23 November 2020
Marsha Timothy Mengukir Takdir di Jalur Seni Peran
Ia menepis kemuraman akibat ketidakpastian dengan sikap optimis. Melalui seni peran, Marsha Timothy menafsirkan kontribusi dan dedikasinya sebagai sumber kesenangan dan pertumbuhan diri.
Marsha Timothy bukan satu-satunya orang yang pernah menerima penghargaan di ajang Festival Film Indonesia dan Festival de Cine de Sitges. Namun ia satu dari sedikit contoh pekerja seni Tanah Air yang memiliki kesungguhan dalam dunia seni peran. Keberhasilan Marsha berakar dari usahanya yang sepenuh hati membuktikan kemampuan diri. Di film Marlina, misalnya, Marsha memerankan sosok perempuan yang hidupnya amat berat. Belum lama suaminya meninggal, Marlina didatangi tujuh orang laki-laki yang hendak merampok dan menidurinya. Alih-alih ketakutan dan tak berdaya, perempuan ini tetap tenang namun sukses menghabisi seluruh laki-laki yang ingin mencelakainya. Perannya di Marlina mengantarkan Marsha pada banyak penghargaan dari berbagai festival film dalam dan luar negeri.
Marsha sendiri memulai karier lebih dari 15 tahun silam. Tahun 2002, ia diundang casting dan terpilih menjadi wajah iklan sabun kecantikan. Sejak itu, Marsha kemudian menerima banyak tawaran bermain film. Ekspedisi Madewa (2006) adalah film pertamanya diikuti sederet judul lainnya: Coklat Stroberi (2007), Otomatis Romantis (2008), Pintu Terlarang (2009), Modus Anomali (2012), The Raid 2: Berandal (2014), Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), Kulari Ke Pantai (2018), Bebas (2019), dan Toko Barang Mantan (2020).
Walau tidak pernah direncanakan, nyatanya Marsha Timothy kini mencintai seni peran. “Saya rasa tidak ada pekerjaan selain aktor yang mampu membuat kita merasakan apa yang orang lain rasakan. Profesi ini menuntut kepekaan dan kemampuan untuk menyelami setiap karakter sehingga terasa jujur dan ‘hidup’. Dengan adanya kesempatan untuk menjalani berbagai kehidupan orang lain, rasanya mustahil seorang aktor tidak mencintai profesinya,” tuturnya.
Satu tahun berlalu, pandemi Covid-19 belum juga mengeluarkan sinyal akan berakhir. Masih di tengah pandemi, saya berbincang dengan Marsha Timothy melalui sambungan telepon. Saya memulai obrolan dengan menanyakan kabarnya. Ia jawab, “Saya baik-baik dan syukurnya sehat.” Marsha melanjutkan kalimatnya dengan bercerita bahwa selama masa pandemi ia telah menyelesaikan syuting tiga judul film. Salah satunya masih dirahasiakan. Dua judul lain yakni Noktah Merah Perkawinan dan Asih 2.
“Untuk Asih 2, kami syuting di masa transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pertama ketika waktu itu para pekerja film diperbolehkan melakukan syuting. Sementara pengambilan gambar film Noktah Merah Perkawinan dikerjakan dalam waktu 19 hari di tengah masa PSBB kedua. Dari tahap reading, seluruh kru dan pemain harus melewati rapid test dan swab test. Di lokasi, kami menerapkan jaga jarak dan selalu memakai masker kecuali pemain saat melakukan adegan. Proses komunikasi dan diskusi dilakukan lewat Zoom. Jam kerjanya pun lebih sehat, kami tidak lagi pulang pagi sehingga semua orang bisa cukup beristirahat. Dari pengalaman syuting film di masa pandemi, saya menyaksikan bagaimana situasi kita memang tidak lagi sama. Ada banyak adaptasi di mana kita semua dituntut untuk lebih menjaga kebersihan dan kesehatan,” cerita Marsha.
Asih 2 merupakan film horor pertama Marsha Timothy. Pengalaman baru yang memperkenalkannya pada proses pembuatan film bergenre horor. Disutradarai Rizal Mantovani, film ini turut menampilkan aktor Ario Bayu dan Shareefa Daanish. Marsha turut antusias ketika membicarakan keterlibatannya di film Noktah Merah Perkawinan, karya adaptasi dari sinetron legendaris di tahun ’90-an. “Secara garis besar, tema ceritanya sama dengan sinetronnya. Mengenai drama keluarga dalam suatu pernikahan. Ketika saya baca naskahnya, tanpa pikir lama-lama saya langsung mau terlibat di Noktah Merah Perkawinan, apalagi dulu sinetronnya dimainkan oleh Ayu Azhari dan Cok Simbara yang bagus sekali aktingnya. Di film ini saya beradu peran dengan Oka Antara dan Sheila Dara. Yang juga menarik, Noktah Merah Perkawinan merupakan karya sutradara perempuan muda dan berbakat, Sabrina Rochelle Kalangie,” kata Marsha sambil mengingatkan saya agar tidak lupa menonton filmnya saat nanti tayang di bioskop.
Bicara kecintaan Marsha Timothy dengan seni peran, perempuan ini juga terpikat pada dunia teater. Kali pertama ikut teater, Marsha memerankan Ida Nasution, kawan berdebat Chairil Anwar, di pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil yang dipentaskan November 2017 silam. “Pertama kali main teater karena diajak Happy Salma, pendiri Titimangsa Foundation sekaligus sahabat baik saya. Awalnya ragu karena walau sama-sama seni peran, rasanya teater punya tantangan yang cukup berat. Akhirnya saya mengikuti prosesnya dan ternyata saya dibikin jatuh cinta oleh dunia teater,” kisahnya.
Marsha Timothy menemukan kebaruan dari dunia teater. Belasan tahun akting di layar lebar, ia kembali belajar banyak hal. Tantangan yang baru, proses yang berbeda, dan kesempatan lain untuk mengolah dirinya. “Teater adalah salah satu bentuk seni paling jujur. Tidak ada pengulangan, apalagi editing. Terlebih ketika dihadapkan langsung dengan penonton. Saya merasakan energi yang berbeda yang luar biasa menarik. Namun jangan meminta saya untuk memilih salah satu, sebab film dan teater sama-sama memikat dengan caranya masing-masing. Keduanya bahkan saling memperkaya,” ujar Marsha.
Konon aktor teater tidak sama dengan pemain layar lebar. Namun Happy Salma punya alasan sendiri mengapa memilih Marsha Timothy untuk bermain di pertunjukan teaternya. “Ketika memilih aktor, saya ingin melibatkan orang-orang yang punya kecintaan pada seni peran. Saya melihat kemampuan dan keseriusan Marsha dalam seni peran tidak bisa dilewatkan begitu saja. Ia mau mendengar dan selalu ingin belajar. Marsha punya komitmen dan disiplin tinggi. Dua hal penting yang dibutuhkan dalam proses kerja kreatif,” kata Happy Salma saat saya hubungi melalui pesan singkat.
Dari Perempuan-Perempuan Chairil, Marsha terlibat dalam pementasan teater Bunga Penutup Abad bersama Reza Rahadian dan Chelsea Islan, serta teater musikal Cinta Tak Pernah Sederhana. Kontribusi Marsha tidak berhenti di panggung teater. Ia pun mulai merintis pengalaman di belakang panggung. “Saya tertarik belajar produksi teater. Menurut saya teater Indonesia sangat menarik dan harus dijaga agar tetap lestari di dunia kesenian Indonesia,” katanya. Marsha menjajaki peran sebagai co-producer di pementasan teater musikal Inggit Garnasih yang rencananya dipentaskan 2021 mendatang. “Dari pengalaman saya bekerja sama dengan Marsha, dia mau melakukan apa pun untuk membantu kesuksesan sebuah pementasan teater. Jika ada banyak orang seperti Marsha Timothy, saya yakin di masa depan akan ada banyak aktor berkualitas yang bersemangat untuk ikut melestarikan teater di Indonesia,” ujar Happy melalui pesan singkat yang ia kirimkan.
Di awal pandemi, sama seperti kebanyakan orang, Marsha Timothy turut merasakan kebingungan dan kekhawatiran. Namun ia tak ingin berlama-lama menyiksa diri dengan ketegangan yang melelahkan. “Saya lebih memilih untuk pasrah dan ikhlas. Syukurnya saya baik-baik saja. Banyak waktu di rumah, saya malah jadi lebih sering olahraga,” ujarnya. Bagi Marsha, saat ini waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi, menaikkan kadar syukur, dan meningkatkan empati. “Apa yang terjadi selama beberapa bulan terakhir betul-betul menempa manusia dengan banyak pelajaran. Pandemi ini sebenarnya mengajarkan kita untuk memikirkan orang lain. Kita menjaga kebersihan bukan semata-mata demi diri sendiri, tapi juga karena mempertimbangkan keselamatan orang lain. Ketika memakai masker dan rajin cuci tangan, kita bukan hanya melindungi diri sendiri tapi juga mencegah orang lain jadi sakit akibat kita. Kita dipaksa untuk memikirkan kepentingannya orang lain,” ujar Marsha.
Sekitar 300 tahun silam, filsuf Jerman, Leibniz, mengatakan bahwa kita manusia hidup di dunia terbaik yang mungkin pernah ada. Namun nyatanya berbagai peristiwa mengerikan melawan pernyataan tersebut. Termasuk pandemi yang telah merenggut nyawa sebagian orang dan mengubah hidup banyak manusia. Barangkali memang satu-satunya cara paling logis untuk melihat masa depan adalah dengan berkeyakinan baik. Hal-hal yang terjadi, termasuk pukulan takdir yang menyakitkan, mungkin memang harus kita terima dengan bijak dan tenang. Pemikiran ini disepakati Marsha Timothy. Berbulan-bulan pandemi dengan segala konsekuensinya menempa kehidupan, perempuan kelahiran 1979 ini tetap memelihara optimismenya. “Masa depan memang selalu tidak pasti. Karena itu kita bersemangat tapi juga waswas. Namun tidak ada pilihan selain tetap berkeyakinan bahwa hidup akan baik-baik saja. Hanya sikap optimis yang bisa menguatkan kita pada situasi apa pun yang mungkin terjadi di masa depan,” pungkas Marsha.
photography AGUS SANTOSO YANG styling SIDKY MUHAMADSYAH makeup PRISCILLA RASJID hair ARNOLD DOMINGGUS location GRAN MAHAKAM HOTEL