LIFE

24 Agustus 2022

Greysia Polii Berkisah Tekanan Saat Di Lapangan dan Rencana Usai Gantung Raket Bulu Tangkis


PHOTOGRAPHY BY Agus Santoso Yang

Greysia Polii Berkisah Tekanan Saat Di Lapangan dan Rencana Usai Gantung Raket Bulu Tangkis

Juara olimpiade usai memenangkan nomor ganda putri pada Olimpiade musim panas Tokyo 2020. Bersama Apriyani Rahayu, Greysia Polii menjadi atlet perempuan ketiga dan keempat asal Indonesia yang memenangkan medali emas dalam Olimpiade setelah Susy Susanti dan Lilyana Natsir. Namanya berkibar di penjuru negeri bahkan hingga mendunia. Saat bendera merah putih dikibarkan tanda kemenangan, peluh keringat dan air mata haru seolah menegaskan kerja keras bertahun-tahun yang diupayakan bersama pengorbanan dan kegigihan. 

Anak ketiga dari tiga bersaudara. Greysia Polii lahir di Jakarta dari orangtua berdarah Minahasa, Sulawesi. Ia tinggal di Jakarta hingga usia 2 tahun, ketika ayahnya meninggal dunia, Greysia dan keluarganya pindah ke Manado. Greysia menghabiskan masa kecilnya dengan bermain bulu tangkis. Suatu hobi yang ia lakoni akibat pengaruh sang ibu, mantan pemain tenis, dan dari saudaranya yang juga atlet bulu tangkis nasional, Deyana Lomban. Bakat bulu tangkisnya muncul ketika Greysia berusia 5 tahun. Pada 1995, ia dan ibunya pindah ke Jakarta untuk mendapat pelatihan dan kesempatan bermain bulu tangkis yang lebih baik. Greysia Polii kemudian bergabung dengan klub bulu tangkis Jaya Raya Jakarta. 

Greysia memulai kariernya sebagai atlet ganda putri dan campuran. Pada 2004, ia membantu tim nasional junior untuk memperoleh medali perunggu pada Kejuaraan Bulu Tangkis Junior Asia dan mendapat medali perak pada nomor ganda campuran bersama Muhammad Rijal. Greysia mengawali debutnya bersama tim nasional di Piala Uber tahun 2004. Pada tahun 2017, Greysia mulai dipasangkan dengan Apriyani Rahayu. Jalan panjang sepak terjang perempuan ini di dunia bulu tangkis diwarnai sejumlah prestasi. Dan bicara soal pensiun, perempuan ini sudah beberapa kali berpikir untuk pensiun sebagai atlet sebelum akhirnya benar- benar menutuskan pensiun pada Juni 2022 silam. Usai Olimpiade 2012, Greysia berpikir untuk pensiun setelah ia bersama Meliana Jauhari terkena diskualifikasi karena dianggap tidak menampilkan permainan terbaik. Ia juga merencanakan pensiun usai Olimpiade 2016 saat partnernya, Nitya Krishinda Maheswari, mengalami cedera dan harus menjalani operasi lutut. Keputusannya untuk menunda pensiun berbuah manis. Greysia Polii dan Apriyani Rahayu memenangkan emas SEA Games 2019 disusul dengan perolehan emas Olimpiade 2020. Setelah memenangkan Olimpiade 2020 dan menjalani beberapa bulan sambil menanti Apriyani mendapat  pasangan baru, Greysia Polii akhirnya resmi mengumumkan pensiun dari dunia badminton. Greysia menyudahi kariernya sebagai pemain bulu tangkis, cabang olahraga yang sudah dirintis dan ditekuni perempuan ini selama 30 tahun.

Bagaimana kisah awal ketertarikan Anda pada bulu tangkis?

“Saya mulai bermain bulu tangkis sejak usia 5 tahun, diperkenalkan oleh ibu saya yang juga mantan pemain tenis. Ibu bercerita bahwa sejak kecil  saya terlihat senang memainkan raket dan seperti punya bakat bermain bulu tangkis. Karena saat itu kami sekeluarga tinggal di Manado, Ibu kemudian memutuskan agar kami pindah ke Jakarta. Kami berpikir bakal ada kesempatan lebih banyak di Jakarta selain juga supaya saya fokus bermain bulu tangkis. Beranjak remaja, saya makin senang bermain bulu tangkis, tetapi Ibu selalu menekankan agar saya tetap menyelesaikan pendidikan akademis. Akhirnya Ibu menyekolahkan saya di sekolah atlet, Sekolah Khusus Olahragawan (SKO) di Ragunan, Jakarta Selatan. Saya latihan mulai pukul 5 pagi, kemudian pukul 7.30 bergegas ke sekolah, lalu pulang sekolah lanjut latihan lagi sampai sore. Begitu rutinitas saya setiap hari selama bertahun-tahun.” 


Sejauh mana peran dan pengaruh Retno Koestijah dalam perjalanan Anda?

“Selain karena ketertarikan diri sendiri, tentu ada orang-orang lain yang membimbing hingga saya bisa menjadi seperti sekarang. Ibu Retno Koestijah salah satu sosok yang berpengaruh besar. Saya masih berusia 14 tahun ketika mengenal Ibu Retno yang saat itu berada di Pelatnas dan PB Jayaraya. Suatu waktu, Ibu Retno bilang bahwa beliau ingin memindahkan saya dari pemain tunggal menjadi atlet ganda. Beliau menyarankan saya masuk asrama tapi orangtua meminta agar menunda sampai saya lulus SMA. Keputusan Ibu Retno menaruh saya di tim atlet ganda ternyata tidak keliru. Tahun 2003, saya bisa bergabung ke tim nasional bulu tangkis yang salah satunya atas bantuan dan didikan Ibu Retno. Beliau sudah seperti orangtua saya sendiri yang tak hanya menguatkan di laga pertandingan, tapi juga mendukung di luar lapangan bulu tangkis.”


Menjadi atlet ganda, apa tantangannya? 

“Dari usia 11 tahun, saya belajar bahwa hidup ini bukan milik saya sendiri. Keberhasilan saya sebagai atlet bergantung dengan apa yang dilakukan partner saya, pun sebaliknya. Apalagi ketika dulu awal masa remaja, saya merasa proses beradaptasi dan menyelaraskan diri dengan orang lain jauh lebih sulit dibanding belajar teknik bulu tangkis. Saya menyadari, seorang atlet tidak mungkin bisa mementingkan dirinya sendiri. Kami dididik agar punya rasa saling memiliki sehingga semua orang memikul beban yang sama. Tidak bisa hanya satu orang yang bekerja keras berusaha mati-matian, sedangkan yang lain bermalas-malasan lalu melempar tanggung jawab ke orang lain. Kalah atau menang, kita jalani bersama-sama.”


Bagaimana bentuk adaptasi dalam menjaga kekompakan?

“Apabila salah satu di antara anggota tim ada yang melakukan kesalahan, jangan malah dimarahi apalagi dibicarakan di belakang orangnya. Harus saling mendukung dan mengingatkan agar sama- sama belajar. Membangun kedekatan emosi juga cukup penting karena akan membantu saat kita berkoordinasi di lapangan. Kemudian pastikan kita dan partner memiliki kesamaan visi dan misi. Dengan satu tujuan, maka setiap langkah akan bergerak ke arah yang sama. Kesamaan tekad juga dapat membuat kita saling termotivasi. Melihat orang lain disiplin berlatih, tentu kita juga ingin gigih mencapai prestasi. Sebab pada akhirnya, kemenangan akan sulit diraih apabila anggota tim yang bertanding ingin menang sendiri-sendiri.”


Bagaimana strategi dalam mengelola tekanan di lapangan pertandingan?

“Setiap atlet punya ‘peak performance’ yang puncaknya terjadi dalam kejuaraan seperti Olimpiade. Dan ‘peak performance’ ini bukan sesuatu yang muncul 1-2 hari sebelum pertandingan, melainkan sudah dipupuk sejak bertahun-tahun sebelumnya. Banyak hal yang kita kelola jauh sebelum hari pertandingan, termasuk soal strategi dan tenaga di lapangan. Bahkan kalau ditarik lebih jauh, kita punya mimpi yang kita bangun dari berpuluh-puluh tahun lalu. Semua aspek tersebut bersinergi menciptakan semangat tertinggi saat kita menghadapi lawan di lapangan. Dan saat pertandingan, beban itu tidak terasa berat karena atmosfer dan energi dari semua orang yang menonton dan mendukung rasanya memunculkan kekuatan tersendiri buat kami para atlet.” 


Seperti pedang bermata dua, the confidence and pride that made us a champion was also almost responsible for our downfall. Bagaimana Anda melihat hal ini? 

“Kita perlu punya tombol untuk mengatur bagaimana cara kerja sebuah kepercayaan diri. Pengaturan ini penting agar kita selalu punya kerendahan hati untuk mencari pengetahuan sekaligus mengatur ekspektasi diri sendiri ataupun orang lain. Sebagai atlet, saya merasa harus belajar hal-hal lain di luar dunia bulu tangkis karena kepintaran di luar lapangan tidak kalah penting untuk mendukung kemajuan seorang atlet. Bukan sebatas cerdas secara akademis, melainkan membiarkan pikiran terus bekerja sehingga ketika sedang buntu dan butuh strategi, inteligensi kita bisa diandalkan untuk melewati berbagai tekanan.”


Pada Olimpiade London 2012, Anda terpuruk kalah. Kemudian mencatat sejarah lewat kemenangan di Olimpiade Tokyo 2020 bersama Apriyani. Sikap mental seperti apa yang Anda terapkan untuk mampu bangkit setelah jatuh?

“Bermain bulu tangkis dari masih kecil, umur juga sudah tidak muda lagi, ternyata berakhir kalah dan kecewa yang luar biasa. Peristiwa tahun 2012 bisa dibilang merupakan titik terendah di mana saya sempat ingin berhenti dari dunia bulu tangkis. Namun kekalahan tersebut pada akhirnya membuat saya seperti terlahir kembali. Saya mengoreksi diri dan mempertanyakan banyak hal, ‘Apa yang sebenarnya ingin saya raih?’ dan ‘Seberapa besar keyakinan saya dengan kemampuan diri sendiri?’. Saya juga banyak berdiskusi dengan keluarga dan pelatih. Mengenai apa yang bisa saya perbaiki, teknik apa yang perlu dipelajari. Kemudian ada pertanyaan penting dari pelatih yang mengubah perspektif saya, ‘Seberapa besar kepercayaan Anda dengan diri sendiri?’. Karena kalau hati sudah ragu-ragu, sulit untuk bertarung mencapai kesuksesan. Yang juga menguatkan mental adalah pernyataan dari ibu saya, ‘Kamu tidak perlu berpikir harus menjadi juara dunia atau menang Olimpiade. Bermain saja sebaik mungkin, jangan membebani diri dengan pikiran bahwa harus juara pertama supaya dianggap punya nama.’”


Dan Anda meraih kemenangan justru ketika tidak ada beban ekspektasi.

“Benar bahwa ternyata harapan yang terlalu tinggi itu kadang kala bisa menjadi sumber masalah. Selama ini saya mengalami over expectation. Hanya memikirkan soal kemenangan dan bagaimana mengalahkan orang lain. ‘Buat apa bermain bulu tangkis dari kecil kalau tidak pernah menang?’, bertahun-tahun saya menganggap kemenangan adalah sebuah keharusan. Tapi kemudian saya mengubah perspektif. Menang tidak lagi menjadi tujuan utama. Saya hanya ingin menorehkan nama baik untuk diri sendiri, keluarga, dan negara. Saya mau apa yang saya lakukan dapat menjadi panutan bagi atlet-atlet muda. Dan yang terpenting bahwa saya bermain bulu tangkis karena saya mencintai olahraga ini.”


Apa rencana Anda selanjutnya usai pensiun dari kancah bulu tangkis?

“Seumur hidup saya belum pernah memberikan waktu buat keluarga. Sebagai perempuan yang telah berumah tangga, keluarga menjadi prioritas penting buat saya. Tentu masih ingin berkontribusi di dunia bulu tangkis yang telah membesarkan nama saya. Karena itu saya menerima tanggung jawab sebagai Presiden Atlet di Badminton World Federation untuk membantu mengurusi kebutuhan atlet-atlet bulu tangkis. Dalam hal ini mewakili suara para atlet muda untuk kemudian menjadi masukan bagi BWF. Saya melakukannya dengan senang hati, asalkan saya tetap bisa mengurus suami dan keluarga. Saya juga ingin menjadi entrepreneur dengan menjalankan bisnis yang memberdayakan perekonomian dalam negeri sekaligus menyejahterakan para perajin lokal agar saya tetap bisa menjaga semangat nasionalisme meski tidak dari dunia bulu tangkis.”