10 April 2025
Rebekka Sondang Angelyn Mengawal Transisi Berkelanjutan dan Membela Energi Berkeadilan
PHOTOGRAPHY BY doc. Rebekka Sondang Angelyn & Getty Images

REBEKKA ANGELYN (Development Expert, former Executive Director Yayasan Rumah Energi, Co-Founder & former Executive Director Coaction Indonesia)
Di sebuah ruang kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rebekka Sondang Angelyn duduk menyimak perkuliahan yang hari itu dibawakan oleh Ahmad Santosa, dosen Hukum Lingkungan yang juga seorang praktisi dan aktivis. Materi tentang pertanggungjawaban korporasi terhadap pencemaran lingkungan membuka matanya. Selama ini, ia mengira hukum sebatas mengatur hubungan bisnis, kontrak, dan regulasi, tetapi ternyata, di balik tumpukan pasal dan dokumen hukum, ada dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat—hutan yang ditebang tanpa kendali, air yang tercemar, serta kesehatan dan perekonomian warga yang terancam. Kesadaran itu menjadi titik awal perjalanannya.
Tahun-tahun berikutnya semakin memperkaya pemahamannya. Saat mengikuti summer school di Boston, Rebekka belum mengenal dunia energi terbarukan, tetapi ia telah jatuh cinta pada hutan. Baginya, lingkungan bukan sekadar lanskap hijau yang indah, melainkan ekosistem yang memiliki nilai ekonomi, sosial, dan budaya yang jauh lebih besar daripada sekadar eksploitasi sumber daya. Menebang hutan hingga gundul mungkin menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi kelangsungan hidup generasi mendatang dipertaruhkan. Pemikiran ini semakin meneguhkan langkahnya untuk mencari solusi yang berkelanjutan.
Selepas lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rebekka bergabung dengan Carbon Conservation. Di sana, ia berkesempatan untuk bekerja dalam proyek konservasi hutan di ekosistem Ulu Masen, Aceh. Ia belajar tentang keanekaragaman hayati, potensi karbon yang terkandung dalam ekosistem hutan, serta bagaimana kebijakan konservasi dapat menjadi alat untuk menjaga keseimbangan lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Kesadaran ini menjadi semakin relevan ketika ia mulai bekerja di Satuan Tugas Energi Terbarukan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Di sini, ia melihat bagaimana pengalaman di sektor kehutanan dapat diaplikasikan ke sektor energi—khususnya dalam pemanfaatan energi terbarukan seperti biodiesel yang bersumber dari bahan baku hayati. Ia menyadari bahwa transisi energi tidak boleh dilakukan sembarangan; harus ada tanggung jawab agar tidak menimbulkan eksploitasi baru terhadap sumber daya alam.
Dunia semakin terperangkap dalam ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, dan Rebekka tahu bahwa perubahan hanya bisa terjadi jika ada kebijakan yang berpihak pada solusi berkelanjutan. Pada 2015, ia mulai mendalami sektor energi terbarukan melalui berbagai proyek di Kementerian ESDM, lalu bergabung dengan World Bank sebagai Private Sector Development Policy Analyst pada 2016. Tahun yang sama, ia bersama rekan-rekannya mendirikan Coaction Indonesia, sebuah organisasi yang berfokus pada advokasi dan edukasi energi bersih. Bagi Rebekka, transisi energi bukan sekadar isu lingkungan—ini adalah pertarungan demi masa depan yang lebih hijau dan adil.
Pada 2018, langkahnya berlanjut ke Yayasan Rumah Energi sebagai Direktur Eksekutif. Di sini, ia mendorong solusi konkret seperti pembangunan biogas rumah tangga dan pertanian berkelanjutan. Energi bersih bukan hanya sekadar inovasi teknologi; ia harus menjadi bagian dari keseharian masyarakat agar dampaknya benar-benar terasa. Lalu, pada April 2024, babak baru dalam perjalanannya dimulai. Ia kini menjabat sebagai Head of Programs di GoTo Impact Foundation, organisasi yang menggabungkan filantropi dan sociopreneurship untuk menciptakan ekosistem inovasi berkelanjutan. Mulai dari pengelolaan sampah hingga ketahanan bencana, semua dirancang dengan pendekatan berbasis riset dan kolaborasi lintas sektor. Baginya, transisi energi bersih bukan lagi sekadar pilihan, tetapi satu-satunya jalan menuju masa depan yang lebih hijau.
Anda mengawali karier di sektor migas sebelum akhirnya beralih ke energi terbarukan. Tantangan apa yang Anda hadapi?
“Ketika saya mulai berkecimpung dalam isu karbon, konsep ini masih relatif baru di Indonesia. Tantangannya adalah bagaimana menjelaskan kepada pemerintah, kementerian, dan perusahaan bahwa mereka bisa mengurangi emisi dengan mekanisme yang menguntungkan secara ekonomi. Saya harus membangun pemahaman bahwa bisnis, lingkungan, dan regulasi bisa berjalan beriringan. Latar belakang hukum saya sangat membantu dalam menyusun kerangka kerja yang kuat untuk menganalisis kebijakan dan mencari solusi yang tepat.”
Apa pendekatan efektif untuk mengubah paradigma masyarakat terkait energi bersih?
“Selain edukasi ke masyarakat, kami juga menyasar para pembuat kebijakan. Riset menjadi alat utama kami untuk advokasi, karena kebijakan yang tepat bisa berdampak luas. Masyarakat perlu memahami bahwa energi terbarukan bukan hanya tentang kebaikan lingkungan, tetapi juga tentang keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan. Tantangan terbesar adalah biaya energi bersih yang masih relatif mahal, sehingga kebijakan harus berpihak pada akses yang lebih luas bagi semua lapisan masyarakat.”
Di tengah isu perubahan iklim yang semakin mendesak, apa pesan utama yang ingin Anda sampaikan kepada generasi muda yang ingin berkontribusi dalam transisi energi bersih?
“Jangan kehilangan fokus. Dunia terus berubah, dari dinamika ekonomi hingga geopolitik, tetapi perubahan iklim tetap menjadi ancaman utama. Kita tidak boleh teralihkan dari urgensi mitigasi dan adaptasi. Saya pernah bertemu seorang petani cengkeh di Sulawesi yang harus meninggalkan tanahnya karena perubahan iklim membuat lahannya tidak lagi produktif. Ini adalah realitas yang nyata, bukan sekadar isu akademik. Saya optimistis karena banyak anak muda yang kini membangun komunitas lingkungan, mengembangkan smart agriculture, atau bergerak dalam pengelolaan sampah. Kampanye seperti ini harus terus diperkuat, karena perubahan iklim berdampak pada semua orang, tanpa terkecuali.”