LIFE

21 April 2022

Salvita De Corte & Melati Wijsen: Berdaya dalam Melestarikan Lingkungan


Salvita De Corte & Melati Wijsen: Berdaya dalam Melestarikan Lingkungan

Seniman sekaligus aktris Salvita De Corte berbincang dengan sosok aktivis muda Melati Wijsen mengenai kecintaan mereka pada Bumi dan mengartikan makna dedikasi dalam upaya menciptakan masa depan dunia yang lebih baik.

Melati Wijsen memulai gerakan aktivismenya pada tahun 2013. Bersama sang adik, Isabel Wijsen, keduanya mendirikan Bye Bye Plastic Bags yang keanggotaannya kini terjaring di lebih dari 50 lokasi yang tersebar di seluruh dunia. Gerakan Bye Bye Plastic Bags merupakan organisasi nirlaba berbasis lingkungan yang kemunculannya diawali dari sebuah pertanyaan: “Apa yang bisa saya lakukan untuk menciptakan suatu perubahan?”. Melati membayangkan sebuah dunia yang bebas dari sampah kantong plastik dengan cara melakukan pemberdayaan kaum muda melalui edukasi, kampanye, dan pertemuan politik sekaligus menggencarkan aksi penolakan kantong plastik di sejumlah daerah di Pulau Bali. Melati bersama sejumlah rekannya di Bye Bye Plastic Bags berupaya meningkatkan kesadaran publik mengenai masalah sampah lewat presentasi dan lokakarya di sekolah, mengorganisir kegiatan pembersihan sejumlah pantai di Bali, menyediakan lebih dari 35.000 tas pengganti kantong plastik, membuat desa percontohan bebas sampah plastik, melobi pemerintah, sekaligus menyuarakan isu lingkungan di panggung dunia seperti TED Global dan PBB. Perempuan kelahiran tahun 2001 silam ini turut mendirikan YOUTHOPIA, sebuah platform yang berfokus pada pemberdayaan kaum muda melalui berbagai kegiatan sosial dan memfasilitasi generasi muda untuk membuat perubahan positif yang nyata di lingkungannya.

Melati memperluas wilayah aktivismenya dengan merintis gerakan One Island One Voice, yakni gerakan kolektif yang terdiri dari lembaga swadaya masyarakat, pertokoan, perhotelan, restoran, organisasi, serta para individu yang berkomitmen untuk mengurangi sampah plastik di Pulau Bali. Ia juga mendirikan usaha nonprofit bertajuk Mountain Mamas yang menggerakkan kaum perempuan di sebuah desa di Bali untuk membuat tas alternatif berbahan kain. Hasil penjualan tas-tas tersebut didonasikan kepada komunitas penduduk setempat. Kiprahnya sebagai aktivis lingkungan sekaligus penggerak perubahan menjadikan Melati Wijsen sebagai salah satu CNN Heroes Young Wonders dan Co-Chair Global Plastic Action Partnership di ajang World Economic Forum. Sedangkan ketertarikannya pada upaya perlindungan laut turut menempatkan perempuan ini sebagai bagian dari World’s Ocean Day Youth Advisory.

Salvita De Corte turut mengukir prestasi di ranah yang berbeda dengan Melati Wijsen. Perempuan ini dikenal sebagai salah satu aktris di industri perfilman Indonesia. Film pertamanya berjudul Mantan Terindah yang tayang pada 2014. Ia kemudian bermain peran di sejumlah judul film; Halfwords (2015), The Night Comes for Us (2018), DreadOut (2019), Bebas (2019), Ratu Ilmu Hitam (2019), Abracadabra (2020), dan lainnya. Saat usianya 15 tahun, Salvita menjajaki dunia modeling sebelum akhirnya ia masuk perfilman. Namun kendati malang melintang di dunia film, Salvita De Corte turut menekuni profesi sebagai pelukis. Hasrat berkesenian dan perspektif artistik Salvita diturunkan dari kedua orangtuanya. Sang ayah adalah seorang pelukis, sedangkan ibunya desainer perhiasan. Perempuan kelahiran 1990 ini melukis dengan gaya ekspresionis dan kerap menggambar figur genderless yang kemudian menjadi identitas berkesenian Salvita.

Melati: Jaket dan kalung choker, Chanel. Kalung Love Dog Tag, HBB Design.
Salvita: Bolero, atasan, shorts, dan kalung choker, Chanel.
photography SHARON ANGELIA
styling SIDKY MUHAMADSYAH
makeup SISSY SOSRO
hair KOMANG DEVINA MAWARNI

Kedua perempuan tersebut duduk bersama untuk berbagi cerita dan gagasan terkait pengalaman masing-masing yang sama-sama memiliki kedekatan amat erat dengan alam tropis dan lingkungan khas Pulau Dewata. Dalam semangat merayakan Hari Bumi Sedunia yang diperingati setiap 22 April, percakapan Salvita dan Melati menyoal tentang permasalahan lingkungan, persoalan sampah plastik, dan signifikansi peran tiap individu dalam menciptakan perubahan untuk kelestarian Bumi. Berikut rangkuman kisah terkait isu keberlanjutan dan kelestarian alam, sekaligus menyuarakan gagasan penting mengenai masa depan Bumi dari perspektif perempuan.

Salvita De Corte: “Bagaimana awal ketertarikan Anda pada isu lingkungan?”

Melati Wijsen: “Saya lahir dan besar di Bali. Ayah saya orang Surabaya, sedangkan ibu berasal dari Belanda. Sejak kecil tinggal di Bali, maka hubungan saya dengan alam bisa dibilang amat dekat. Seharihari saya dan adik terbiasa bermain di pantai dan menjelajahi bukit-bukit. Keseharian kami tidak jauh dari lingkungan alam Bali yang asri. Ketika berusia 12 tahun, saya lantas mengetahui bahwa ada 40 negara di dunia yang melarang pemakaian kantong plastik sekali pakai. Saya berpikir untuk menerapkan hal yang sama di kampung halaman saya, di Pulau Bali. Dan tanpa punya rencana bisnis ataupun strategi anggaran, saya dan Isabel memberanikan diri untuk mendirikan Bye Bye Plastic Bags.”

Salvita De Corte: “Artinya kedekatan Anda dengan alam menjadi landasan utama?”

Melati Wijsen: “Buat saya, alasan terbesar dari apa yang saya lakukan adalah kecintaan saya yang begitu besar terhadap Bumi. Sesuatu yang barangkali belum tentu saya miliki apabila saya tidak lahir dan besar di Bali. Saya terbiasa bermain-main di sawah, sungai, laut, pantai, dan gunung. Rasa-rasanya setiap detik hidup saya ‘tenggelam’ dalam alam. Maka ketika saya tumbuh dewasa, pertanyaan yang muncul adalah ‘Bagaimana caranya agar saya dan semua orang bisa memperlakukan Bumi dengan lebih baik sebagaimana planet ini telah memberi banyak hal untuk kita?’. Sulit bagi saya untuk berdiam diri membiarkan sampah dan plastik memenuhi seluruh wilayah Bali yang saya cintai. Apakah Anda juga merasakan hubungan yang spesial dengan alam?”

Salvita De Corte: “Tentu, saya pun dilahirkan dan dibesarkan di Bali sehingga memiliki pengalaman masa kecil yang mirip dengan Anda. Sewaktu kecil saya sering bermain di sebuah parit kecil di daerah Petitenget. Pantainya bersih sekali, bahkan kadang terlihat sekumpulan ikan sedang berenang. Beberapa tahun sempat tinggal di Jakarta terkait aktivitas saya di perfilman. Saat itu saya harus mengakui bahwa ada bagian penting dari hidup saya yang hilang, yakni kedekatan saya dengan alam. Alam selalu memberi saya rasa nyaman, kenyamanan \yang sama yang saya dapatkan ketika saya sedang melukis. Kini saya bermukim di Bali bersama keluarga saya. Dan senang rasanya bisa menghabiskan waktu bersama buah hati saya dengan menelusuri pantai, menjelajahi sawah, dan mendaki perbukitan. Bagaimana dengan Anda, apakah tinggal di Bali juga memengaruhi banyak hal dalam hidup Anda?”

Melati Wijsen: “Permasalahan sampah plastik benar-benar telah memberi pengaruh besar buat saya. Tidak pernah satu hari pun saya pergi keluar rumah tanpa melihat sampah plastik di segala penjuru. Berada di dalam mobil, saya melihat tumpukan sampah di pinggir jalan. Saat berjalan di pantai atau berselancar, saya bisa merasakan plastik-plastik menyentuh telapak kaki. Tak seorang pun menginginkan Bali menjadi pulau yang terkenal karena sampahnya. Ketika saya berpidato di luar negeri, ada banyak orang yang mengagumi pantai-pantai di Bali. Namun ketika saya menceritakan situasinya, rasanya itu menjadi kenyataan yang menyakitkan. Di titik itu saya menyadari bahwa saya harus melakukan sesuatu. Dan menolak pemakaian kantong plastik hanya sebuah awal dari perjalanan panjang yang harus ditempuh untuk menciptakan perubahan. Saya sendiri percaya bahwa setiap orang mampu melakukan kebaikan dalam hidupnya.”

Salvita De Corte: “Saya merasa semua problem lingkungan sesungguhnya saling terhubung satu sama lain. Dari persoalan sampah plastik, apa isu lainnya yang juga penting bagi Anda?”

Melati Wijsen: “Makin banyak saya belajar, makin sering saya berdialog, maka makin saya menyadari bahwa ada banyak hal yang belum saya ketahui. Dari problem sampah plastik, saya memahami pentingnya memilah sampah. Saya juga memelajari apa yang dimaksud dengan prinsip ‘zero waste’. Termasuk memahami pentingnya akses pendidikan dan kebijakan pemerintah yang mendukung prinsip berkelanjutan. Menjadi aktivis lingkungan makin menyadarkan saya bahwa setiap orang memiliki peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Sebuah kolaborasi yang dilakukan secara besarbesaran amat perlu dilakukan jika kita semua memang menginginkan perubahan. Ke depannya, saya tertarik untuk memelajari lebih banyak tentang industri mode dan mencari formula agar terjadi perubahan yang menyeluruh dalam sistem pendidikan di Indonesia.”

Swimsuit, T-shirt, kalung, Chanel.
photography SHARON ANGELIA
styling SIDKY MUHAMADSYAH
makeup SISSY SOSRO
hair KOMANG DEVINA MAWARNI

Salvita De Corte: “Anda kemudian mendirikan YOUTHOPIA sebagai bagian dari Bye Bye Plastic Bags. Apa yang Anda lakukan dengan YOUTHOPIA?”

Melati Wijsen: “Salah satu kesempatan menakjubkan yang saya miliki sebagai aktivis adalah berbicara dengan jutaan anak muda di seluruh dunia. Baik ketika saya berada di Maluku ataupun sedang berada di New York, saya selalu menerima pertanyaan yang sama, ‘Apa yang bisa saya lakukan?’. Saya melihat gairah yang begitu besar yang dimiliki generasi muda untuk terlibat dalam sebuah perubahan. Karena itu saya membuat kampanye yang mengajak kaum muda agar mulai membangun solidaritas, mengasah kemampuan komunikasi, dan mulai melakukan sesuatu. Dan YOUTHOPIA menjadi platform pembelajaran bagi kaum muda untuk memahami strategi-strategi dalam menciptakan perubahan.”

Salvita De Corte: “Apa yang Anda ingin sampaikan kepada mereka yang ingin memulai kepedulian terhadap lingkungan?”

Melati Wijsen: “Sebagai langkah pertama, tentukan secara spesifik perubahan apa yang ingin dicapai. Dan kita harus memiliki tim yang terdiri dari orangorang yang mempunyai tujuan yang sama dengan kita. Sebab tidak peduli seberapa hebat gagasan yang dimiliki, kita tidak akan bisa melakukannya sendirian. Apabila terasa sukar mencari kawan seperjuangan, mulailah dengan mengajak orang-orang terdekat. Dan jangan lupa untuk bersenang-senang. Perjalanan ini akan menemui banyak tantangan dan kendala. Gunakan kreativitas dan cara-cara yang menyenangkan untuk mewujudkan cita-cita kita.”

Salvita De Corte: “Sebagai aktivis lingkungan, pernahkah Anda merasa putus asa atau meragukan diri sendiri?”

Melati Wijsen: “Ada masa-masa di mana saya mempertanyakan, apakah semua yang saya lakukan sudah cukup baik? Apakah saya benar-benar telah menciptakan perubahan? Tentu ada kalanya saya mengalami burnout dan merasa seperti ‘jalan di tempat’. Namun saya selalu kembali pada kesadaran bahwa saya masih perlu banyak belajar. Anda sendiri pernah menjadi model dan dekat dengan industri mode. Bagaimana Anda melihat isu keberlanjutan dalam dunia mode?"

Salvita De Corte: “Selama beberapa tahun terakhir, saya melihat mulai bermunculan desainer-desainer lokal yang berusaha melakukan perubahan. Ada salah satu label mode yang kebetulan saya kenal dengan pendirinya. Mereka pernah mengirimkan saya sebuah laporan tentang semua hal yang mereka lakukan terkait isu lingkungan. Dalam salah satu keterangannya, tercantum sejumlah fakta mengenai bahan-bahan pewarna yang mereka gunakan untuk membuat sebuah pakaian dan bagaimana pengaruhnya terhadap keberlangsungan sungai dan perairan sekitar. Sejujurnya saya tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Saya pernah mendengar persoalan produksi massal pakaian dan upah rendah yang diterima para pekerjanya, tapi saya tidak menyadari bagaimana besarnya dampak pewarna pakaian terhadap sungai. Dan salah satu sungai yang tercemar akibat industri mode berada di Pulau Jawa. Maka itu, saya merasa bertanggung jawab untuk lebih selektif dalam membeli dan memilih pakaian. Dan semoga ke depannya para desainer dan pelaku industri mode menjadi lebih tanggap dalam menyadari dampak besar yang dihasilkan industri ini terhadap lingkungan dan Bumi. Tantangan rasanya akan selalu ada dalam bidang apa pun kita bergerak. Apa kendala yang Anda hadapi sebagai aktivis muda?”

Rompi, bandeau, dan kalung choker, Chanel.
Anting Lotus dan kalung bandul feather, HBB Design.
photography SHARON ANGELIA
styling SIDKY MUHAMADSYAH
makeup SISSY SOSRO
hair KOMANG DEVINA MAWARNI

Melati Wijsen: “Saya dan Isabel memulai gerakan peduli lingkungan ketika kami berusia 12 dan 10 tahun. Saya tidak mengira bahwa salah satu hambatan terbesar justru terjadi ketika kami memasuki ruangan konferensi untuk bertemu dengan orang-orang yang lebih senior. Alih-alih diperlakukan dengan serius, kami justru dianggap sekumpulan anak kecil yang menurut mereka menggemaskan. Saya tentu tidak menyerah. Hal ini justru mengajarkan saya tentang pentingnya ketekunan dan komitmen pada apa yang ingin kami raih. Apabila sebelumnya kita mengenal istilah greenwashing, maka yang terjadi pada saya dan Isabel adalah youthwashing.”

Salvita De Corte: “Bagaimana maksudnya?”

Melati Wijsen: “Greenwashing adalah teknik marketing yang menggunakan isu lingkungan sebagai strategi memasarkan produk dengan cara mengklaim bahwa produk yang dihasilkan adalah produk ramah lingkungan. Sedangkan youthwashing merupakan suatu kondisi di mana perusahaan atau pemerintah berusaha mendukung pergerakan kaum muda tanpa benar-benar menjalin kerja sama dan melakukan sesuatu yang nyata dan bermakna. Sebab itu saya memosisikan YOUTHOPIA sebagai wadah untuk menciptakan kolaborasi antara perusahaan dengan generasi muda, agar jembatan relasi itu terbangun dengan cara-cara yang berkesinambungan."

Salvita De Corte: “Bagi sebagian orang, cara-cara ramah lingkungan cenderung lebih mahal dibanding gaya hidup konvensional. Misal deterjen ramah lingkungan, makanan organik, dan sistem pemanasan geotermal, which I completely understand because it is happening in a lot of cases. Langkah apa yang bisa dilakukan orang-orang untuk memiliki kesadaran tentang isu lingkungan?”

Salvita: Jaket, atasan, ikat pinggang, rok, dan kalung, Chanel.
Melati: Jaket dan kalung, Chanel. Anting Lotus, HBB Design.
photography SHARON ANGELIA
styling SIDKY MUHAMADSYAH
makeup SISSY SOSRO
hair KOMANG DEVINA MAWARNI

Melati Wijsen: “Saya membayangkan ketika setiap orang dapat membuat ‘gelembung’ sebesar satu meter yang mengelilingi dirinya. Kemudian menganggap gelembung tersebut adalah tanggung jawab yang menyelimuti diri kita dan mengikuti ke mana pun kita pergi. Maka ketika Anda hendak membeli atau melakukan sesuatu, pastikan bahwa setiap keputusan Anda berakhir pada pilihan-pilihan yang ramah lingkungan. Prinsip keberlanjutan dapat mulai diterapkan dari diri kita sendiri. Buka lemari pakaian dan pikirkan baik-baik, apakah Anda mampu berkomitmen untuk mulai mengurangi konsumsi belanja baju selama satu tahun? Kemudian perhatikan isi kamar mandi Anda. Apakah salah satu produk kecantikan Anda mengadopsi cara-cara yang merusak lingkungan? Sesungguhnya tidak ada panduan khusus tentang bagaimana menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dan berkelanjutan. Yang paling penting adalah keberanian untuk mengambil tindakan. Keberlanjutan itu sendiri merupakan proses pembelajaran yang mensyaratkan konsistensi dan komitmen untuk terus-menerus belajar dan menunjukkan keberpihakan kita pada Bumi dan lingkungannya.”