30 September 2019
Rio Haryanto: Melaju Tanpa Terpengaruh Waktu

Saat Rio Haryanto melesat mengendarai mobil Formula 1 di sirkuit Melbourne Grand Prix, Albert Park, Australia, di bulan Maret 2016 silam. Momen tersebut menoreh sejarah untuk Indonesia dalam bidang dunia balap mobil, di mana atensi bangsa menyorot sebuah peluang besar akan kapabilitas negara yang ternyata mampu berlaga di sirkuit paling bergengsi kelas dunia. Indonesia dan olahraganya berharap kembali mengukir prestasi yang juga seringkali merangkum sejarah baru dari masa ke masa.
Tersohor sebagai salah satu bentuk olahraga ekstrem dan prestisius yang membutuhkan banyak sokongan dana, sebelumnya Formula 1 tampak mustahil untuk diikutsertakan di dalam daftar panjang ajang kompetisi Negeri ini. Namun hari itu, pada 20 Maret 2016, Rio membuktikan bahwa Indonesia mampu. Momen tersebut monumental dan jelas tak terlupakan, sebagai kali pertama ilustrasi bendera negara tercinta melaju di sirkuit prestisius kelas dunia.
Hari itu menoreh rekam sejarah baru. Dalam beberapa bulan setelahnya, nyaris seluruh mata bangsa memantau pergerakan Rio Haryanto di sejumlah track internasional yang bersimbah dukungan dan doa demi mencetak prestasi. Adagium “manusia hanya bisa berencana, namun Tuhan lah yang menentukan” tampak tepat menjabarkan apa yang kemudian berlangsung. Masih jauh dari rasa puas menggenggam setir Formula 1, dalam kurun waktu enam bulan, Rio terpaksa menghentikan karier di ajang balap bergengsi tersebut karena isu finansial.

“Seperti yang Anda tahu, motorsports apalagi Formula 1 itu adalah olahraga yang sangat mahal. Seperti mimpi rasanya waktu saya berhasil masuk ke tahap balap F1 dengan dukungan dari negara, Pertamina serta keluarga,” ucapnya siang itu saat kami bertemu di area Cideng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Dalam pembawaan yang tenang ia mengenang tahun 2016 menjadi tahun kejayaan sekaligus terpuruknya karier F1 yang lama diidamkan. “Saya hanya sempat berkompetisi di 11 races dalam waktu 6 bulan. Hanya setengah musim F1.”
Balap mobil bukan sekadar kegiatan yang hinggap sekejap. Bagi Rio Haryanto balap adalah sebuah jalan hidup. Bagaimana tidak? Berkat dorongan orang tua dan kakak-kakaknya, sejak usia 5 tahun tangannya telah menggenggam mantap setir gokart dan terus melaju melampaui berbagai kompetisi lokal dan internasional. Prestasi yang telah diukir pun mencapai kelas Asia. Berdiri di podium kemenangan menjadi sebuah bentuk rutinitas bagi pembalap asal Surakarta tersebut. Hingga usia 15 memperkenalkannya pada dunia balap Formula yang kemudian ia tekuni.
Satu per satu tahapan Formula dilalui seperti Formula BMW, Formula GP3, dan Formula GP2 yang membuatnya harus pindah dari Indonesia untuk kemudian menetap di Britania Raya dan juga Eropa untuk beberapa saat. Lalu di akhir tahun 2015 ia pun menyelesaikan seri balap GP2 dan tak lama kemudian beberapa tawaran untuk bergabung di tim Formula 1 berdatangan.
Terbiasa melaju sejak kecil, Rio mengaku bersahabat dengan kecepatan, tapi juga menjadikannya sebagai rival. “Speed is my biggest rival on the race track because every split second counts,” pungkasnya. “Saat balap, banyak hal yang bisa dengan mudah mengganggu kita untuk fokus, seperti tekanan dan berbagai kritik dari orang-orang, dan juga tekanan yang datang dari diri sendiri.
Cara terbaik untuk tidak terpengaruh oleh itu semua adalah dengan percaya pada diri sendiri bahwa Anda mampu untuk melakukannya.” Sebuah prinsip yang senantiasa ia pegang teguh seiring dengan pola pikir untuk selalu membentuk sikap positif demi mendorong diri untuk terus berkembang di dunia penuh kecepatan. “Karena hidup adalah tentang belajar dari kesalahan dan move forward,” ujarnya tersenyum.

Rio mengaku butuh proses untuk dapat seutuhnya move forward dari Formula 1. Layaknya di sirkuit, perubahan yang terjadi di hidupnya kala itu terjadi begitu cepat. “Dulu saya hanya melihat Lewis Hamilton atau Kimi Raikkonen saat main game di PlayStation. Rasanya seperti mimpi sewaktu bisa balap dengan mereka di Formula 1,” ucap Rio kembali mengenang. “Waktu berhenti F1 rasanya perasaan campur aduk. Saya menyesal karena belum sempat punya karier panjang di F1. Belum sempat memberikan yang terbaik. Tapi saya juga sangat bersyukur karena telah diberikan kesempatan untuk sempat ikut serta di ajang tersebut yang memang sudah menjadi citacita saya. Saya tidak pernah berhenti berterima kasih untuk Indonesia dan juga keluarga saya yang sudah sangat mendukung kesempatan itu terwujud.”
Dua tahun Rio vakum dari dunia balap, kendati tetap berusaha mencari jalan untuk kembali ke sirkuit idaman. Namun diakui, mencari sponsor untuk mewujudkan hal itu kembali bukan lah perkara mudah. Terutama dana yang dibutuhkan sangat masif. Tapi tetap tidak membekukan hati Rio untuk terus mencoba segala pintu peluang yang ia yakin akan datang.
Selama beberapa saat, masa transisi ini digunakan untuk menyibukkan diri dengan membantu bisnis keluarga di Surakarta. Keluarga Rio telah lama memiliki usaha yang bergerak di bidang percetakan, packaging, serta produk buku tulis. Kemudian, selang beberapa hari sebelum pertemuan kami di pertengahan bulan Juli, ia dan keluarganya baru saja memulai usaha di bidang F&B dengan membuka Grandis Barn, restoran yang menghidangkan kuliner fusion di Solo.
Selain usaha keluarga, ia pun tengah mendukung label Toyota sebagai brand ambassador untuk lansiran Toyota Hybrid— yang mendaulatnya untuk datang ke Jakarta saat itu demi menghadiri helatan GIIAS. “Iya, saya datang ke Jakarta untuk GIIAS, padahal Grandis Barn baru saja buka tiga hari lalu. Makanya saya harus kembali ke Solo sore ini,” ia menjelaskan sambil tertawa memaklumi kesibukannya.
Nyatanya, dunia balap mobil kembali memanggil Rio Haryanto. Tahun lalu, ia kembali mendapat peluang untuk melaju di sirkuit saat T2 Motorsports memberi tawaran untuk ikut berkompetisi dalam ajang Blancpain GT World Challenge Asia 2019.

Berbeda dengan F1, Blancpain GT World Challenge adalah seri balap yang diikutsertakan oleh sejumlah Grand Tourer cars (mobil yang didesain untuk kecepatan tinggi dan jarak tempuh jauh dikombinasikan dengan mesin dan atribut mewah), atau supercar, berlabel prestise seperti Ferrari, Lamborghini, Porsche, hingga Mercedes-Benz. Sebuah supercar dikendalikan oleh dua pengemudi yang melaju selama 30 menit per orang secara bergantian, yang mana ajang balap ini memakan waktu selama satu jam untuk melalap 30 lap. Dengan regulasi yang mengharuskan adanya dua pengemudi yang mencakup seorang pro driver dan seorang amateur driver, Rio pun berpasangan dengan David Tjipto di bawah naungan T2 Motorsports.
“Karena kurang lebih sudah dua tahun saya enggak balapan, so at first saya sempat mengambil waktu untuk adaptasi dengan pengalaman balap yang baru ini. Selain mobilnya yang berbeda, orang-orang dalam tim juga sangat berbeda, terutama konsep driverpartnership ini,” aku Rio. Namun hasrat kompetisi dan adrenalin yang kembali bangkit pun dirasa sama oleh pembalap yang mengaku sangat kompetitif ini. Bersama T2 Motorsport, ia akan melalap ajang GT World Challenge Asia 2019 yang akan membawanya mengikuti endurance race di 24 Hours of Le Mans, yaitu ajang balap supercar tertua di dunia yang diadakan setiap tahun dan berlokasi di kota Le Mans, Prancis, dan dianggap sebagai salah satu balap mobil paling bergengsi di dunia. Di ajang tersebut, setiap tim partisipan dituntut untuk mampu menyeimbangkan kecepatan dengan kemampuan mobil untuk melaju selama 24 jam penuh tanpa kerusakan mekanis.
“Balap 24 Hours of Le Mans terjadi di bulan Juni tiap tahun. Jadi apa yang saya dan tim lakukan saat ini adalah untuk mencapai target untuk ikut serta balapan di sirkuit Le Mans bulan Juni tahun depan. So far kami sudah melewati beberapa race GT World Challenge Asia yang pertama di Malaysia, lalu di Thailand, terakhir kemarin di Jepang, setelah ini Korea, lalu kami akan ke Shanghai di bulan September,” Rio menjabarkan ambisinya.
Tampak nyata semangatnya dalam dunia balap tak kian padam kendati telah melalui berbagai lika-liku. Genggaman setir mobil yang sekarang berbeda, namun gairah untuk melesat cepat tetap sama. Kini ia merasa siap untuk menorehkan sejarah baru. Kita tunggu kehadiran bendera Indonesia mewarnai ajang sirkuit Le Mans di tahun depan. Dan apabila kelak benar terjadi, saya akan selalu mengingat raut wajahnya hari ini—penuh ambisi.
Photo: DOC. ELLE INDONESIA, photography YEHEZKIEL RYAN ALDO styling SIDKY MUHAMADSYAH grooming ZESRISTAN styling assitant VIONA AGUSTINE RAHARDJO