LIFE

26 Mei 2023

Menyelam Ke Dalam Brutalisme Narasi Artistik Timo Tjahjanto


PHOTOGRAPHY BY Zaky Akbar

Menyelam Ke Dalam Brutalisme Narasi Artistik Timo Tjahjanto

styling by Ismelya Muntu; fashion Zegna (knitwear, blazer & celana); grooming Acha Pramono

Semesta sinematik Timo Tjahjanto lekat dipandang kelam dan brutal. Namun di filmnya yang terakhir rilis, The Big 4, sutradara sekaligus penulis skenario ini menyuratkan komedi gamblang dan drama kekeluargaan; seakan-akan ia memulai era baru narasi artistiknya.


Timo Tjahjanto mengaku memiliki kecemasan sejak kecil. Di usia tujuh tahun, manakala seorang diri di rumah, dalam benaknya berpikiran bilamana seorang pencuri menyelinap masuk dan membunuhnya. Ia tidak begitu yakin dari mana kegelisahannya berakar. Ia tidak pernah—dan semoga saja tidak akan pernah—benar-benar melalui pengalaman mengerikan tersebut. Ia tidak memiliki riwayat trauma tropisme yang menyebabkan paranoia, tatkala saya menanyakannya. Namun begitulah adanya laki-laki kelahiran tahun 1980 ini memandang dunia— baik dari pemberitaan media atau mengobservasi lingkungan sekitarnya—penuh kekacauan, terselubung kekerasan, dan terkadang bisa menjadi begitu bengis. Sisi lain kehidupan yang gelap itu membuat Timo muda semata-mata pesimis akan realitas dunia tempatnya berpijak.

“Barangkali level anxiety dalam diri saya tumbuh oleh karena pengaruh krisis cultural identity yang saya rasakan,” katanya saat kami duduk bersama usai sesi pemotretannya bersama ELLE. Timo Tjahjanto lahir di Jerman. Selain Indonesia, di mana ia menghabiskan masa kanak-kanak, remaja, hingga kini menjadi tempat tinggal resminya; ia sempat mengecap kehidupan di Australia, dan New York, Amerika Serikat, manakala menempuh studi seni film. Konon menjejaki kehidupan di banyak negara mampu memperkaya identitas etnik seseorang. Namun di saat bersamaan dapat membuat seseorang merasa selayaknya alien—sebagaimana dirasakan Timo. “Semua tempat terasa seperti teritori asing,” ujarnya. Diselimuti kecemasan eksistensial membuat anak tengah dari tiga bersaudara ini tumbuh besar menjadi sosok pemikir, yang cenderung terlalu memikirkan segala hal. “When something bad happen, my whole life usually revolved around that bad thing,” katanya. Entah mengalami langsung atau sekadar menonton suatu peristiwa buruk terjadi di televisi, impaknya diakui Timo mampu beriak cukup lama pada psikologisnya. Efeknya? “Sangat gampang untuk saya masuk ke dark space,” ia berujar seraya menjentik jarinya.

fashion Zegna (blazer dan sweter).

Adalah kegelisahan yang sama—pesimistis dan habit memikirkan sesuatu secara berlebihan—yang menumbuhkan naluri artistik Timo dewasa dalam memanifestasi brutalisme sebagai paras sinematik. Kemunculan Timo Tjahjanto di ranah sinema Indonesia ditandai oleh sebuah film pendek berjudul Dara, proyek kolaboratifnya bersama Kimo Stamboel (sutradara, penulis skenario, serta produser asal Indonesia yang bersahabat dengan Timo kala keduanya berkuliah di Australia) di bawah alias The Mo Brothers. Dara menarasikan seorang jagal yang menghidangkan daging manusia sebagai menu utama kedainya. Karya yang rilis perdana pada 2007 itu tampil dalam omnibus Takut: Faces of Fear (rilisan 2008), dan menuai respons positif dari publik sinema. Genre slasher berbumbu dark comedy yang dibesut The Mo Brothers dipandang menyuntikkan darah segar bagi ranah perfilman horor Indonesia. Reputasi itu tak pelak mencuatkan nama The Mo Brothers (baik sebagai kesatuan maupun perorangan) ke dalam radar sinema Tanah Air. Disusul debut film panjangnya, Rumah Dara (2009), dan judul lain meliputi Killers (2014), serta Headshot (2016) yang berbuah nominasi Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2016.

I’m a late bloomer of filmmaking, you know,” ujar Timo mengenang kisah awal perjalanannya menekuni seni film. “Saya dibesarkan oleh generasi yang kebanyakan orang di zamannya kurang familier dengan pekerjaan bidang kreatif, termasuk filmmaker. Dan keluarga saya cukup konservatif tradisionalis kalau soal karier. Jadi, keinginan saya untuk belajar seni sempat ditentang keras,” cerita laki-laki berdarah keturunan Jawa Timur dan Tionghoa itu. Sejatinya ini adalah persoalan sudut pandang generasi, yang dipengaruhi oleh perkembangan kondisi sosial pada masing- masing angkatan zamannya. Timo mengerti betul perihal tersebut. Terlebih, ketika ia menyuarakan hasrat menggeluti seni film, industri perfilman di Indonesia baru mulai bernapas kembali usai sekian lama mati suri. Tentu saja sineas sulit menjadi profesi ideal pilihan setiap orangtua bagi masa depan anaknya kala itu, tidak terkecuali orangtua Timo.

fashion Marks & Spencer (sweter).

Setelah silih berganti mencicip alternatif hidup arahan orangtua, mencoba akademis kedokteran sebagaimana bapaknya, psikologi, hingga desain produk; Timo akhirnya mendapat lampu hijau untuk menempuh studi film di usia 22 tahun. Namanya terdaftar sebagai mahasiswa di Sydney University. Gairahnya berkarya kian meletup. Begitu kencangnya sampai mendorong langkah ia, yang baru beberapa tahun duduk di bangku perkuliahan, tidak sabar memetik pengalaman di lapangan. “I would say... my educational history has a little to do with what I’m doing now,” Timo menggurat senyum tipis sebelum melanjutkan, “Buat saya pribadi, pelajaran terbaik adalah praktik langsung di lapangan.” Timo kembali ke Indonesia, dan segera mencari jalan. Ia berangkat dari menjadi kru behind-the-scenes hingga menggarap storyboard untuk iklan komersial. Lalu di usianya yang ke 26 tahun, yang menurutnya sudah kelewat matang sebagai start, ia merealisasi impiannya menyutradarai film pertamanya (Dara).

Tidakkah kita semua menyetujui petuah bijak yang berkata lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Dalam lebih dari 15 tahun terakhir, sejak Dara, karya- karya besutan Timo Tjahjanto kerap hadir memekikkan jagat sinema Indonesia. Setiap narasinya dibalut visual yang menyulut keresahan, yang dengan cara tertentu turut menggelitik sensasi penghiburan. Di luar The Mo Brothers, Timo beberapa kali bergerak mandiri menggarap segmen film pendek untuk sejumlah karya antologi. Walau begitu, baru ketika ia merilis Sebelum Iblis Menjemput dan The Night Comes for Us pada 2018 silam, independensinya benar-benar mengaum. Dua karya tersebut mengantarkan Piala Maya ke tangannya—sebagai Sutradara Terpilih atas Sebelum Iblis Menjemput serta kategori Film Indonesia di Platform Internasional untuk The Night Comes for Us— dan mengukuhkan nama Timo Tjahjanto sebagai brand yang solid.

fashion Marks & Spencer (sweter).

Acap kali mendengar nama Timo Tjahjanto; publik, penonton atau investor, secara instan menetapkan ekspekstasi terhadap apa yang bakal mereka dapat dalam penghiburannya. “Selama mereka tidak menuntut saya untuk kembali melakukan pengulangan hal yang sama, it didn’t bother me,” katanya. Untuk sebuah kreativitas ditempatkan dalam satu boks sama halnya ketakberdayaan; mimpi buruk yang tak didamba oleh Timo. “Pasti ada momen di mana saya berseru, ‘please somebody give me a comedy or drama’,” ujarnya dengan kedua tangan melayang ke udara sebelum kemudian lanjut bicara, “Siapa pun pasti akan merasakan burnout kalau mengerjakan hal yang sama berturut-turut.”

Timo enggan menunggu sampai ia mengalami burnout. Sebagai seniman, ia ingin bisa bilang bahwa, “Tidak ada batasan ketika bicara tentang storytelling dan membuatnya menjadi sebuah film.” Atau pun berharap dalam diam akan datangnya hari di mana seseorang menantangnya menggarap genre di luar zona nyaman. Maka, ia menciptakan kebaruannya sendiri dengan merilis The Big 4 pada Desember 2022 silam. Pengadeganan brutal sarat visual kekerasan masih menjadi tajuk narasi Timo. Namun yang membuat film ini berbeda dari karya Timo sebelumnya adalah komedi lugas alih-alih dark, serta elemen drama kekeluargaan yang turut mengemas plotnya. “Sebenarnya, dari dulu film- film favorit saya kebanyakan berorientasi pada tema-tema drama; drama keluarga, drama sosial, atau yang mengangkat discovering identity,” ungkapnya.

Tunggu sebentar. Pernyataannya sedikit di luar antisipasi saya. Tapi ia tidak sedang asal bergurau.

fashion Marks & Spencer (sweter).

Timo lalu bercerita tentang salah satu film yang mengawali cita-citanya menjadi sineas. “Saat berusia 17 atau 18 tahun, saya menonton salah satu film Akira Kurosawa yang berjudul Red Beard (1965); and it moves me to tears! Lewat film, Kurosawa menunjukkan bagaimana humanity mampu hidup di tengah kekacauan. Dari situ, saya berpikir, this is what I meant to be,” kenangnya. Anda betul-betul meneteskan air mata? saya memotongnya sejenak penasaran. “I did! Gue tuh gampang nangis kalau nonton film. Hahaha,” responsnya, membuat mata saya kian membelalak manakala mengungkap sisi lain seorang Timo Tjahjanto yang—kesan pertamanya kerap dipandang kaku, galak, serta mengintimidasi—rupanya jauh dari gambaran sadis film-filmnya. Ia tertawa, “Percayalah, saya terlalu lelah untuk menjadi serumit film saya. Tapi saya bisa maklum kenapa banyak orang menaruh kesan demikian.”

Jika ia pribadi sangat mengagumi tema drama, lantas apa yang membuatnya tertarik mengeksplorasi kekerasan dan sadistis dalam sinematiknya? “Karena violence film sangat menyenangkan,” alasannya sederhana. Ia memperpanjang penjelasannya, “I think the perfect film is... it’s awaken something that you don’t familiar with that senses.” Perasaan tidak familiar itu baginya termasuk rasa tidak nyaman. “When it comes to violence filmI see it as cathartic experience. Itu yang berusaha saya tawarkan kepada setiap audiens. Kalau untuk mencapainya berarti perlu memperlihatkan adegan-adegan yang bikin mata sakit, then I’ll do it, demi memberikan penghiburan secara utuh,” ujarnya.

Kembali menyambung The Big 4. Ide penceritaan filmnya ditulis oleh Timo bersama Johanna Wattimena semasa pandemi, dengan mempertanyakan apakah orang masih memerlukan penghiburan di tengah situasi kacau—atau justru itu toxic positivity yang menjauhkan kita dari kebenaran realitas. “Menghayati konsep kekeluargaan serta unbreakable relationship saat menulisnya benar-benar menginspirasi saya. Creatively, saya menemukan sisi optimis dalam diri saya, dan ingin menyebarkannya melalui karya. Saya menyukai ide bahwa pada akhirnya, tidak peduli seberapa suram atau gelap dunia kita saat ini, kita sedang berjalan menuju tempat yang cerah,” kata Timo. Sebuah gagasan yang melandasi akhiran bahagia bagi alur narasinya.

fashion Zegna (blazer, knitwear, dan celana)

Antara hal baik dan buruk sejatinya berjalan beriringan. Prinsip tersebut diyakini Timo bukan sekadar konsep. “I think we all want to believe it. Kita tidak bisa terus-menerus berpikiran bahwa dunia ini akan selalu menjadi tempat yang mengerikan. Saya tidak berencana mewariskan mentalitas tersebut kepada orang-orang yang menonton film saya—dan terlebih lagi kepada kedua anak perempuan saya. Sebagai manusia, kita perlu berpikir bahwa selalu ada harapan dalam kegelapan,” katanya.

Timo telah sampai di titik di mana ia bisa selaras berpijak di antara hitam dan putih kehidupan. Tersirat seiring mengalir percakapan kami; ia seolah-olah tengah membuka era baru bagi kehidupan pribadi maupun narasi artistiknya yang lebih berpengharapan. “Realitas dan proses berpikir kreatif saya cenderung bersifat paralel. Meski begitu, kreativitas juga tentang seimbang. Saya pikir orang menyukai The Big 4 karena ada sesuatu yang baru yang membuat mereka feel-good dan refresh setelah menontonnya. Pengalaman itu tidak bisa saya berikan berturut-turut dalam format serupa,” ujar Timo. Ketika menemui Timo pada hari itu, ia mengungkap tengah mengembangkan sebuah film berlatar penceritaan yang cukup kelam. Ia tidak bicara tentang Train To New York, remake film Train To Busan (2016), yang disebutnya masih dalam tahap pre-produksi; atau babak ketiga Sebelum Iblis Menjemput; atau sekuel Rumah Dara yang rumornya bakal menjadi karya kolaboratif teranyarnya bersama Kimo setelah absen duet sejak 2016; atau waralaba Jagat Sinema Bumilangit, Si Buta Dari Gua Hantu. Alih-alih ia berceloteh perihal isu sosial terkait keperempuanan sebagaimana ia rangkum untuk saya kutip, “It would be a female-driven story.” Timo tersenyum menutup hari dan menyimpan kisah ini untuk lain waktu.