LIFE

19 September 2023

Imaan Hammam Bersemangat Memanifestasikan Impian


PHOTOGRAPHY BY Chris Colls

Imaan Hammam Bersemangat Memanifestasikan Impian

styling Alex White; fashion Dior Haute Couture (mantel & anting), Ellen Christine Couture (topi)

Ada sejumlah barang yang menempel di sisi kulkas di kediaman Imaan Hammam, semisal foto-foto yang merekam wajah para sahabat, keluarga, dan cuplikan perjalanannya ke berbagai destinasi dunia. Selain itu juga terdapat secarik kertas bertuliskan “2023” dengan daftar cita-cita yang ingin dicapainya. Model berusia 26 tahun ini ingin mempelajari bahasa baru (ia menguasai bahasa Belanda, Arab, dan Inggris) dengan mendaftar untuk program Global Entry, dan mencari ahli terapi.

Saya bisa membaca daftar cita-cita tersebut dengan jelas saat sedang bertandang ke apartemennya yang berlokasi di Brooklyn—yang ia beli enam tahun silam. Sebuah kata yang juga tertulis dalam daftar tersebut, yakni “Islam”. “Saya sangat bangga menjadi orang Islam. Namun kenyataannya sangat sulit untuk taat pada Islam saat Anda tinggal di negara Barat,” ucapnya.

Ia tidak main-main ketika mengungkap rasa bangga menjadi orang Islam dan sebagai komitmennya untuk taat pada agama, Hammam pernah mengambil cuti dari kegiatan modeling selama satu bulan agar dapat fokus menjalani ibadah di Bulan Ramadan. Ia kemudian bercerita tentang salah satu momen berkesan saat berpuasa. “Suatu waktu di bulan Ramadan, saya pernah pingsan di lokasi syuting. Saat itu saya harus melakukan pose-pose ‘berat’ seperti meloncat, menari, dan berlari, sedangkan saat itu sedang menjalani puasa,” kenangnya. Saat saya temui, Hammam duduk di karpet ruang tamunya dengan mengenakan celana jin wide-leg dan sweatshirt hijau longgar. Ia memiliki pribadi yang hangat dan penuh semangat. Nyaris setiap ucapannya diiringi suara tawa dengan gestur tangan yang ikut berekspresi seiring ia berbicara.

Gaun, sarung tangan, ankle boots; seluruhnya koleksi Chanel Haute Couture.

Sudah satu dekade Hammam berkecimpung dalam gemerlap dunia mode. Ia bahkan menjadi salah satu sosok model yang paling dicari. Lahir dan tumbuh besar di Amsterdam, Belanda, Hammam memiliki ibu yang berasal dari Maroko, sedangkan ayahnya orang Mesir. Ia awalnya ditemukan oleh seorang pencari bakat saat usianya 13 tahun. Ia kemudian menandatangani kontrak pertamanya di usia 16 tahun, dan setelah itu kariernya terus melesat. Pada masa itu ia berusaha menyeimbangkan kegiatan kerja modeling dan urusan sekolah. Salah satunya dengan cara selalu hadir di sekolah setiap sedang berada di Amsterdam, kemudian menjalani sekolah virtual lewat Skype saat ia sedang berkelana menjalani kegiatan modeling. “Saya menempatkan sekolah di urutan nomor dua,” Hammam jujur mengungkap alasan. Ia tergiur besarnya angka pendapatan yang ditawarkan oleh dunia mode. Maka ia pun pindah ke New York dan memulai debutnya di perhelatan adibusana Jean Paul Gaultier 2013, serta membuka runway koleksi musim semi 2014 Givenchy yang digawangi Ricardo Tisci. Selanjutnya ia terus menghiasi berbagai sampul majalah dunia, muncul di berbagai iklan Chanel dan Versace, serta berkolaborasi bersama Port Tanger. Pada awal 2023, ia menambahkan prestasi karier dalam portofolionya dengan menjadi wajah terbaru label kecantikan dunia, Estée Lauder. Dan peluang itu kian istimewa karena Hammam menjadi perempuan keturunan Afrika-Arab pertama yang diusung oleh label global tersebut. “Ini adalah wujud representasi yang sebenarnya kita butuhkan. Saya sendiri selalu memiliki mimpi untuk menjadi salah satu perempuan yang dijunjung Estée Lauder. Sebab bagi saya, apabila Anda telah menjadi perempuan Estée Lauder, maka Anda boleh dibilang telah berhasil,” ucapnya.

Foto kampanye pertamanya bersama Estée Lauder bisa dibilang mampu membuat Hammam merasa sangat dihargai. “Dulu saya tidak pernah melihat representasi perempuan yang memiliki paras seperti saya, karena itu sangat sulit untuk memberi kepercayaan kepada diri sendiri bahwa saya sesungguhnya juga cantik,” ujar Hammam. Kariernya yang meningkat pesat sebagai supermodel mendapatkan andil dari krisis dunia mode yang saat itu sangat kurang perihal merangkul keberagaman dan inklusivitas. Hammam gigih berusaha mendapatkan tempat di tengah dominasi kulit putih. Hingga dalam satu dekade terakhir, ia sendiri mampu menyaksikan perubahan yang lambat laun memberi hasil nyata. “Kini apabila Anda melihat banyak sampul majalah dan kampanye-kampanye lainnya, Anda akan melihat berbagai keberagaman ikut menghiasinya dan hal tersebut membuat saya luar biasa bahagia. Saya bangga dan gembira bisa menjadi salah satu sosok perempuan yang mampu membantu membuat perubahan itu terjadi.”

Namun apakah ia pernah merasa bahwa profesinya sebagai model akan menuai konflik dengan identitasnya sebagai perempuan Muslim yang taat?

Gaun, Fendi Couture.

“Setiap saat. Sejak awal karier, ibu saya selalu berkata, ‘Saya ingin kamu bahagia melakukan ini semua, tapi lakukanlah di jalan yang menghormati dirimu sendiri sekaligus juga menghormati agama kita.’ Pernah suatu saat saya pergi menghadiri sebuah acara dan harus mengenakan busana yang tampaknya kurang disukai oleh ibu saya. Momen-momen seperti itu sering kali membuat saya merasa berada ‘di tengah-tengah’ konflik,” kisah Hammam.

Kendati demikian, Hammam paham betul eksistensinya memiliki pengaruh yang sangat besar dan ia pun berhasrat untuk menggunakan pengaruh itu untuk perubahan baik. “Di masa sekarang, lewat media sosial, Anda bisa menjadi ‘lebih’ dari hanya sekadar seorang perempuan berwajah cantik atau sosok seorang model; Anda bisa membagikan pemikiran dan gagasan Anda. Dengan menggunakan platform yang saya miliki, saya berupaya berbicara tentang siapa diri saya yang sebenarnya—sebagai seorang Muslim keturunan Maroko dan Mesir—dan hal itu sendiri rasanya cukup mampu membuat orang lain merasa ‘dilihat’ dan memiliki kepercayaan diri untuk gigih mencapai cita-cita,” ujarnya.

Dalam perjalanan kariernya, Hammam merasa beruntung. Ia senantiasa mendapat dukungan dari sekelompok sahabat sesama profesi: Cindy Bruna, Ophélie Guillermand, Mélodie Monrose, dan Leila Nda. Ia juga menemukan sosok mentor di Bethann Hardison. “Saya jatuh cinta padanya saat pertama kali bertemu dengannya. Ia punya kecantikan yang tidak membosankan dan selalu belajar berkomitmen dalam setiap hal yang ia lakukan—baik di sesi pemotretan ataupun di runway. Ia benar-benar belajar untuk menjadi model terbaik,” ujar Hardison tentang Hammam.

Bagi Hammam remaja, dapat menjalin koneksi dengan Hardison adalah momen krusial. “Pada masa itu, semuanya begitu kompetitif. Setiap kali saya masuk ke ruangan casting, memperkenalkan diri dan mencoba untuk berteman, para model itu tidak pernah repot menanggapi,” jelas Hammam tentang persaingan para model kulit hitam yang kerap terjadi di audisi. Kian dewasa, Hammam menyadari mengapa skenario tersebut kerap terjadi. Merangkum era di mana setiap rumah mode hanya menyeleksi satu orang model kulit hitam di setiap audisi. “Kini semuanya masuk akal, mengapa mereka bersikap begitu dingin. Kalau dari begitu banyak peserta audisi hanya meloloskan satu orang saja, maka tak heran bila Anda diselimuti perasaan enggan seperti itu,” ceritanya.

Mantel, gaun, stocking, sepatu pumps; seluruhnya koleksi Valentino Haute Couture.

Demi menggalakkan rasa kebersamaan yang solid di antara para model yang tengah merintis, Hardison mengumpulkan mereka semua di dalam sebuah group chat dan mengundang mereka makan malam secara rutin. “Kami sebanyak 20 orang pergi ke berbagai restoran mewah dan datang ke hotel The New York Edition, kemudian duduk berbincang dan menjadi dekat antara satu sama lain di kamar yang ia sewa. Ia melakukan hal yang sangat indah dan baik hati. She’s a legend. Ia membuka banyak pintu untuk para perempuan minoritas, dan masih melakukannya hingga kini.” Sedangkan bagi Hardison, Hammam sendiri sosok yang selalu memaksimalkan setiap kesempatan yang didapatkan. Ia bekerja tak kenal lelah bukan semata-mata hanya untuk meningkatkan jenjang karier, tapi juga demi mengabulkan pelajaran yang selama ini telah ia pelajari dari sang mentor.

Hammam sangat menikmati keberadaanya di rumah— apartemen yang ia beli enam tahun silam. Di hadapan saya ada dua sofa beledu warna hijau, plafon berkubah, jendela- jendela besar, poster besar film City of God dan sebingkai foto dirinya yang diabadikan oleh seniman Maroko, Hassan Hajjaj. “Bisa jadi karena saya Libra maka saya cenderung cepat bosan. Saya suka mengganti isi rumah setiap enam bulan. Apartemen ini adalah my safe haven,” ujarnya sambil tersenyum.

Bila Anda mengikuti Hammam di TikTok, pasti Anda pernah melihat dapur di apartemennya—area di mana ia dan sahabatnya, Monrose, merekam aksi mereka memasak. Kegiatan ini diakui membantunya melepas stres. “Kadang saya menerima pesan-pesan DM (direct message di Instagram) yang cukup kasar, seperti ‘You’re going to hell, you’re selling your body.’ Hal yang sangat menyedihkan tentang media sosial,” ia berujar. Namun di sisi lain, media sosial juga menyediakan akses yang terkadang sulit untuk dipercaya, semisal saat Hammam bisa berkomunikasi lewat DM dengan salah satu model favoritnya, yaitu Yasmeen Ghauri. Di sebuah perbincangan daring, Ghauri bertanya pada Hammam bagaimana caranya ia mempelajari cara berjalan yang begitu anggun di runway. “Saya kontan menjawab, ‘Girl, from you!’”

Sebelum Hammam melanjutkan langkah anggunnya di runway dan kembali ke studio, ia akan menghabiskan waktu bersama keluarganya di Maroko. Dan mengingat pembawaannya yang aktif, daftar cita-cita yang tertempel di kulkasnya akan terus bertambah. Saat ini Hammam bekerja sosial di Asiyah Women’s Center, sebuah organisasi yang menyediakan bantuan dan tempat tinggal bagi para perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Ia juga rutin menjalani ibadah salat dan mendengarkan kotbah dari Imam Khalid Latif di Islamic Center yang berlokasi di New York University. Selain itu, Hammam turut mengambil kursus online yakni Business English di platform Perfectly Spoken dan—seolah tak kenal lelah—ia juga menekuni Brazilian jiujitsu. Ya, Imaan Hammam memiliki hari-hari yang menarik dan unik.