LIFE

8 Juli 2022

Shenina Cinnamon Melantangkan Suara di Dunia Seni Peran


PHOTOGRAPHY BY Vicky Tanzil

Shenina Cinnamon Melantangkan Suara di Dunia Seni Peran

Lewat jalur seni peran, Shenina Cinnamon bertekad menyuarakan kisah kelompok yang kerap dikerdilkan, khususnya perempuan.

Menjadi seorang pemeran tidak pernah terlintas dalam benak Shenina Cinnamon, sampai lima tahun silam; saat seseorang menantangnya untuk mengikuti audisi sebuah peran. Kendati demikian, ia berterus terang bahwa kecintaannya terhadap dunia perfilman telah bertumbuh secara organik sedari kecil, setiap kali ia mengunjungi lokasi syuting tempat bapaknya bekerja. “Saya selalu mengagumi energi di lokasi syuting, seperti ada kegembiraan yang hidup di tengah hiruk-pikuknya,” kenang anak kedua dari pasangan Fitria dan Harris Cinnamon (salah seorang penulis skenario, produser, sekaligus sutradara kawakan Indonesia) itu. Tetapi tak pernah sekalipun rasa kagumnya memantik angan Shenina bahwa ia akan menggeluti profesi keaktoran.

Sebagai spektator pekerjaan sang bapak, hasratnya justru ingin menjejaki dunia sinema dari balik layar. “Sejak sekolah menengah sampai duduk
di bangku perkuliahan, saya mendalami studi film dan pertelevisian untuk memahami tanggung jawab produksi,” ujar alumni Institut Bisnis Nusantara itu. Shenina mengungkap bahwa cita-citanya dahulu ialah menjadi seorang produser, yang bergerilya di balik layar dalam menghasilkan karya sinema. Ia tidak pernah menduga rencananya kemudian bertransisi, lantaran manuver yang—seharusnya—
ia tujukan untuk membantah kapabilitas pemeran mengalir di tubuhnya, malah mengantarkan langkah kakinya menelusuri dunia seni peran.

“Jujur saja, kali pertama saya mengikuti audisi peran, cuma untuk mematahkan kegigihan seseorang yang begitu persisten mendorong saya menjadi aktor. Sebab, saya tidak merasa memiliki kredibilitas itu. Plus, saya mendapat perasaan aneh setiap kali membayangkan diri beradegan di depan kamera,” Shenina bercerita diselingi tawa. Namun sebagaimana petuah berkata, pelbagai hal luar biasa impresif seringkali terjadi di saat kita tidak mengharapkannya. Shenina memenangkan audisi peran pertamanya. Tahun 2017, debut aktingnya meramaikan serial drama televisi berjudul Roman Picisan the Series. Sederet judul film televisi pun tak luput menampilkan sosoknya.

fashion Wiki Wu; styling Ismelya Muntu; makeup Ryan Ogilvy; hair Aileen Kusumawardani; styling assistant Annika Fathma; location The Orient Jakarta.

Berdaya memetakan jalan di layar televisi tidak lantas membuat perempuan kelahiran 1999 itu langsung jatuh cinta pada seni peran. Metode kerja aktor televisi yang begitu ekspres diakui Shenina melatari salah satu alasannya masih mempertanyakan bilamana ia benar- benar menikmati eksistensi di depan kamera. Adalah film yang akhirnya membuat ia menambatkan hati. “Film mengajarkan saya memahami karakter manusia secara lebih mendalam. Saat sedang menggali karakter suatu peran, saya dapat menemukan perasaan-perasaan dalam diri sendiri yang barangkali tidak pernah saya sadari sebelumnya. Dan proses ini menyuguhkan kenikmatan tersendiri,” tuturnya.

Shenina mulai menapaki layar lebar pada 2018. Kiprahnya diawali film horor Tumbal: The Ritual. Setelah itu, ia terlibat dalam beberapa judul populer seperti Say I Love You (2019), Ratu Ilmu Hitam (2019), hingga Di Bawah Umur (2020). Pergantian tahun 2022 silam, nama Shenina Cinnamon menorehkan tajuk perbincangan publik atas permainan perannya yang luar biasa kuat menghidupkan tokoh Suryani di film Penyalin Cahaya. “Suryani adalah karakter perempuan yang sangat saya banggakan,” ujarnya mengapresiasi lakon yang telah mengantarkannya ke jajaran nomine Pemeran Utama Wanita Terbaik ajang Festival Film Indonesia 2021.

fashion Fiederich Herman; styling Ismelya Muntu; makeup Ryan Ogilvy; hair Aileen Kusumawardani; styling assistant Annika Fathma; location The Orient Jakarta.

Film karya Wregas Bhanuteja itu berkisah tentang praktik pelecehan seksual yang menyeruak tanpa terdeteksi di tengah masyarakat, dan
kerap menstigmakan perempuan sebagai akar permasalahannya. Suryani memotret penyintas yang melawan usaha segenap otoritas yang membungkamnya menyuarakan keadilan. Di titik ini, obrolan kami dengan cepat berubah ‘panas’ membahas topik yang tengah mendominasi realitas. “Saya benar-benar gerah terhadap sentimen publik yang mengasosiasikan penyebab pelecehan seksual karena cara berpakaian seseorang,” suara Shenina geram mengungkapkan keprihatinnya terhadap stigma yang memojokkan posisi perempuan itu. “Pikiran manusia dikendalikan oleh manusia itu sendiri. Enggak ada perkara dengan busana.”

Sekitar tahun 2019, Shenina pernah melewati kejadian tak menyenangkan ketika sedang berjalan di trotoar dan seorang pengendara motor secara asusila memegang payudaranya. “Saat itu saya mengenakan jeans panjang dan hoodie. Bagian mana dari pakaian saya yang memicu reaksi vulgar seseorang?” ia membuka pengalaman pribadi. Kini saya mengerti asal kegeramannya, tak pelak saya bisa merasakan emosinya oleh karena pernah melalui pengalaman serupa. Butuh waktu beberapa lama bagi Shenina menghadapi fase traumatis dalam hidupnya itu sampai akhirnya mampu kembali berdiri tegak seutuhnya. “Meski perasaan benci kepada orang itu terkadang masih terasa sampai hari ini, dan saya ingin sekali membalasnya,” ujarnya memecahkan tawa kami bersama. “Saya adalah bukti hidup bahwa pelecehan seksual tidak berdasarkan prinsip aksi reaksi, melainkan murni tindak kriminal. Saya paham betul dampaknya bagi kejiwaan seseorang. Saya berharap dengan kita membicarakannya secara terbuka—saya mengerti hal ini juga tidak mudah—dapat menguatkan para korban pelecehan seksual lainnya menghadapi keadaan, agar mereka tidak merasa berjuang sendiri,” tutur Shenina.

Sebelum mengakhiri perjumpaan, sang aktor muda menuturkan gairahnya untuk menyuarakan kisah kaum-kaum yang dikerdilkan sebagai titik inspirasi dalam berkarya. “Saya berharap dapat menebarkan kekuatan dan optimisme lewat sinema,” tutupnya.