen dan duduk di kursi politik. Saya sendiri memilih bergerak di wilayah komunitas yang cenderung lebih netral dan bebas dari banyak kepentingan. Dari gerakan akar rumput, kita bisa bersama-sama bergerak menciptakan perubahan baik untuk Indonesia,” tutup Chelsea.