LIFE

29 September 2022

Eko Nugroho Menggenggam Kebebasan yang Utuh


Eko Nugroho Menggenggam Kebebasan yang Utuh

Seniman generasi reformasi yang ekspresif dalam tema dan pilihan warna. Intan Kalih mengulik gagasan Eko Nugroho dalam mendistribusikan ide berkesenian berwujud tak kenal batas, seolah kebebasan utuh di tangannya.


Eko Nugroho adalah seniman yang mempunyai visi keberlanjutan tidak hanya dalam berkarya, tapi juga dalam menjalin kehidupan sosial. Ia menerapkan manajemen dan profesionalitas tim dalam bergerak, merumuskan logika bisnis, menyambung kontinuitas komunitas, menerapkan edukasi, semuanya bersinggung dalam ranah kesenian yang disukainya tanpa sedikit pun mengganggu kebebasan, apalagi kemerdekaan berkarya.

Muncul pada era reformasi di tahun 1998 sebagai mahasiswa Institut Seni Indonesia, Eko Nugroho mulai menempatkan dirinya di lajur seni rupa dengan mengikuti pameran-pameran di Yogyakarta. Ia kemudian banyak terlibat dalam proyek mural di ruang publik atau street art. Salah satu inisiasinya adalah melukis tembok talud sepanjang sungai Code, Yogyakarta, dengan mengikutsertakan para pemuda setempat. Atas hal itu pula ia mendapat residensi pertamanya (2004) di Fukuoka Asian Art Museum, Jepang. Residensi demi residensi, pameran tunggal maupun grup, dan ide-ide berkeseniannya tak henti menjelajahi dunia dalam bentuk yang beragam. Laki-laki kelahiran 1977 ini mengeksplorasi berbagai medium yang berangkat dari seni rupa menjadi karya patung, seni pertunjukan Wayang Bocor, memanfaatkan para perajin bordir yang hampir tergerus zaman untuk memperindah karya lukisnya menjadi sebuah fine art. Tak luput masalah limbah plastik kemudian diolah dan dikembangkan menjadi proyek seni berkelanjutan yang hebatnya, hasilnya pun diminati kolektor.

Seni bersifat cair dalam kepala Eko Nugroho. Kesenian baginya adalah refleksi dari sebuah kemerdekaan dan kebebasan yang bisa dirasakan, didengarkan, dan dilakukan untuk menikmati atau memaknainya. Pengalamannya atas kesenian yang mengubah hidupnya ini kemudian menggerakkan dirinya untuk membuat Eko Nugroho Art Class. Sebuah tempat studi seni yang menyenangkan bagi siapa saja, khususnya anak-anak. Kecintaannya pada seni membuat Eko tak menghentikan penerbitan tahunan komik Daging Tumbuh—proyek pribadinya untuk menampung karya seniman lainnya sejak tahun 2000 silam. DGTMB merupakan terapan ide bisnis pertamanya yang memberikan peluang bagi siapa saja untuk dapat mengakses karyanya.

Bagaimana Anda menginterpretasikan tema Freedom dalam karya yang menjadi cover spesial ELLE di edisi kali ini?

“Karya ini berjudul Art is Freedom Itself. Kesenian adalah simbol kemerdekaan. Kesenian adalah kemerdekaan itu sendiri. Secara harfiah, kita bisa lihat kesenian yang tumbuh berkembang di tiap pelosok Indonesia. Itu adalah refleksi dari sebuah kebebasan. Kemerdekaan dari sebuah penjajahan, tekanan, belenggu, serta kemerdekaan untuk merayakan budaya, tradisi, juga banyak hal. Saya tertarik membawa spirit itu. Di karya ini secara visual kita akan melihat begitu dinamisnya sebuah hutan fantasi, yang sebenarnya adalah tropical forest yang kita jumpai di Indonesia. Tetapi saya bubuhkan berbagai fantasi, ada bentuk-bentuk imajinasi dari budaya dan akar tradisi yang saya serap. Visual yang saya miliki. Saya adalah generasi setelah ‘98. Demokrasi menjadi mimpi besar era sebelum ‘98, dan kini kita merayakannya. Demokrasi yang saya alami saat ini sangat berwarna seperti hutan tropis. Dinamis, liar, tumbuh berkembang saling mengisi, menyenangkan, kadang menakutkan, menyegarkan, kadang itu juga menyesakkan.”


Sejauh apa seniman memiliki kebebasan untuk berkarya?

“Kemerdekaan itu harusnya menjadi dasar bagi seorang seniman dalam berkarya. Artinya pertimbangan sensor sosial, pertimbangan tentang hal-hal di luar karya itu menjadi kedua. Karena apa pun itu, akan menjadi risiko seorang seniman dengan karyanya. Kalau diawali dengan pemikiran censorship, larangan, hal yang tabu atau sesuatu yang sangat membatasi dalam berkarya dan berkesenian artinya kemerdekaannya sudah tidak ada. Artinya seniman ini belum sepenuhnya merdeka dalam berkarya. Belum memaknai berkesenian yang sesungguhnya. Bukan berarti kita membebaskan diri untuk liar, tapi sekali lagi berkesenian itu adalah ekspresi kebebasan yang luar biasa. Kebebasan dan kemerdekaan itu juga perspektif, artinya logika kita sebenarnya. Kembali lagi kepada kita untuk memaknai kebebasan dan kemerdekaan itu. Apakah kita sebebas-bebasnya sehingga merugikan orang lain? Takarannya ada di kita, karena manusia punya logika. Di kesenian, rasa dan nalar yang berbicara.”

Kolaborasi dengan Louis Vuitton di tahun 2013, kemudian menyusul brand-brand global lainnya seperti Samsung, Oppo, Ikea, maupun sejumlah kolaborasi menarik. Bagaimana Anda memulai dan membina kerja sama dengan baik?

“Pengalaman saya, di dunia fine art ada konsep yang secara tidak langsung mungkin disepakati bersama, kadang-kadang itu menghindari bisnis komersial yang berlebihan. Saya bisa paham. Waktu mendapat tawaran di tahun 2013, saya juga ada perasaan seperti itu. Tapi saya suka mencoba sesuatu yang baru, challenging. Entah itu dapat cemoohan atau apa pun feedback-nya, saya harus coba. Ternyata feedback-nya bagus. Setelah itu banyak juga brand lokal yang support seniman dalam bentuk kolaborasi, sampai sekarang. Secara tidak langsung ini menarik, pada akhirnya memberikan wacana yang berbeda lagi untuk desain, produk, dan seni. Di satu titik juga tidak semua brand kita terima. Ada konsep yang kita terapkan. Hal-hal yang sangat standar, krusial. Tujuannya untuk melindungi seniman, tidak hanya saya. Tapi menghargai karya seniman. Artinya harus equal, kesenian ini harus bisa dihargai. Karena effort dia ini sebenarnya adalah ide kreatif yang mahal. Bagaimana dia merespon produk itu, bagaimana dia menerjemahkan ide-ide dari produk itu, ide dari dia sendiri untuk memadukannya agar menarik. Karena kita bukan biro desain, tapi seniman yang berkolaborasi.”

Temoin Hybride-Musee DArt Moderne (2012)

Fokus Anda dalam berkarya?

“Kalau karakter saya banyak tertarik mengkritisi. Tapi mengkritisi ke mana, itu bisa macam-macam. Kadang politik, kepedulian edukasi atau lingkungan. Mungkin saya merefleksikan diri sebagai orang biasa yang tahu banyak informasi. Misalkan hari ini minyak naik, saya mencoba mencari tahu, kenapa minyak itu naik, apa kegelisahannya, apa feedback-nya, apa ini menjadi tindakan kriminal, dan seterusnya. Itu lalu menjadi filter dan menjadi karya. Karya saya adalah refleksi di mana saya hidup. Momentum. Bagi saya, kesenian itu adalah catatan sejarah yang kuat.”

Menggunakan beragam medium untuk berkarya, bahkan membentuk tim untuk tiap proyek seni. Bagaimana Anda bereksplorasi?

“Saya punya prinsip bahwa kesenian itu cair, kesenian itu sangat fleksibel. Maka saya berpandangan tidak hanya berhenti pada medium yang sekarang digeluti. Namun juga, tidak akan menghentikan atau meninggalkan medium yang sudah saya tekuni atau temukan. Ada kelanjutannya, seperti bordir, sampah plastik, DGTMB, Art Class, Daging Tumbuh. Konsepnya itu seperti menyirami. Tetap ada terus, feedback-nya apa ke depan saya tidak tahu. Tapi karena saya suka, seneng kuwi larang hargane (suka itu mahal harganya), maka itu akan terus berkesinambungan. Nah dari dasar itu saya terbuka dengan banyak hal, kemungkinan ide lainnya ke depan apa. Saya orang yang sangat ingin tahu dengan banyak hal, dan saya ingin mengembangkannya dengan banyak hal. Terutama hal-hal yang ada di sekitar saya, atau sekitar kita yang mungkin dianggap familier tetapi sebenarnya spesial. Nah ketika saya menemukan strategi untuk mengembangkannya menjadi sesuatu, nanti pasti akan saya develop lebih luas lagi. Proyek lukisan dengan sampah plastik sudah sejak 2017, bordir sejak tahun 2007, sampai sekarang.”

Family Dinner after Democracy (2020)

Ciri khas mata yang ada pada tiap karya Anda. Kapan memulainya?

“Mulai tahun 2005, di Belanda. Idenya itu tertarik mengamati generasi. Karya saya adalah generasi saya. Di mana era saya sekarang ini adalah era yang sangat cerdas. Era semua orang memegang kotak kecil (gawai) dan semua orang mendapatkan informasi dari situ. Mereka banyak melihat. Yang hilang di era saya adalah kita less and less diskusi, kita semakin jarang berbicara, berdemokrasi, berdialog, mengutarakan hal-hal. Di situ juga tidak utuh, tidak ada telinga. Kita ingin selalu didengarkan, tapi lupa untuk mendengarkan. Pada akhirnya sangat individualis, sangat sendirian, dan kita sangat soliter belakangan ini. Mempertanyakan keutuhan kita sebagai manusia. Saya pasang banyak mata di satu objek atau figur, artinya kita ini juga masyarakat yang membutuhkan banyak identitas. Identitas kita berada di tengah-tengah masyarakat, di tempat kerja, di dalam rumah dan keluarga, dunia sosial, dan masih banyak lagi. Kita yang hidup di dunia modern ini butuh menjadi bagian dari banyak hal. Kita ingin eksistensi di banyak hal, karena itu lah salah satu cara ‘survive’. Yaitu menjadi bagian dari identitas-identitas itu.”

ROOT Indonesian Contemporary Art Group Exhibition (2015), Frankfurt, Germany.

Bagaimana menjaga eksistensi sebagai seniman dan mengelolanya?

“Saya sadar bahwa itu tidak bisa diurusi oleh satu kepala, atau saya sendiri. Saya hanya menjaga agar konsisten tetap bisa berkarya. Selebihnya ada tim, mereka yang menjaga agar bagaimana karya saya bisa terdistribusi. Ketika ada tawaran, dapat terbangun komunikasi oleh komunikator tim dengan galeri, museum, bienial, trienial, proyek apa pun itu. Kedua, persiapan. Karya apa yang sudah saya buat. Apakah saya perlu membuat tema baru, karya baru, untuk proyek yang akan datang. Otomatis mereka yang akan mengatur estimasi waktunya. Jeda waktu persiapan. Nanti harus packing, kalau itu di luar negeri butuh waktu berbulan-bulan. Lalu selama menuju pameran itu, keselamatan karya. Kan saya sudah mengumpulkan karya, bikin karya, dan saya biasanya membuat maket kecil untuk mencoba menstimulasi display. Dari situ, saya punya logika, bagaimana bentuk suasana eksibisinya. Setelah itu karya dikirim. Kalau ada display khusus, saya diskusi dengan tim. Kalau tidak bisa kirim perwakilan, kita akan bikin instruksi. Setelah pameran berjalan, karya ini laku atau tidak, urusannya kembali pada tim untuk membangun komunikasi. Setelah karya kembali, dismantling, menurunkan karya, menurunkan instalasi. Itu musti digawangi sampai karya itu kembali ke gudang lagi, lalu perawatan. Itu baru satu pameran, nanti ada pameran lainnya, proyek lainnya, lalu mungkin ada brand yang masuk. Dan itu bisa sekaligus banyak berbarengan. Dengan adanya tim, bisa more and more professional. Bisa develop hal-hal lebih baik lagi.”

Lot Lost

Melalui Eko Nugroho Art Class, apa yang ingin ditanamkan pada anak-anak atau calon seniman muda?

“Saya ingin membagi pengalaman bahwa berkarya itu memiliki feedback yang banyak, bukan hanya di ruang publik. Berkarya seni itu juga bisa healing, bisa restorasi diri lewat terapi melukis, misalnya. Basic kesenian adalah keunggulan dan keunikan bagi masing-masing individu. Membuka nilai-nilai sosial, kecintaan, keindahan, nilai-nilai yang lebih luas lagi terhadap bentuk-bentuk kesenian lainnya. Pendidikan kesenian, terutama seni rupa, sangat penting untuk mendampingi edukasi reguler, karena bagaimana pun anak-anak ini membutuhkan recharge dalam ruang- ruang dirinya. Ada seni yang bisa mereduksi tekanan. Ini akan lebih memperkaya pola pikir anak dan mendewasakan mereka. Lagi pula tidak semua orang punya kesempatan untuk bersekolah seni. Bahkan kalau kita mau sekolah seni, kita harus menunggu usia tertentu. Itu kenapa Art Class ini dibuat. Sejak kecil mereka sudah langsung bisa bersentuhan dengan karya seni; ada print, spray, kolase, memperkenalkan seni rupa secara sederhana. Nanti kan rumitnya ada di kampus, di edukasi formal. Art Class ini sudah dipikirkan sejak 2004, tapi baru terealisasi di tahun 2014 dengan tim. Membuat kurikulumnya dari buku-buku yang saya koleksi. Saya beli dari luar, lalu saya studi kasus dari komunitas. Dari institusi, dari art school untuk anak, dari kesempatan yang berbeda-beda sejak 2004- 2014. Dari catatan, saya bikin racikan, saya bikin konsep besarnya. Tim ini kemudian merumuskan menjadi metode pengajaran harian, bulanan, tahunan, dan upgrading; ada konsultasi psikolog, dan seterusnya.”