LIFE

20 April 2023

Dion Wiyoko Mendefinisikan Kembali Arti Keberhasilan Dalam Perjalanan Panjang Kariernya


PHOTOGRAPHY BY Zaky Akbar

Dion Wiyoko Mendefinisikan Kembali Arti Keberhasilan Dalam Perjalanan Panjang Kariernya

styling Sidky Muhamadsyah; fashion Dior; grooming Ranggi Pratiwi; hair Shinta

Dion Wiyoko—tampaknya—benar-benar sulit untuk melepaskan diri dari tenis. Ia seperti orang yang sedang dimabuk asmara. Hampir setiap hari di antara agenda kerja dan syuting, ia rutin bermain tenis di lapangan kompleks perumahannya. Ia berpartisipasi dalam pertandingan antar selebritas, seperti perhelatan Tiba-Tiba Tenis yang digelar November 2022 silam; hingga aktif bergabung bersama liga amatir Indonesia Lawn Tennis League dan menjajal turnamen ke kota-kota di Indonesia. Jika tidak sedang berlarian mengejar bola di lapangan, ia menyimak pertandingan kejuaraan tenis di saluran olahraga melalui layar televisi atau gawai pintarnya—seperti yang tengah ia lakukan sekarang di sela-sela mempersiapkan diri sebelum masuk set pemotretan pada siang hari itu. “Ada sensasi yang membuat saya selalu merasa penasaran setiap kali bermain tenis, seperti perasaan tertantang untuk terus-menerus meningkatkan skill,” cerita Dion tentang olahraga masa kanak-kanak yang mulai kembali ia tekuni sejak bulan April tahun 2022 silam mengawali perbincangan kami usai sesi pemotretannya bersama ELLE.

Rasanya tak lagi mengejutkan bilamana mendengar laki-laki kelahiran Surabaya tahun 1984 itu bersinergi dengan olahraga. Sekitar tiga tahun silam, sebelum ia terbuai akan pesona tenis, saya pernah menemuinya di lapangan badminton di mana ia giat berlatih bulu tangkis sebagai penjiwaan peran Alan Budikusuma untuk film Susi Susanti: Love All (dirilis tahun 2019). Saat berada di lapangan, Dion terlihat memancarkan aura seorang atlet. Ia bergerak gesit penuh stamina. “Belajar bulu tangkis di bawah mantan pelatih Susy Susanti ketika itu adalah sebuah pengalaman yang cukup intens, dan sangat berkesan,” Dion mengenang seraya melanjutkan, “Tapi tingkat adrenalin berlatih bulu tangkis terasa berbeda dengan tenis. Setiap kali bermain tenis, entah mengapa saya seolah- olah mendapatkan daya tahan tubuh yang lebih besar.” Seketika tawanya memecah obrolan, “Dan satu hal lagi yang saya suka dari olahraga ini, tenis sangat fashionable! Saya merasa tampak sangat keren dari ujung rambut sampai ke kaki tiap masuk lapangan,” kata laki-laki pengagum Rafael Nadal dan Holger Rune itu. Namun, fiksasinya terhadap tenis diakui Dion bukanlah hobi sesaat.

Kemeja aksen kristal dan celana, Burberry.

Bermain tenis selayaknya sistem penghiburan diri; sebuah intermeso penyejuk laju kehidupannya sehari-hari yang dipenuhi kegiatan berperan, memandu program televisi bertemakan travelling, dan serangkaian aktivitas dunia entertainment lain terkait profesinya. Selama setahun belakangan, ia sibuk meluncurkan empat judul karya; sekuel layar lebar Cek Toko Sebelah 2; sebuah film pendek berjudul Melody of Love; serta dua serial web, yakni Perjalanan Terbaik Sepanjang Masa dan Yang Hilang Dalam Cinta. Dan jika berjalan mundur menelusuri lebih dari 15 tahun kiprahnya (sampai hari ini) di dunia seni peran, Dion Wiyoko tercatat telah tampil dalam 31 layar lebar, 37 film televisi, 10 serial web, hingga puluhan episode judul serial televisi. Jumlah tersebut masih akan terus bertambah di masa depan. Saat pertemuan kami hari itu, ia mengungkap tengah dalam proses syuting untuk tayangan sebuah platform streaming; setelah menyelesaikan dua judul proyek meliputi film dan miniseri web pada Januari silam. Lalu mulai akhir bulan Februari, hari-harinya diisi oleh produksi film berikutnya.

“Saya bersyukur grafik karier saya dapat berjalan stabil. Meski sebenarnya, ya—kalau saya telaah kembali—belum pernah benar-benar ada momen di mana laju chart-nya menjulang tinggi sekali,” Dion melontarkan senyum sembari melanjutkan penjelasannya, “Tapi selalu ada progres tiap tahun sedari awal menekuni bidang ini,” ujar nomine dua kali ajang Festival Film Indonesia (pada 2017 dan 2020) itu penuh rendah hati. Anda tahu apa yang bersinonim dengan progres? Perkembangan. Sebuah keadaan yang sifatnya dimaknai oleh Dion setara pencapaian. Sebab, artinya ia tidak berjalan di tempat; ia bertumbuh. Baginya, sebagaimana ia tuturkan, “Setiap progres—sekecil apapun itu— merupakan hasil nyata atas usaha dan segala perjuangan yang telah saya lalui sampai akhirnya bisa berada di posisi saya sekarang. Itu menjadi pegangan saya untuk senantiasa melakukan apa yang saya lakukan, sekaligus pengingat agar selalu rendah hati.”

Setelan jas dan kemeja, Dior.

Perjalanan Dion Wiyoko dalam merengkuh kiprah yang stabil di kancah sinema Indonesia memang bukan tanpa kerikil. Ia mengawali langkah lewat jalur modeling, yang konon bisa menjadi salah satu batu loncatan untuk memasuki industri hiburan. Pun kenyataannya, jalan hidup setiap orang telah memiliki garisnya masing-masing. Tiga tahun menjajaki modeling, probabilitas menjanjikan tersebut tidak ditemukan oleh Dion. Bahkan dengan portofolio juara model majalah Aneka Yess! (tahun 2003) dalam genggaman, dan bergabung di bawah asuhan agensi ternama—kala itu— milik Ichwan Thoha, fashion stylist sekaligus penulis di berbagai media cetak. “Selama dua tahun mencoba casting peran di masa awal karier, hari-hari saya penuh dengan penolakan. Pada zaman itu, meski kancah hiburan dunia tengah booming kehadiran F4 (boyband asal Taiwan yang menggawangi serial populer Meteor Garden), industri hiburan kita masih awam dengan figur berpostur wajah oriental,” cerita Dion.

Karier sebagai model pun berjalan statis. Ia putuskan mencoba banting setir ke balik layar, hingga benar-benar alih profesi bekerja di wedding organizer milik sahabatnya pada 2006. Dua tahun berlalu, dunia hiburan kembali memanggil Dion lewat seorang talent manager bernama Sulung—yang masih menjadi manajernya sampai hari ini—yang menyadari potensi karakternya. “Banyak yang skeptis kali pertama saya bergabung dengan management mas Sulung. Bayangkan saja, saya berangkat dari nol, tidak memiliki riwayat berperan, tiba-tiba bisa masuk ke dalam artist management yang menaungi aktor-aktor papan atas masa itu. Saya sendiri pun ragu bagaimana saya mampu mensejajarkan diri dengan mereka saat itu,” kisah Dion. Pandangan orang luar yang bermunculan terhadapnya kerap sentimen. Ia dinilai sebelah mata sebagai “bakat modal tampang” hingga “anak titipan.”

Kemeja denim, Louis Vuitton.

Dion memilih acuh pada semua selentingan miring dan fokus pada arah tujuannya: berkarya. Ia bertekad mendalami seni peran. Hasrat itu kemudian ia bina dengan berguru pada Eka Sitorus. Tahun 2008 mengawali kesempatannya tampil perdana di layar kaca. Meski belum menjadi pemeran utama, namun sejak itu sosoknya konsisten meramaikan serangkaian judul film televisi, sinetron, hingga layar lebar seperti Serigala Terakhir (2009) dan Perahu Kertas (2012). Kapabilitas aktingnya kian melambung dan tak terbantahkan dengan kepiawaiannya menghidupkan narasi Cek Toko Sebelah (2016), Terbang: Menembus langit (2018), serta Susi Susanti: Love All (2019). Namanya dinominasikan dalam ragam kategori aktor terbaik dan terfavorit di berbagai ajang festival film Tanah Air.

Menyimak Dion bernostalgia, mengusik keingintahuan saya akan apa yang kala itu meyakinkannya untuk mau kembali menjejaki dunia hiburan setelah sempat dikecewakan. “Guru terbaik adalah pengalaman. Bohong jika saya bilang tidak mengalami frustasi ketika dahulu setiap usaha yang saya jalani kerap menemui kegagalan. Tapi di antara kegagalan itu juga ada secercah keberhasilan atas kerja keras, yang patut untuk diperhitungkan dan terus diperjuangkan. Rasa syukur itu yang saya ingat sampai sekarang,” jawab aktor penyandang gelar Pemeran Pendukung Pria Terfavorit pilihan Indonesian Movie Actors Awards tahun 2017 itu.

Jaket, Lanvin.

Menjadi aktor, sesungguhnya, bukanlah cita-cita Dion Wiyoko. Ia bahkan dibesarkan oleh orangtua yang mengarahkannya untuk menekuni jalan pengusaha atau menjadi seorang banker—acuan karier yang menawarkan masa depan ‘pasti’. “Kalau ditanya apa cita-cita saya semasa muda dulu rasanya tidak ada jawaban yang pasti. Keinginan itu selalu berubah. Saya tipe orang yang selalu go with the flow; bergerak mengikuti langkah. Pada akhirnya, setiap jalan yang saya tempuh mengantarkan saya menemukan kenyamanan di bidang keaktoran. Barangkali itulah yang disebut takdir,” tuturnya. 

Dalam obrolan kami selama hampir satu jam itu, Dion menceritakan pengalaman manis serta pahitnya—termasuk kala ia bertugas menjadi runner komposer musik di balik layar, hingga tantangan syuting hampir 24 jam—menggeluti dunia hiburan secara terbuka dan santai. Satu kejujuran yang saya tangkap: ia mencintai profesinya bagaimana pun keadaannya—lebih dari ia mencintai tenis saat ini. “Terlepas dari jam kerjanya yang terkadang menuntut stamina tinggi, ada dinamika yang menggairahkan dari suasana bekerja dunia hiburan. Lewat setiap penceritaan dan setiap karakter yang saya perankan, profesi keaktoran memberikan saya kesempatan untuk dapat menjalani berbagai kehidupan yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Pengalaman itu luar biasa menyenangkan, dan membuat saya merasa tumbuh menjadi manusia yang lebih baik. Saya rasa, saya tidak keberatan terus melakukannya selama 10 tahun hingga berapa puluh tahun ke depan,” tegasnya.