8 Maret 2025
Justitia Veda Pro Bono Mendampingi Korban Kekerasan Seksual Raih Keadilan

Ada sebuah kredo dalam dunia hukum yang amat terkenal, Fiat justitia ruat caelum, yang artinya hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Pernyataan itu diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, seorang negarawan Romawi, yang tahu betul bawa justitia atau keadilan merupakan sesuatu yang mulia. Rasa keadilan harus ditegakkan kepada siapa pun tanpa terkecuali. Keadilan menjadi sebuah gagasan yang selalu didambakan oleh seluruh umat manusia. Harapan itu pula yang tersemat dalam nama seorang perempuan, pengacara, sekaligus aktivis yang selama tiga tahun belakangan berkomitmen untuk mendampingi korban kekerasan seksual secara pro bono. Justitia Avila Veda, seorang pengacara sekaligus pendiri Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender. Ia mendedikasikan dirinya untuk membela kelompok marginal dan membangun jembatan keadilan bagi para korban kekerasan berbasis gender yang belum terpenuhi hak-haknya. Bersama rekan-rekan pengacara lainnya, Justitia Avila Veda membantu perjalanan korban menuju pemulihan melalui layanan konsultasi dan pendampingan hukum.
Justitia Avila Veda telah menunjukkan ketertarikan pada bidang hukum pidana dan isu perempuan sejak menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Usai meraih gelar Sarjana Hukum, Veda melanjutkan kuliah dan memperoleh gelar Master of Laws dari University of Chicago Law School, Chicago, Illinois. Berawal dari sebuah tweet yang diunggah pada Juni 2020 di mana Veda menyatakan kesiapan untuk membantu dan mendampingi korban kekerasan seksual lewat bantuan hukum. Kicauan Veda tersebut mengundang respons publik yang luar biasa, Dalam 24 jam ada lebih dari 40-an aduan kasus via e-mail dan beberapa aduan lainnya menghubungi lewat Direct Message di Twitter (kini X). Veda sendiri pernah mengalami peristiwa kurang menyenangkan di masa lalu terkait kekerasan seksual. Berangkat dari keresahan dan pengalaman yang pernah ia alami membuat Veda akhirnya melakukan upaya inspiratif dan membentuk gerakan bantuan hukum kepada korban kekerasan seksual. Pada November 2022, Justitia Avila Veda membentuk lembaga Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) sebagai layanan pro bono untuk menangani kasus kekerasan seksual. Sebagai badan konsultasi hukum, KAKG terikat dalam kode etik advokat dan kode etik profesi dengan struktur kelembagaan yang transparan dan akuntabel. Layanan ini bisa diakses dalam 24 jam melalui e-mail konsultasi@advokatgender.org dan nomor telepon +62 812 9881 1088 untuk memberikan akses bantuan hukum maupun nonhukum seperti layanan psikologis atau medis bagi korban kekerasan. Layanan KAKG dapat diakses oleh siapa pun, dengan empat kelompok masyarakat marginal yang menjadi prioritas penanganan; korban anak, penyandang disabilitas, masyarakat prasejahtera atau kelompok yang secara ekonomi termarginalkan, serta korban dengan kerentanan tertentu seperti pengungsi atau korban konflik.
Apa inspirasi di balik berdirinya Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender?
“Suatu waktu saya menyadari ada banyak sekali temanteman yang berdiskusi dan berharap mendapat bantuan atas kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Mulai dari catcalling, relasi kuasa di lingkungan kerja, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kasus perkosaan. Saya kemudian merasa saya harus membantu orang-orang lain di luar lingkaran pertemanan. Awalnya bantuan konsultasi dilakukan melalui chat dan e-mail karena waktu itu sedang pandemi Covid-19. Saya kemudian mengunggah sebuah tweet yang akhirnya viral dengan sekitar 200 aduan yang masuk melalui Twitter. Setelah itu ada dua pengacara lain menghubungi saya yang menawarkan bantuan untuk merespons konsultasi tersebut. Saat itu kami berpikir sudah saatnya membangun satu sistem kelembagaan yang akuntabel dan holistik sehingga bisa memantau perkembangan kasus dan memastikan seluruh kebutuhan korban terpenuhi. Bicara soal penyelesaian kekerasan seksual tidak bisa hanya dengan kaca mata hukum, karena ada banyak dimensi dan kebutuhan korban yakni pendampingan hukum, dukungan psikososial dan psikiatris, layanan medis, bantuan finansial, pemulihan reputasi, serta mencarikan rumah aman bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Menyadari kompleksitas tersebut, kami mendirikan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender yang memberdayakan para advokat sekaligus menjalin kemitraan strategis dengan penyedia layanan lainnya.”
Bagaimana Anda melihat pentingnya dua aspek berbeda yakni hukum dan komponen emosional serta aspek psikologis dalam perjalanan pemulihan korban?
“Seluruh advokat di Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender tidak bisa hanya berperan sebagai lawyer. Kemampuan pengacara bukan hanya soal pemahaman hukum, tapi juga ada skill lainnya yakni kemampuan mendengar, kapabilitas untuk perseptif dan reseptif, tahu kapan harus terus bergerak dan kapan saatnya mengambil jeda dan berefleksi. Ketika konsultasi, kami harus bisa menyadari ketika korban sangat tertekan yang biasanya terlihat dari bahasa tubuh atau saat ceritanya kurang terstruktur. Dari titik itu, kita akan membuka pembicaraan tentang kondisi mental korban. Kalau ada tanda-tanda kecemasan, depresi, dan kecenderungan untuk bunuh diri, maka perlu dirujuk ke rumah sakit atau mitra psikolog. Sebagai pengacara kami bekerja harus mengedepankan empati dan intuisi. Sebab pemulihan korban tidak bisa diselesaikan hanya dengan aspek legal, tapi juga perlu pendekatan holistik yang mencakup komponen psikologis, medis, dan hak-hak korban untuk melanjutkan hidup, semisal kekerasan terjadi di kampus atau tempat kerja, maka kita perlu memastikan kelanjutan kuliah atau pekerjaan si korban.”
Sebagai advokat perempuan, adakah tantangan tertentu dalam perjalanan Anda?
“Jumlah kasus yang amat banyak prosesnya melelahkan secara intelektual dan emosional. Kebanyakan pengacara kami masing-masing punya full-time job di mana mereka meluangkan waktu 4-6 jam setiap harinya untuk KAKG. Maka tantangan pengaturan waktu itu selalu ada namun sebesar apa pun tantangannya, seluruh advokat kami selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk membantu para korban. Kami ingin menjadi orang-orang yang selalu ada untuk mereka. Senang rasanya dapat menjadi teman diskusi dan bisa memakai koneksi yang kami punya untuk membantu korban. Lelah sudah pasti, tapi lebih capek lagi kalau tidak melakukan apa pun. Buat saya, pekerjaan ini merupakan labour of love yang digerakkan oleh rasa cinta dan kasih. Dalam proses dan perjalanannya, kami juga tidak melupakan upaya merawat diri sendiri agar kami punya kemampuan untuk menolong orang lain. Dan paling penting, kami selalu bekerja bersama-sama. Teman-teman pengacara lainnya sangat berdedikasi dan bekerja keras untuk penegakkan keadilan. Iklim yang positif dan relasi suportif itu tidak hanya terjadi antara pengacara dan korban, tetapi juga antarpengacara yang saling mendukung, saling merawat, dan menjaga satu sama lain, yang mana semua itu menjadi akar dari aktivitas kerelawanan.”
Bagaimana menyeimbangkan beban emosional dalam bekerja dengan korban kekerasan sambil mempertahankan semangat dan komitmen untuk mendorong perubahan positif?
“Saya telah sepenuhnya menerima kenyataan bahwa susah sekali menjadi perempuan, bahkan lebih sulit lagi jadi perempuan dari kelompok marginal yang kurang mampu serta punya disabilitas dan kerentanan. Maka setiap merasa capek dan stres, saya sering berpikir tentang kelelahan yang dialami para korban yang mungkin jauh berkali lipat dibanding saya. Sebagai pengacara korban kekerasan, saya dituntut agar mampu mengelola rasa tertekan dan sebab itu saya punya psikolog dan support system yang amat penting keberadaannya. Saya juga menganjurkan anggota tim agar tidak ragu mengambil cuti dan membiasakan diri untuk tidak mengontak rekan kerja yang sedang cuti. Saya sendiri merasa terbantu dengan tata kelola organisasi yang cukup efektif dan saat tugas bisa didelegasi, maka bebannya jadi tidak terlalu berat. Ada pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas yang akhirnya membuat pekerjaan berat ini menjadi sedikit lebih ringan,”
Seperti apa pengaruh kedua orangtua dalam perjalanan Anda?
“Ayah dan ibu dua-duanya berkarier di bidang hukum. Dulu mereka berprofesi sebagai pengacara, sekarang sibuk menjadi notaris. Nama Justitia merupakan lambang Dewi Keadilan yang dikenal sosoknya memegang pedang dan timbangan dengan kedua mata tertutup. Sedangkan Avila artinya berani dan Veda itu bijaksana. Saya sendiri awalnya tidak terlalu tertarik dengan bidang hukum dan ilmu pengetahuan sosial, saya sebenarnya lebih senang pelajaran matematika. Namun saya sebuah nama itu bisa menjadi doa di mana saya tumbuh besar di tengah keluarga yang kesibukannya tidak jauh dari dunia hukum, kedua orangtua juga mengajarkan nilai-nilai keadilan sehingga saya sudah mulai belajar hukum sejak masih kecil. Logika dalam matematika pun akhirnya berguna dalam penyusunan strategi dan penanganan kasus. Ketertarikan pada ilmu hukum sejatinya terjadi secara natural dalam proses saya menjadi dewasa. Dan sekarang rasanya saya tidak bisa membayangkan kalau saya tidak menjadi lawyer. Selain pengaruh besar dari orang tua, saya juga tidak dapat mengabaikan kenyataan betapa nilainilai seperti kebenaran, keadilan, keberanian, dan ketegasan merupakan isu penting yang ikut membentuk perkembangan diri saya. Perhaps in another life, I would still be a lawyer.”
Apa tonggak penting dari visi masa depan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender?
“Sebenarnya saya dan rekan-rekan inginnya Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender itu tidak perlu ada. Tetapi nyatanya saat ini kami harus terus berjuang bahkan mungkin sampai bertahun-tahun kemudian. Ketika suatu hari nanti kami sudah tidak eksis, maka saat itulah kekerasan seksual tidak lagi terjadi di Indonesia. Selama masih ada kekerasan seksual dan masih terdapat ketimpangan gender, maka kami akan terus ada dan berkembang. Sebab buat kami, kunci kesuksesan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender adalah ketika masyarakat sudah tidak lagi memerlukan kami. Kalau kami masih harus kerja keras dan sangat sibuk setiap hari, berarti keadaan Indonesia masih belum baik-baik saja,”
Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat agar dapat mendukung upaya memberikan keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan berbasis gender?
“Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk penyelesaian kasus kekerasan, memberi donasi dan merujuk kasus ke psikolog salah duanya. Namun paling awal sekaligus paling penting adalah hindari bystander effect dengan tidak hanya menjadi pengamat alias orang yang cuma melihat atau memilih untuk diam ketika mengetahui ada kekerasan terjadi. Ada banyak kasus yang sebenarnya bisa ditangani dengan cepat untuk mencegah dampak buruk yang terlalu besar kalau saja orang-orang bystander ini mau untuk bicara. Terlebih lagi jauhi diri dari sikap melindungi pelaku dan tidak perlu menaruh stereotip serta menyalahkan korban. Mulailah untuk tidak bersikap diam ketika kita m ada sesuatu yang tidak beres, membiasakan diri untuk berdiskusi dan berpikiran terbuka, serta memahami bahwa sesungguhnya kekerasan dalam skenario apa pun tetap tidak bisa dibiarkan. That’s the least that we can do.

Mariana YH Opat Perjuangkan Akses Pendidikan Kesehatan Seksual & Reproduksi Bagi Kaum Muda Di Kupang