LIFE

4 November 2022

Dian Sastrowardoyo Menemukan Kekuatan yang Membebaskan Jiwa


PHOTOGRAPHY BY Raja Siregar

Dian Sastrowardoyo Menemukan Kekuatan yang Membebaskan Jiwa

Text Rianty Rusmalia


Dua dekade lebih berdiri di atas popularitas, Dian Sastrowardoyo mengolah daya kreativitas termasuk mempersenjatai diri untuk bertumbuh dan berdaya dalam beragam peran sebagai perempuan. 

Saya bertemu dan berkenalan dengan Dian Sastrowardoyo pertama kali ketika kami sama-sama kuliah Filsafat di Universitas Indonesia. Meski beda angkatan, beberapa kali saya dan Dian mengikuti kelas yang sama. Pada waktu itu Dian sudah sangat terkenal, namanya melejit usai memerankan karakter Cinta dalam Ada Apa dengan Cinta? yang dirilis di bioskop pada 2002 silam. Saat itu rasanya satu kampus tahu siapa perempuan tersebut dan tak jarang kasak-kusuk setiap Dian melewati lorong gedung kuliah. Kehadiran Dian Sastrowardoyo sebagai mahasiswa jurusan Filsafat bahkan ikut mendongkrak popularitas program studi tersebut sehingga mendadak jadi laris diminati calon mahasiswa baru, padahal sebelumnya tak banyak orang yang mau kuliah filsafat. Namun ketenaran tak membuat Dian kehilangan jati diri sebagai anak kuliahan. Sebagai mahasiswa, Dian tetap sibuk mondar-mandir memasuki kelas-kelas filsafat, giat dengan perkuliahan, dan gigih menyelesaikan kuliah hingga akhirnya meraih gelar sarjana. 

Lebih dari 15 tahun kemudian, saya kembali bertemu Dian Sastrowardoyo. Kami mengenang masa-masa kuliah Filsafat yang kerap kali dianggap tidak berfaedah namun nyatanya mampu menyodorkan kemampuan berpikir logis dan bernalar kritis. “Kuliah filsafat sangat bermanfaat buat saya yang kini bekerja di industri perfilman. Karena yang tidak kalah penting dari proses memelajari cara pembuatan sebuah film adalah mengajukan pertanyaan kritis tentang kenapa kita membuat film. Apa yang mau disampaikan melalui suatu karya sinema tentu butuh pembahasan lebih jauh. Sementara filsafat membantu saya untuk menggali makna terdalam dari persoalan-persoalan yang mau dibicarakan dalam sebuah karya. Membicarakan diskursus seperti apa yang mau disuguhkan di dalam tontonan rasanya sama pentingnya dengan membahas aspek-aspek teknis. Kadang memang ada film yang sangat keren tapi tidak membawa diskusi apa-apa, sebatas untuk dinikmati sebagai sebuah tayangan hiburan. Namun alangkah menariknya apabila sebuah tontonan bisa memancing percakapan lebih luas tentang berbagai isu dan problem. Saya juga bersyukur kuliah filsafat membuat saya jadi makin gemar membaca. Dulu waktu kuliah kita dibiasakan harus banyak membaca dan jadi terbiasa membaca buku yang ‘berat-berat’ seperti buku Immanuel Kant, Heidegger, Karl Marx, dan teman-temannya. Kemudian lama-kelamaan rasanya jadi lebih ringan untuk menghabiskan buku-buku genre lain, semisal buku ekonomi atau soal film. Kuliah filsafat membuat saya tidak pernah gentar dengan buku-buku tebal dan sebenarnya selama kita tidak malas membaca, maka apa pun bisa dipelajari dan ditekuni,” ujar Dian.  



Clutch oleh Fauré Le Page

Kajian budaya menunjukkan bahwa kebintangan tidak lahir begitu saja oleh satu aspek, namun dibangun atas berbagai unsur yang kompleks seperti kejelian produser, kepekaan sutradara, daya tarik film, teknologi media peliput, hingga kekuatan artis itu sendiri. Contoh kekuatan media peliput bisa dilihat di era 1990-an. Saat itu bermunculan majalah-majalah remaja yang menjadi ruang pewartaan para artis baru, di antaranya majalah Aneka Yess!, Kawanku, Hai, dan Gadis. Dian Sastrowardoyo menjadi salah satu bintang yang mengawali perjalanannya lewat majalah remaja. Tahun 1996, Dian dinobatkan sebagai juara pertama lomba Gadis Sampul, pemilihan model remaja yang diselenggarakan oleh majalah Gadis. Tiga tahun kemudian, pada 1999, Dian mulai menjajaki seni peran dengan bermain dalam film Bintang Jatuh yang tidak ditayangkan di bioskop, melainkan diedarkan secara independen di kampus-kampus dan sempat diputar di Jakarta Internasional Film Festival 2000. 

Usai Bintang Jatuh, produser Mira Lesmana mengajak Dian mengikuti casting pemain Ada Apa dengan Cinta? yang kembali mempertemukan Dian Sastrowardoyo dengan sutradara Rudy Soedjarwo. Film ini menjadi film terlaris di Indonesia pada saat itu yang mana berhasil menarik 62.217 penonton di Jakarta dalam tiga hari pertama penayangannya dan lebih dari 1 juta penonton dalam kurun satu minggu. Sebagai film remaja, film ini lengkap dengan segala kesegaran dan kelincahannya. Leila S. Chudori, jurnalis majalah Tempo, menyebut Ada Apa dengan Cinta? sebagai sebuah kemasan yang luar biasa; skenario yang pas, musik yang segar, serta kemampuan seni peran yang luar biasa dari aktor dan aktris yang kemudian berkembang menjadi idola remaja. Membangun popularitas lewat majalah remaja, Dian Sastrowardoyo lantas mengisi ruang perfilman nasional. Ia beranjak populer bersamaan dengan momen kebangkitan film Indonesia.

“Banyak orang berpikir saya dan Nicholas Saputra (pemeran Rangga di Ada Apa Dengan Cinta?) adalah simbol kebangkitan film Indonesia. Padahal kami berdua cukup beruntung karena berada di momen yang tepat, saat perfilman kita sedang menuju masa kebangkitan. Pada masa itu perfilman Indonesia seperti tidak kelihatan eksistensinya. Keberadaan film lokal mulai muncul taringnya ketika Mira Lesmana, Riri Riza, Nan T. Achnas, dan Rizal Mantovani membuat film Kuldesak (1998) yang disusul dengan hadirnya Petualangan Sherina (2000) dan Pasir Berbisik (2001). Dan sejak awal sebenarnya saya inginnya menjadi sutradara karena saat itu sudah mulai terpukau dengan film-film seperti Dead Poets Society, Good Will Hunting, dan bahkan Pulp Fiction. Pada saat bermain di Bintang Jatuh, saya masih kelas dua SMA dan sempat meminta kesempatan untuk belajar penyutradaraan dengan melamar jadi asisten sutradara. Namun Rudy Soedjarwo, sutradara Bintang Jatuh, mengatakan bahwa posisi asisten sutradara sudah terisi. Maka akhirnya saya diajak jadi pemain dan keterusan bertahun-tahun kemudian menekuni seni peran. Meski kemudian jadi terkenal karena Ada Apa dengan Cinta? namun rasanya saya tidak akan punya karier di dunia film apabila saya tidak bermain di Bintang Jatuh. Film yang syutingnya memakai handycam dengan jumlah kru yang hanya 5 orang. Di situ saya mulai menemukan kecintaan terhadap film. Bayangkan hanya dengan menonton film maka kita bisa merasa kenal dengan seseorang, perasaan dan emosi kita dapat tersentuh, dan pikiran mampu tergerak untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah kita lakukan. It’s the power of cinema. Saya jatuh cinta dan kagum dengan kemampuan karya sinema dalam menyentuh manusia sampai jauh di lapisan emosional terdalam,” ujar Dian. 



Tas oleh Fauré Le Page

Sebagaimana fenomena dunia hiburan yang terus bertumbuh, membuat para bintang dan pelaku seni harus beradaptasi dan punya cara-cara baru untuk menghidupi dirinya. Industri perfilman telah membesarkan nama perempuan kelahiran 1982 ini sehingga ia merasa ingin sekali ikut mendefinisikan wajah perfilman Indonesia. Dian Sastrowardoyo akhirnya mewujudkan cita-cita lama yang juga menjadi alasan mengapa ia jatuh cinta dengan perfilman. Dian meluaskan kiprahnya dari dunia keaktoran, merambah wilayah penyutradaraan dan penulisan naskah. Debut Dian sebagai sutradara dan penulis dapat disimak melalui film pendek Nougat dalam omnibus Quarantine Tales. Berkisah tentang tiga orang kakak beradik yang hanya bisa bertemu secara virtual di tengah masa pandemi. Dian menyoroti problem kehidupan dari masing-masing karakter yang diperankan oleh Adinia Wirasti, Marissa Anita, dan Faradina Mufti. Dunia penyutradaraan bak dunia baru yang penuh kesenangan. Dian pun kembali menulis dan menyutradarai film pendek bertajuk Dini Hari yang tayang di Jakarta Film Week, Oktober silam. Menceritakan seorang perempuan berkarier yang sangat sibuk bekerja kemudian mencoba pulang kantor lebih awal demi ulang tahun anaknya, tapi malah berakhir merawat anak bosnya sepanjang malam dan melewati seluruh acara ulang tahun. Dian berujar, “Kedua film pendek tersebut sebenarnya hasil karya kelulusan setelah saya menamatkan kursus penyutradaraan dan penulisan. Mengambil kursus dan ikut pelatihan karena rasanya sayang waktu yang terbuang kalau saya hanya melewatkan masa-masa di rumah tanpa mengerjakan sesuatu yang bikin saya lebih berkembang. Senang sekali sekaligus bersyukur bisa punya kesempatan belajar menulis dan menyutradarai sebuah film sehingga saya bisa terus mengasah kemampuan diri, mempertajam insting seni, dan menciptakan karya-karya kreatif untuk berkontribusi memajukan perfilman Indonesia.” 

Ketertarikan Dian pada proses belajar terbaca sejak dulu ketika saya sempat melihatnya mengajukan pertanyaan kritis di kelas mata kuliah Filsafat Budaya. Biasanya sehabis dosen memaparkan teori, mahasiswa diperkenankan bertanya kemudian berdiskusi. Dian salah satu mahasiswa yang saat itu tidak takut untuk bertanya. Sehabis mendalami filsafat, Dian kemudian memperkaya khazanah pengetahuannya dengan meneruskan kuliah dan meraih gelar Magister dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Termasuk waktu pandemi Covid-19, saat kebanyakan orang bergerak cenderung lebih lambat, Dian malah menghabiskan waktu di rumah secara produktif dengan mengambil kursus daring di bidang Directing dan Writing selama 15 minggu di New York Film Academy. “Sejak awal masuk perfilman, saya tidak pernah tidak kagum dengan daya magis yang disuguhkan oleh karya sinema. Saya selalu takjub dengan proses pembuatan film dan dampak yang dihasilkan dari menonton sebuah film. Tapi setelah belajar dan berkesempatan menyutradarai film, saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya saya belajar penyutradaraan karena apa? Apakah sekadar kegiatan iseng yang dilakukan hanya untuk mengisi waktu luang? Dan apa sesungguhnya alasan saya untuk terus bermain film selama lebih dari dua dekade. Apakah gara-gara saya suka dengan popularitas, senang dengan uang yang dihasilkan, merasa kagum dengan diri sendiri setiap melihat wajah saya ada di mana-mana, atau karena memang cinta dengan bahasa film yang mampu menjadi medium untuk mengubah persepsi manusia. Sepertinya jawaban saya cenderung lebih memilih yang terakhir. Yang berarti sebenarnya saya tidak harus jadi pemain untuk bisa menikmati proses pembuatan film. Dari balik kamera pun saya rasa proses menyentuh pikiran penonton masih bisa tetap berjalan. Saya juga menyadari saya sudah tidak lagi muda, regenerasi aktor telah membawa kenyataan bahwa banyak nama-nama pemain muda yang berbakat di seni peran. Saya sendiri sekarang sedang menikmati proses belajar ilmu-ilmu di belakang kamera; memilih pemain, mengedit, komposisi warna, sinematografi, pencahayaan, sampai pergerakan kamera,” ungkap Dian. 



Tas dan keychain oleh Fauré Le Page

Agaknya memang sulit untuk memandang Dian Sastrowardoyo sebatas profesinya sebagai model dan aktor. Sebab nyatanya, Dian melampaui lebih dari sekadar sosok pemain film. Bukan hanya pandai mendalami peran, Dian Sastrowardoyo juga cermat dalam mendefinisikan apa yang disebut sebagai perempuan yang berdaya. Tidak gentar menghadapi tantangan, selalu gigih mencerdaskan diri, berani mengambil resiko, setia tanpa bergantung kepada pasangannya, mampu berdiri di atas kaki sendiri, dan peduli pada kesejahteraan kaumnya. Lebih dari 20 tahun menapaki karier, Dian Sastrowardoyo tetap gigih mengarungi pelbagai kesibukan secara sungguh-sungguh; menekuni seni peran, menjalankan bisnis, menjadi sutradara, melibatkan diri sebagai produser film, sekaligus memelihara kepedulian tinggi pada sesama. Di samping kegiatan yang bersifat komersil, Dian turut aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan terlibat dalam gerakan yang menyuarakan isu penting. Menyadari pentingnya pendidikan, Dian Sastrowardoyo mendirikan Yayasan Dian Sastrowardoyo sebagai lembaga nirlaba yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dan pelestarian budaya di Indonesia. Salah satu hal yang dilakukan Dian melalui yayasan tersebut adalah memberikan beasiswa bagi anak-anak perempuan kurang mampu untuk mencapai pendidikan yang lebih layak. Tak sekadar membiayai, Dian pun melibatkan diri secara langsung dalam menyeleksi anak-anak asuhnya agar tak salah sasaran. “Selain kecintaan pada dunia pendidikan, alasan saya merealisasikan Yayasan Dian Sastrowardoyo adalah saya ingin bisa menjadi manusia yang membawa manfaat bagi banyak orang. Saya menyadari betapa besarnya pengaruh pendidikan dalam kehidupan seseorang. Maka harapannya, apa yang kami lakukan semoga dapat menjadi kontribusi positif bagi banyak anak-anak perempuan di Indonesia. Ketika mereka pulang ke kampung halaman, mudah-mudahan kaum perempuan di Indonesia tidak hanya mampu memberdayakan dirinya sendiri tapi juga sanggup menolong orang-orang lain,” ujar Dian.  

Adrienne Rich, penyair dan feminis asal Amerika Serikat, pernah mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang bisa selalu baik dan gembira kecuali jika kebutuhan fisik dan psikisnya terpenuhi.” Seorang perempuan dapat menjalankan perannya dengan senang hati jika ia sendiri pun bahagia. Kendati cintanya begitu besar kepada suami dan anak-anaknya, Dian tidak pernah melupakan dirinya sendiri sebagai perempuan dan individu. Ia paham benar bahwa anak-anaknya menginginkan dan membutuhkan ibu yang bahagia dan untuk menjadi ibu yang bahagia, seorang perempuan berhak dan perlu melakukan hal-hal lain yang dapat membuatnya senang. Dian Sastrowardoyo menjadi salah satu sosok perempuan yang memiliki ruang bagi dirinya sendiri untuk dapat bertumbuh secara personal tanpa menuntut diri untuk menjadi perempuan yang sempurna. Karena memang tidak ada orang yang sempurna. Yang terpenting adalah berdendang mengikuti irama yang ditawarkan kehidupan, menikmati hidup dan kebersamaan dengan keluarga. “Bicara soal kemampuan menyeimbangkan antara tugas rumah tangga, peranan menjadi ibu, kewajiban sebagai istri, pekerjaan profesional, dan urusan personal, saya patut bersyukur atas keberadaan support system yang setia membantu saya dalam menopang beban sehingga saya mampu menjalani beragam aktivitas tanpa harus mengecewakan orang-orang yang mencintai saya. Ibarat bermain catur, berbagai peran dalam hidup perempuan perlu dijalani dengan strategi, salah satunya kecermatan kita untuk mengatur waktu dan prioritas hidup. Dan sebagai perempuan, penting untuk memiliki pasangan suportif yang mampu memahami sekaligus mendukung untuk kita leluasa melakukan hal-hal yang membuat diri sendiri senang,” pungkas Dian Sastrowardoyo.  



Tas oleh Fauré Le Page


@faurelepage

Styling ISMELYA MUNTU 

Makeup SISSY SOSRO

Hair YEZ HADJO