LIFE

8 Maret 2022

Menilik Filosofi dan Gagasan Spiritualitas Christine Ay Tjoe


Menilik Filosofi dan Gagasan Spiritualitas Christine Ay Tjoe

Christine Ay Tjoe mengeksplorasi dualitas kehidupan manusia melalui narasi imajiner dengan menyampaikan pengalaman batin dan menyuguhkan konflik antara terang dan gelap yang simbolis sekaligus emosional.

Seniwati kontemporer Indonesia yang mengangkat tema filosofi dan spiritualitas. Christine Ay Tjoe memfokuskan karyanya pada kondisi manusia yang disaring melalui pengalaman subjektifnya sendiri. Meskipun secara visual menggoda, karya ekspresifnya mengulas sisi kelam dan mencoba untuk terhubung dengan emosi manusia yang terkuat sekaligus mendalam. Dalam lukisan abstraknya yang dramatis dan berlapis,
Ay Tjoe menyelidiki dorongan dan kondisi universal yang kita alami, seperti keserakahan, kesedihan, kemarahan, ketakutan, dan kegembiraan. Figur hewan dan bagian tubuh manusia sering kali muncul berserakan di atas kanvas yang selaras dengan keyakinan Ay Tjoe bahwa setiap manusia memiliki dua sisi—baik dan buruk. Selain menaruh minat yang besar pada manusia, ia juga memiliki kejelian dalam melihat isu global yang tengah berlangsung; hiperrealitas, kepadatan manusia, arus informasi, serta hasrat manusia yang tak terkendalikan. Secara keseluruhan, karya-karya Ay Tjoe adalah representasi psike manusia.

Tahun 1997, Christine Ay Tjoe menyelesaikan studi seni grafis di Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Tahun 2004, ia menerima beasiswa di Stiftung Kuenstlerdorf, Schoeppingen, Jerman. Kemudian pada 2008, Ay Tjoe mengikuti residensi di STPI, Singapura. Karyanya mulai dipamerkan tahun 1999 dalam pameran bertajuk Biasahaja’99, Graphic Art Exhibition di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Dan di tahun 2001, karya Ay Tjoe dipamerkan di luar negeri untuk pertama kalinya di Art Singapore, Singapura. Pada tahun yang sama, ia mengadakan pameran tunggal untuk pertama kalinya dengan judul Buka Untuk Melihat di Redpoint Gallery, Bandung.

Karya-karya Ay Tjoe umumnya identik akan berbagai bentuk garis dengan objek-objek figuratif dalam abstraksi yang intens. Sebagian besar area kanvas dibiarkan kosong seakan-akan objek lukisannya muncul secara sporadis. Titik awal lukisannya bisa spontan dan terletak di satu garis. Teknik brushstroke-nya juga tak segan-segan bermain dalam transisi yang kasar ke halus, serta kacau ke harmonis. Ia menyeimbangkan ruang positif dan negatif, kepadatan dan fluiditas, serta warna dan nada, yang diperolehnya melalui berbagai tekanan tangan dan teknik melukis. Ay Tjoe menciptakan gerakan yang kuat di seluruh kanvas seolah-olah komposisinya didorong oleh gaya sentrifugal dengan urgensi tubuhnya sendiri. Kedalaman sapuan kuas dan warna yang sebagian terhapus menunjukkan kondisi kekacauan di mana keindahan berubah menjadi ketidakharmonisan.

Ay Tjoe adalah seniwati Indonesia yang mampu menembus lanskap seni internasional. Karya-karyanya kerap menempati harga tertinggi di berbagai pusat lelang, seperti Christie’s dan Sotheby’s Hong Kong. Karya-karya Christine Ay Tjoe telah dipamerkan di seluruh Asia, termasuk Spiritual and Allegory (2018) yang digelar di 21st Century Museum of Contemporary Art, Kanazawa, Jepang. Ay Tjoe juga pernah tampil dalam pameran kelompok internasional, antara lain Asia Society Triennial, New York (2020); Royal Academy, London (2017); National Taiwan Museum
of Fine Arts, Taichung, Taiwan (2012); Singapore Art Museum, Singapura (2012); Fondazione Claudio Buziol, Venesia (2011); Saatchi Gallery, London (2011); Shanghai Contemporary (2010); Galeri Nasional, Jakarta (2009); Johnson Museum Cornell University Universitas Cornell, New York (2005); dan Beijing International Art Biennale 2003 di China National Museum of Fine Art, Beijing, China (2003).

Christine Ay Tjoe ELLE Women Elle Indonesia March 2022
photography Wowo Wahono

Anda terkenal sebagai pelopor karya berteknik dry point. Membuat garis sapuan dengan menggunakan jarum pada pelat tembaga, Mengapa Anda memilih proses kreatif dengan teknik yang banyak menuntut kepekaan dan stamina?

“Menggambar adalah bagian sangat penting dari proses artistik yang saya tekuni. Buat saya, melukis di atas kanvas tidak berbeda dengan aktivitas menggambar, termasuk dengan teknik dry point. Saya memakai oil bar sebagai medium dan menggunakannya dengan cara yang sama seperti saat saya memakai pensil, krayon, atau jarum baja dalam teknik dry point. Betul bahwa dikatakan kerja artistik seperti ini menuntut stamina karena jarum baja, yang saya pergunakan sebagai pensil, memiliki bobot yang cukup berat sekaligus keras. Jika saya ingin membuat garis yang halus ataupun tebal, maka saya harus mengatur tekanan. Ada kemiripan dengan pensil. Ketika Anda menggambar dengan pensil, Anda bisa membuat garis tipis atau tebal dengan berbagai bentuk tekanan dan sapuan. Dan saya senang bereksplorasi dengan teknik seperti ini.”

Di pameran tunggal “The Black Side”, Anda menggali kompleksitas hubungan antarmanusia dan mengambarkan sisi brutal dari emosi manusia. Sapuan warna hitam dominan dan warna-warna gelap mengisyaratkan pandangan Anda yang cenderung “suram” terhadap masyarakat kontemporer. Termasuk pada karya Freezing (2017), Anda mengungkapkan ketidakberdayaan dalam menghadapi kekuatan yang luar biasa. Rasanya penggunaan ruang negatif menjadi ciri khas lukisan Anda. Mengapa demikian?

“Buat saya, melukis adalah sebuah aktivitas yang menyimpan kejutan. Setiap kanvas memunculkan pengalaman dan potensi yang berbeda-beda. Dan keseharian kita sebagai manusia tentu tidak bisa lepas dari wilayah seni. Termasuk pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan relasi sosial. Kita tentu setuju bahwa manusia memiliki keunikannya masing-masing. Maka ketika saya berkarya, saya berusaha menyesuaikan dengan sisi manusia yang beragam tersebut. Manusia ada yang sifatnya keras, kasar, halus, lembut, baik, dan buruk. Jadi penting juga buat saya untuk bertanya pada diri sendiri, apa yang hendak saya lakukan dengan orang yang sifatnya seperti itu? Dan dalam hidup, kita tentu tidak jarang bertemu dengan orang-orang yang hidupnya bermasalah. Melihat kompleksitas problem orang lain pada akhirnya memungkinkan saya untuk memandang masalah diri sendiri. Mengenai cara saya dalam menggunakan emosi negatif, kembali pada keyakinan saya bahwa setiap orang mempunyai sisi ‘gelap’. Meskipun manusia berusaha menjadi orang baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap orang bisa berpotensi memiliki perilaku yang berlawanan dengan sifat baik.”

Sejauh mana kondisi mental dan situasi emosi memengaruhi proses Anda berkarya?

“Biasanya ada kesinambungan antara karya yang satu dengan karya-karya berikutnya. Dari apa yang telah saya kerjakan, saya sering kali memikirkan apa yang ingin saya tumbuh dan kembangkan dari karya tersebut untuk saya bawa ke karya-karya berikutnya. Bicara soal emosi dan perasaan, sering kali datangnya tanpa direncanakan. Tiba-tiba saja hadir bentuk-bentuk emosi yang bukan mustahil dipicu oleh kejadian atau ingatan tertentu. Kalau sedang dalam kondisi kurang baik, mungkin saya lelah atau marah dan sedih, maka saya berusaha membenahi segala sesuatunya sampai saya siap menemui kanvas saya. Tapi tidak jarang juga saya akhirnya mengolah emosi yang sedang buruk itu menjadi amunisi yang mengalir dalam proses berkarya.”

Anda kemudian menanggapi kegelapan dengan optimisme. Anda merekam dan merespons kompleksitas dan sentimental manusia ke dalam karya The Dark Could Existed Only Two Second”. Sebagai seniwati, bagaimana Anda memandang makna sebuah harapan?

“Selain warna-warna gelap, saya juga menggunakan warna terang. Jadi bukan sekadar mengeluarkan emosi tanpa ada penyelesaian. Saya ingin menyiratkan pesan bahwa segelap apa pun hidup kita, selalu ada harapan di balik keputusasaan. Namun bukan dengan menghilangkan emosi apalagi mengabaikannya, tapi mengendalikan apa yang ada di dalam diri agar tidak melukai orang lain dan tidak menghancurkan diri sendiri. Lewat karya seni, saya berharap kita bisa mengenali dan mengontrol emosi dalam diri kita masing-masing. Saya sendiri berkomitmen untuk membuat karya yang berguna, paling tidak untuk diri saya sendiri. Karya-karya saya harus memiliki sisi positif dan nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya. Terang atau gelap, baik atau buruk, adalah sebuah diskursus yang patut dibicarakan agar manusia lebih memahami dirinya sendiri dan mengetahui apa-apa yang mesti dilakukan agar kita menjadi manusia yang seutuhnya.”

Karya tersebut menjadi salah satu karya termahal Anda yang terjual seharga HK$1.500.000 di balai lelang Christie’s Hong Kong. Fenomena “superstar economics” turut melanda dunia seni, dan Anda menjadi salah satu seniwati yang mendominasi sales value di pasar seni Indonesia. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?

“Bisa sedemikian tinggi barangkali karena di balai lelang. Tapi di acara-acara pameran, saya selalu menjaga harga agar tidak naik atau turun drastis. Namun saya tidak pernah melihat nilai dan harga menjadi sesuatu yang perlu dilebih-lebihkan. Sebab sampai detik ini, yang sangat menarik dari profesi ini adalah proses kreatifnya. Saya justru melihat bahwa diapresiasi sebaik itu oleh orang lain berarti saya harus bekerja lebih keras
agar tetap konsisten dengan kualitas karya-karya berikutnya. Jangan sampai persoalan nilai dan harga mengganggu proses kerja dan kreativitas kita. Barangkali atas alasan itu pula saya cukup membatasi hubungan saya dengan banyak orang. Predikat ‘seniman mahal’ itu akan lebih menganggu jika kita mendengar komentar orang-orang di luar. Dan saya tidak ingin tanggapan dan respons orang lain mengganggu proses berkesenian saya.”

Saya merasa ketika seorang perempuan melahirkan, maka yang merayakan kelahiran bukan hanya si anak tapi ibunya pun menjadi seseorang yang baru dengan status seorang ibu. Selain menjadi seniwati, Anda juga memiliki anak laki-laki. Bagaimana pengaruh hal tersebut terhadap perjalanan berkesenian Anda?

“Awal saya menjadi ibu, rasanya cukup berat dan sangat sulit. Saya pun melakukan adaptasi dan mempelajari banyak hal seiring saya melakoni peran sebagai ibu. Salah satunya adalah saya berusaha agar anak tidak merasa kesulitan berhadapan dengan kehidupan kita orang dewasa yang cenderung lebih rumit. Dengan banyak penyesuaian, saya berusaha agar tetap bisa melakukan kegiatan berkesenian serta mengejar cita-cita dan mimpi saya sendiri, tanpa mengabaikan tanggung jawab saya sebagai orangtua. Atas alasan tersebut, saya mungkin juga terkenal sebagai seorang seniwati yang jarang menghadiri acara seni. Termasuk tidak menampilkan diri secara aktif di media sosial. Sebab sebagai perempuan yang bekerja sekaligus memiliki anak, saya mesti memangkas segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk mengusik prioritas saya terhadap keluarga dan pekerjaan.”