LIFE

26 Desember 2022

Maxime Bouttier Mengamini Etos Konsistensi dalam Semangat Berkarya


PHOTOGRAPHY BY Ryan Tandya

Maxime Bouttier Mengamini Etos Konsistensi dalam Semangat Berkarya

styling Ismelya Muntu; grooming Ryan Ogilvy; assistant grooming Jimmy Panai; hair Ichana

Sosok musisi sekaligus aktor generasi muda yang mengamini etos konsistensi dalam semangat berkarya. 


Ketika membuka album lama, melihat foto-foto kecil diri saya, narasi film-film yang berpengaruh semasa remaja bermunculan di kepala. Misalnya, Clueless (1995), Romeo + Juliet (1996), dan tentu saja 10 Things I Hate About You (1999). Di Indonesia, tatkala sinema di era 1950-an mengalami krisis, Usmar Ismail, yang sering disebut sebagai bapak perfilman Indonesia, menggarap film remaja berjudul Tiga Dara (1957). Film ini dimainkan oleh tiga bintang remaja kala itu, yakni Citra Dewi, Mieke Wijaya, dan Indriati Iskak. Tiga Dara menjelma box office dan ketiga bintangnya melejit namanya, mendorong lahirnya film-film remaja selanjutnya termasuk Ada Apa dengan Cinta, Eiffel I’m in Love, Dilan, dan sebagainya. Genre film dan sinetron drama remaja menjadi salah satu pangsa pasar terbesar di industrinya. Bahkan kerap menjadi salah satu potensi untuk memecah krisis dan mendorong kebangkitan pasar. Menyaksikan film remaja juga membuat kita menemukan formula klasik yakni adegan melodrama disertai larik-larik indah. Meski berbeda di setiap zamannya, film remaja mencangkok unsur-unsur budaya populer, baik unsur musik, gaya hidup, hingga konsisten melahirkan potret ketampanan dan kecantikan yang diidolakan. Salah satu figur pemain, aktor generasi muda Indonesia yang mengawali perjalanannya dalam seni peran dari genre drama remaja adalah Maxime Bouttier. 

Perjalanan karier Maxime dimulai sejak usia 15 tahun. Ia menjajaki modeling untuk berbagai fashion brand lokal kemudian memasuki sebuah manajemen di Bali. “Sambil mengisi waktu luang di luar jam sekolah, bayarannya juga lumayan untuk menambah uang saku,” ujar Maxime. Seseorang di bagian manajemen kemudian mengajak Maxime pergi ke Jakarta untuk mengikuti proses casting sinetron. Ia pun merasa tak ada salahnya mencoba pengalaman baru yang mungkin bisa jadi kesenangan terbaru. Pada 2011, Maxime mulai bermain dalam sebuah sinetron berjudul Nada Cinta dan beradu peran dengan Mikha Tambayong, Dewi Sandra, Luna Maya, serta Randy Pangalila. Ia menjajal seni peran lewat sebuah peran kecil dalam sinetron berjumlah 244 episode. Maxime yang saat itu belum cukup fasih berbahasa Indonesia menemukan tantangan besar ketika harus menghapal dialog yang isinya dominan dengan Bahasa Indonesia.


“Tumbuh besar di daerah Bali dan terbiasa sehari-hari berbahasa Inggris, maka susah sekali buat saya membawakan karakter dengan naskah berbahasa Indonesia. Namun saya merasa tertantang untuk membaca skrip dengan baik dan benar lalu memasukkannya menjadi dialog yang mengalir dalam setiap adegan. Kesulitan itu yang akhirnya bikin saya awalnya tidak bisa menikmati akting, terlebih saya memang tidak pernah bercita-cita menjadi aktor. Saya memang sangat suka menonton film, dulu bisa nonton 5 sampai 6 judul film dalam sehari. Apalagi film-filmnya sutradara Christopher Nolan, Jackie Chan, dan Steven Spielberg. Namun sama sekali tak pernah terpikir untuk masuk dunia keaktoran. Saya malah sempat mau mundur dan ingin kembali fokus bermusik, sampai seorang teman meyakinkan saya saat saya diajak berperan di sinetron berikutnya, Arti Sahabat. Saya memutuskan untuk mau mencoba lagi tetapi memilih hanya ingin peran-peran kecil yang tidak terlalu menonjol karena saya butuh waktu untuk belajar. Kala itu saya berpikir, kalau memang kelak saya akan sepenuhnya bekerja sebagai aktor, maka saya harus bersungguh-sungguh menjadi aktor yang baik. Sebab itu, saya ingin menjalani prosesnya selangkah demi selangkah. Saya tidak ingin tiba-tiba muncul jadi bintang utama, mengagetkan banyak orang, lalu bikin mereka bertanya-tanya dan meragukan kemampuan saya. Maka sejak itu saya serius belajar mengulik karakter, mendalami emosi, menjiwai peran, dan sebagainya. Setelah melewati tahun demi tahun, saya bersyukur akhirnya bisa menemukan kesenangan tersendiri saat bermain peran dan kini merasa bangga bisa ikut ambil bagian dari industri perfilman,” cerita Maxime.

Usai berperan dalam sejumlah sinetron, Maxime memasuki kancah perfilman dengan menjadi supporting role dalam film 18++ Forever Love yang juga dibintangi Adipati Dolken dan Roy Marten. Kiprahnya di dunia seni peran terus bergulir diikuti berbagai judul film lainnya, termasuk di antaranya, Refrain dan One Fine Day

Dalam film One Fine Day, kendati cuma side story, Maxime Bouttier memerankan tokoh Danu dengan sungguh-sungguh seolah kisahnya yang jadi cerita utama. Keangkuhan Danu dan perilaku kasarnya bikin penonton ikut geram. Bahkan di beberapa adegan, Maxime berhasil membawa suasana ‘gelap’ menyaksikan hubungan toksik antara ia dan kekasihnya. Meskipun bermain sebagai supporting role, rasanya sulit untuk menganggap penampilan Maxime di One Fine Day sebagai angin lalu bahkan apabila diperhatikan luapan emosinya di beberapa dialog, rasanya kita bisa sepakat bahwa Maxime Bouttier menyimpan karisma dan bakat yang sangat mungkin akan menjadikannya sebagai salah satu aktor terbaik di Indonesia.


Salah satu film drama Indonesia berjudul Refrain juga berhasil ditaklukkan Maxime Bouttier. Beradu akting bersama Afgansyah Reza dan Maudy Ayunda, Maxime berperan sebagai Oliver seorang kapten basket tampan yang memikat hati Maudy Ayunda. Meskipun seolah invisible, likely to be forgotten, tapi kalau disimak lagi, rasanya kita dapat menyadari Maxime punya daya tarik unik yang membuat penampilannya menjadi salah satu highlight di film ini. 

Selanjutnya, Maxime juga pernah bermain dalam film horor berjudul Kain Kafan Hitam. Yang menarik, keterlibatannya di film tersebut tak hanya sebagai pemain tapi juga menjadi asisten sutradara bersama sutradara Yudhistira Bayuadji. “Selama beberapa hari, saya bertugas mengarahkan para pemain agar menyatu sempurna di lapangan. Ternyata lelahnya tiga kali lipat dibanding menjadi pemain karena harus mengarahkan setiap adegan para pemain, mengawasi proses-proses berikutnya setelah syuting, sekaligus juga memainkan salah satu karakter. Pengalaman yang membuat saya bekerja ekstra keras, harus datang paling awal dan pulang setelah semua urusan benar-benar selesai. Beruntung saya bekerja sama dengan sutradara dan pemain yang profesional sehingga merasa dibantu sekali dalam menjalankan tugas sebagai asisten sutradara,” cerita Maxime. 


Bagi sebagian besar orang, Ticket to Paradise merupakan sebuah terobosan dalam perjalanan keaktoran Maxime Bouttier, terutama karena ia beradu akting dengan lawan main yang sudah jauh memiliki jam terbang kelewat tinggi bila dibandingkan dengan dirinya. Di film tersebut, Maxime membuktikan bahwa ia sanggup bersinar dengan segala scene lewat karakter sebagai Gede, laki-laki asal Bali yang punya misi untuk menyatukan Julia Roberts dan George Clooney. Maxime Bouttier menemui saya dan rekan-rekan di ELLE satu hari setelah ia kembali dari Los Angeles usai menghadiri rangkaian acara promosi film Ticket to Paradise. Alih-alih datang terlambat dan mengantuk lemas karena jetlag, Maxime hadir tepat waktu dan terlihat segar dengan pakaian kasual; celana denim dan kaus. Dengan senang hati saya menunggu laki-laki kelahiran 1993 ini siap diwawancara sambil mendengarkan lagu-lagu Arctic Monkeys dan Muse, dua grup musik kesukaannya, yang diputar selama Maxime menyelesaikan pemotretan. Film Ticket to Paradise masih ditayangkan di bioskop dan hangat diperbincangkan saat saya bertemu dengan Maxime. Maka sehabis mengucapkan selamat atas keberhasilannya menapaki panggung film internasional, saya bertanya seperti apa proses keikutsertaan Maxime. Benarkah keterlibatannya semata-mata dilandaskan pada keberuntungan?

Maxime bercerita, manajernya memberi kabar bahwa ada open audition untuk sebuah peran di film terbaru dua aktor legendaris Hollywood. Film bergenre romantic comedy yang menceritakan kisah cinta di Pulau Dewata. Meski demikian, syuting film Ticket to Paradise tidak benar-benar dilakukan di Bali sebab proses produksi digelar di tengah pandemi sehingga pada saat itu sulit mendapat izin syuting. Maxime pun mengikuti serangkaian proses audisi. Namun usai mengirim video untuk self-tape audition dan mengikuti casting lewat Zoom, ia jatuh sakit. Usai menceritakan pengalaman pertama terkena Covid-19, Maxime mengisahkan bagaimana akhirnya ia berhasil terlibat dalam film dengan bujet 60 juta USD tersebut.

“Saat itu saya berpikir saya sudah pasti gagal dan tidak mungkin berhasil mendapat peran. Namun saya memberanikan diri untuk menelepon pihak produksi film dan meminta kesempatan kedua untuk kembali mengikuti seleksi. Berbagai tahapan proses dijalani, sampai akhirnya dinyatakan lolos casting dan diterbangkan ke Australia untuk mulai syuting. Menyenangkan sekali sekaligus menjadi pengalaman penuh kesan karena sempat menjalankan beberapa dialog yang cukup lebar dengan George Clooney. Saya bersyukur bertahun-tahun pernah bermain sinetron dan film sehingga bisa cukup tenang ketika harus menghadapi nama-nama besar sebagai lawan main. Rasanya saya bisa memahami apabila sebagian orang kurang senang menonton sinetron, namun pengalaman bermain sinetron nyatanya turut menyumbang hal-hal baik dalam perjalanan karier saya. Dalam jam kerja yang berlarut-larut, kami dituntut secepat mungkin menghapal dialog dan menjiwai sebuah karakter. Produksi sinetron juga bergerak dalam sistem yang mirip dengan cara kerja sebuah mesin. Semua harus tepat waktu karena satu hal yang terlambat bisa berdampak besar pada aspek-aspek lainnya. Bertahun-tahun dunia sinetron menempa diri saya lewat berbagai tantangan yang pada akhirnya bikin saya belajar banyak dan bisa sanggup menghadapi tekanan.”


Sosok aktor generasi muda yang tumbuh besar di Pulau Bali. Maxime Bouttier lahir di Paris, Prancis. Anak sulung dengan satu orang adik perempuan. Ayahnya orang Prancis yang berprofesi sebagai chef, sedangkan ibunya asli orang Indonesia. Maxime sempat tinggal di Jakarta dan Banjarmasin karena mengikuti aktivitas pekerjaan ayahnya, sampai akhirnya ia bermukim di Pulau Bali dan bersekolah di daerah tersebut. Di samping menggeluti seni peran, Maxime memiliki hobi bermusik yang dilakoninya sejak usia 15 tahun. Sempat beberapa kali membentuk band bersama teman-temannya, kini Maxime membangun kelompok musik dengan nama Mercury Retrograde dan tengah bersiap membuat album musik, sambil menyambut perilisan serial terbarunya, Mr. Midnight, yang ditayangkan di Netflix pada akhir November 2022 silam.

“Saya berusaha menyeimbangkan antara kegemaran bermain peran dan kesenangan pada dunia musik karena keduanya bikin saya merasa ‘hidup’. Ketika bermusik, saya dapat mengekspresikan apa yang ada di hati dan pikiran saya. Sebuah dunia penuh kebebasan untuk bersuara dan berpendapat. Sedangkan dunia seni peran menambahkan ‘lapisan-lapisan’ ke dalam diri saya sebagai manusia. Saya belajar banyak dari beragam karakter yang dimainkan dan senang sekali selama ini bisa berkesempatan mencoba banyak peran. I’m not gonna lie, awalnya menerima peran karena faktor bujet yang ditawarkan tapi seiring berjalannya waktu, saya mengambil sebuah tawaran apabila kesempatan itu bisa berpotensi membuat saya jadi lebih baik lagi. Saya menginginkan keberagaman karakter dan berharap kemampuan saya dalam seni peran bisa berkembang dari hari ke hari. Saya juga bercita-cita dapat bekerja sama dengan sineas-sineas andal yang bisa bikin saya terus belajar di dunia keaktoran. I need to keep growing up, dan agar bisa bertumbuh saya harus berani menyambut peluang dan menerima tantangan dengan sukacita,” tutup Maxime Bouttier.