LIFE

6 November 2023

Shohei Shigematsu dan Visi Inovatif yang Membangun Masa Depan


PHOTOGRAPHY BY Tomoyuki Kusunose

Shohei Shigematsu dan Visi Inovatif yang Membangun Masa Depan

Dalam sebuah era di mana arsitektur dan desain menjadi kian esensial dalam membentuk cara manusia hidup dan berinteraksi dengan lingkungan, Shohei Shigematsu adalah salah satu sosok arsitek yang terus mendorong batasan reka bentuk kontemporer lewat karyanya. Visinya kerap mewujudkan inovasi dan ide-ide segar dalam ranah arsitektur global, seperti karya terbarunya: gedung pencakar langit serbaguna Toranomon Hills Station Tower yang memberi wajah baru pada lanskap metropolitan Tokyo. 

Sedikit nama yang bisa menyamai inovasi, kreativitas, dan pemahaman mendalam tentang desain urban hingga kurasi ekshibisi layaknya Shigematsu. Merentang karier lebih dari 25 tahun, ia telah mengukir tempatnya sebagai arsitek visioner yang mendorong batas-batas kemungkinan dalam skema ikonisnya. Berasal dari Jepang dan menuntaskan studinya di Belanda, Shigematsu langsung bergabung dengan firma arsitektur terkemuka yang didirikan oleh arsitek ternama Rem Koolhaas, yaitu OMA (Office for Metropolitan Architecture), hingga akhirnya didapuk untuk memimpin headquarter OMA di New York di tahun 2006. Berkat kontribusi dan pengaruh besarnya, di tahun 2008, ia diresmikan sebagai Partner di OMA. OMA dikenal lewat proyek-proyek ambisius yang merangkul inovasi, dan Shigematsu telah memainkan peran penting dalam menciptakan karya-karya tersebut. 

Hingga saat ini, ia telah memperoleh pengakuan internasional berkat eksekusi ruang bangun yang inovatif dan pemikirannya yang mendalam tentang peran arsitektur dan desain dalam masyarakat modern. Karya arsitekturnya mencakup gedung CCTV headquarter di Beijing, museum baru untuk Musée national des beaux-arts du Québec di Kanada, renovasi headquarter Sotheby’s dan butik Tiffany & Co. di New York, hingga proyek pelestarian terumbu karang Reefline di Pantai Miami di mana ia membangun reka desain di bawah laut. Ia juga mewujudkan sejumlah akshibisi dunia seperti Prada: Waist Down, Met Gala Manus x Machina, Venice Architecture Biennale, ekshibisi Christian Dior: From Paris to the World di Denver dan Dallas, hingga Dior: Designer of Dreams yang dihelat di Tokyo setahun silam. 


Dior: From Paris to the World exhibition at the Dallas Museum of Art. Photography by James Florio. 

Seperti apa visi Anda sebagai arsitek yang membangun gedung pencakar langit namun juga mendesain ekshibisi fashion dan seni? 

“Banyak orang berpikir saya hanya mengerjakan gedung-gedung besar. Sedangkan saya telah membuat beragam ekshibisi sejak lama dan semuanya penting untuk karier saya. Sebagai arsitek, dapat mendesain pagelaran fashion adalah sesuatu yang luar biasa menyenangkan karena saya bisa bermain dengan berbagai macam opsi. Berbeda dengan mendesain gedung yang mana semuanya harus dipikirkan dari segi fungsi yang berkesinambungan dan keselamatan penggunanya. Keduanya tentu memiliki kesenangan masing-masing, tapi ekshibisi memberikan saya ruang untuk bereksperimen.” 


Dior: From Paris to the World exhibition at the Denver Art Museum. Photography by Naho Kubota. 

Dalam mendesain bangunan dan ekshibisi, apa yang menjadi ciri khas Anda? 

“Saya bukan arsitek yang senang mempromosikan diri sendiri. Desain saya bernarasi, karena saya kerap bercerita lewat karya. Desain saya ekspresif, karena saya selalu ingin merayakan momen di mana rancangan tersebut menjadi nyata. Orang sering kali menyebut saya eksentrik, karena sering menciptakan sesuatu yang tidak terduga. Seperti saat mengerjakan ekshibisi Waist Down untuk Prada yang sangat fashionable, saya justru menggunakan figur papan cardboard yang sangat low-tech dan kurang apik sebagai salah satu metode untuk men-display garmen. Saya mempertemukan sesuatu yang sangat fashionable dengan hal yang sangat tidak fashionable, dan ternyata tanggapan publik sangat baik karena hal tersebut unik. Bila harus menjabarkan ciri khas, maka desain saya cenderung menciptakan sesuatu yang sama sekali tidak terduga.”


Christian Dior: Designer of Dreams exhibition at the Museum of Contemporary Art Tokyo. Photography by Daici Ano. 

Apakah Anda juga melakukan hal-hal yang tidak terduga saat menggubah Met Gala di tahun 2016? 

“Mengerjakan Met Costume Institute Manus x Machina merupakan pengalaman luar biasa bagi saya. Meskipun saya tidak suka mengulang metode yang sama untuk karya berbeda, tapi ciri khas itu tetap ada. Seperti saat saya membangun sebuah bangunan di dalam bangunan. Posisi display Met selalu berubah setiap tahunnya, dan di 2016 saya diberi tempat di atrium belakang museum yang berposisi lurus dari pintu masuk—bangunan konkrit dari tahun ’70-an dengan posisi jauh di belakang hingga menjorok ke Central Park. Karena bangunan itu sangat besar, saya pun memutuskan untuk membuat bangunan lagi di dalamnya membentuk reka katedral. Saya memasang lantai baru, membuat dome di bagian atas, dan menutup semuanya dengan materi membran. Kenapa saya membuat bangunan di dalam bangunan? Karena area atrium tersebut dihujani sinar matahari, sedangkan garmen yang akan dipajang tidak bisa terekspos sama sekali oleh sinar natural. Hal tak terduga lainnya adalah di saat saya mendesain red carpet untuk Met Gala. Bila Anda ingat, karpetnya bercorak circular dalam tiga warna dan pada awalnya dianggap memberi distraksi berlebih untuk acara tersebut. Namun saat para selebritas berfoto di tangga Met, mereka cenderung memposisikan diri di tengah pola circular tersebut karena mereka pikir di situ lah posisi mereka seharusnya berada untuk berfoto dan menjadi mudah untuk memamerkan busana mereka yang indah.” 


The Met's "Manus x Machina: Fashion in Age of Technology" Costume Institute exhibition. Photography courtesy of OMA.

Setelah hampir dua dekade tinggal di New York untuk memimpin OMA, bagaimana rasanya kembali berkarya di Jepang untuk mengerjakan proyek besar seperti Toranomon Hills Station Tower ataupun ekshibisi Dior: Designer of Dreams

“Untuk Toranomon Hills Station Tower, semua berawal dari kompetisi yang diadakan Mori Group di tahun 2016 dan diikuti oleh tiga firma arsitektur dunia—OMA adalah salah satunya. Saat desain saya terpilih rasanya sungguh luar biasa. Gedung ini adalah skyscraper paling dinamis dan esktrover yang pernah saya buat. Sedangkan untuk ekshibisi Dior, saya diajak oleh kurator Denver Art Museum yang sangat menyukai karya saya untuk Met Costume Institute. Maka ekshibisi Dior: From Paris to the World pertama saya lakukan di Denver, Amerika Serikat, dengan gaya yang sangat kontemporer. Ekshibisi tersebut berlanjut ke Dallas hingga akhirnya terselenggara di Tokyo bertajuk Dior: Designer of Dreams dengan gaya yang sangat berbeda. Saya menginfusikan elemen Jepang ke setiap skenario seperti kertas khas Jepang yang membalut ruangan, lampion, hingga undakan. Saya juga menggantung kain bergambar foto dari forografer Jepang, Yuriko Takagi, yang memperlihatkan movement dari garmen yang dipajang. Setiap desainer Dior dibagi di areanya masing-masing, namun berkesinambungan. Busana-busana dari Galliano, Gianfranco Ferré, hingga Maria Grazia Chiuri memiliki continuity yang memperlihatkan perbedaan garis rancang masing-masing namun tetap konsisten dalam sebuah brand. Ekshibisi ini mendapat respon yang sangat baik dari publik. Salah satu yang membedakan penuntasan proyek bangunan dan ekshibisi adalah Anda mendapatkan respon yang langsung dan nyata dari sebuah pagelaran. Sedangkan pada bangunan, Anda merasa fulfilled bila tahu gedung tersebut digunakan dengan baik dan optimal oleh user-nya.”


"Christian Dior: Designer of Dreams" exhibition at the Museum of Contemporary Art Tokyo. Photography by Daici Ano. 

Congratulations, akhirnya Toranomon Hills Station Tower selesai dibangun di musim gugur ini. Sebagai arsitek, apa visi dan misi utama Anda dalam merancang Toranomon Hills Station Tower? 

“Saya berencana untuk membangun gedung pencakar langit jenis baru di Tokyo yang tidak semata berfungsi sebagai ruang komersial, namun juga dilengkapi dengan area perkantoran, hotel, dan memiliki sesuatu yang membangkitkan budaya. Didukung oleh lokasinya yang sangat strategis secara urban, bangunan ini memiliki konteks yang bagus karena dikelilingi banyak persimpangan jalan utama, bersebelahan dengan bangunan yang memiliki area taman, dan juga, memiliki stasiun Metro baru. Karakter accessible ini dengan mudah dapat menciptakan bangunan pencakar langit yang mampu didedikasikan untuk menjadi penghubung ke sejumlah jalan besar, penghubung bagi dinamisme publik, penghubung ke stasiun metro dan bisnis. Karena pada umumnya, gedung pencakar langit cenderung memiliki ‘dunianya’ sendiri dan lebih bersifat introvert. Sedangkan Toranomon Hills Station Tower didirikan dengan visi yang sangat extrovert—mencoba menjadi penghubung ke berbagai area dan program berbeda. Gedung ini tidak egois, seperti gedung pencakar langit pada umumnya. Di sini kami mencoba untuk dapat menciptakan sinergi di dalam sebuah bangunan pencakar langit.”


Toranomon Hills Station Tower Tokyo. Photography by Tomoyuki Kusunose. 

Bagaimana rasanya berdiri di hadapan bangunan yang akhirnya selesai Anda bangun? 

“Mengharukan. Saya selalu mengenang kerja keras tim di momen tersebut. Saya tidak mencoba menjadi orang berhati mulia dengan mengatakan ini, tapi nyatanya saya selalu mengingat masa-masa sulit yang kami lalui bersama. Saya juga sering bertanya-tanya pada diri sendiri karena sulit dipercaya—terlebih seperti mimpi—bahwa sayalah yang membangun gedung pencakar langit di Tokyo atau menggubah ekshibisi di Met. Maksud saya, momen seperti ini amat sangat merendahkan hati. Kemudian saya akan memikirkan bagaimana para tenants akan menggunakan gedung tersebut, meski saya mencoba untuk tidak mengevaluasi terlalu banyak, saya lebih suka mengamati bagaimana hal itu akan digunakan. Karena evaluasi biasanya sangat subyektif. Selalu ada perasaan yang menyenangkan ketika saya mengetahui bahwa bangunan tersebut telah digunakan dengan baik dan orang-orang menikmati penggunaan bangunan tersebut. Bagi saya, ini adalah salah satu momen terbaik dalam arsitektur ketika Anda melihat bangunan Anda selesai dan dihuni. Juga ketika kami ikut dalam kompetisi dan desain kami diterima oleh MORI Building—karena ini adalah desain yang sangat berisiko untuk dilakukan oleh pengembang, tetapi kami tetap memutuskan untuk memasang desain rumit itu, dan terpilih. Namun kembali lagi, tetap saja, tidak ada yang mengalahkan momen ketika Anda melihatnya selesai. Nothing beats that feeling.”


Tiffany & Co.'s flagship store in Manhattan, New York. Photography by floto+warner. 

Apa yang Anda lakukan saat sedang tidak membangun gedung atau mengkurasi ekshibisi?

“Mengajar. Saya pernah mengajar di Cornell, Columbia, Harvard, dan saat ini saya adalah Profesor di kampus tempat saya berasal, Kyushu University. Saya pikir, saat ini saya telah memiliki cukup banyak pengalaman dalam berkarier dan ingin membagikannya kepada budaya saya sendiri di Jepang.” 


"Christian Dior: Designer of Dreams" exhibition at the Museum of Contemporary Art Tokyo. Photography by Daici Ano.