LIFE

22 April 2022

Soraya Cassandra: Menyelami Keterhubungan Manusia dengan Alam


Soraya Cassandra: Menyelami Keterhubungan Manusia dengan Alam

Di tengah laju modernitas dan pembangunan skala masif, Siti Soraya Cassandra menekankan signifikansi gaya hidup lestari dan keterhubungan manusia dengan alam.

Perempuan dan alam sering kali berada dalam posisi marginal. Kepentingan keduanya jarang dibahas dalam konteks yang lebih presisi. Padahal ada kebutuhan alam untuk bertumbuh dan penting bagi perempuan untuk berperan dalam upaya pelestarian lingkungan. Setidaknya itu yang mendasari gerakan aktivisme yang dilakukan Siti Soraya Cassandra. Cassandra meraih dua gelar sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Bachelor of Arts in Psychology dari University of Queensland, Australia. Lulus kuliah, ia bekerja sebagai Student Learning Officer di Sampoerna School of Business dan bertugas merancang seluruh program pembelajaran serta mengelola integrasinya ke dalam kebijakan sekolah. Selain juga memberikan konseling mahasiswa secara berkala dan merancang strategi pembelajaran dengan dosen. Tahun 2012, Cassandra menjadi bagian dari Gerakan Indonesia Mengajar dimana ia mengajar di Desa Lumasebu, Maluku Tenggara Barat. Satu tahun kemudian, Cassandra memasuki dunia korporat dengan menduduki posisi Social Performance Adviser di Shell Upstream Indonesia Services. Nyaris tiga tahun berkarier, Cassandra kemudian memutuskan keluar dari perusahaan untuk fokus mengembangkan Kebun Kumara.

Berasal dari Bahasa Sanskrit, Kumara berarti generasi penerus. Ketika awal Kebun Kumara didirikan pada Juli 2016 silam, Cassandra membayangkan kelak generasi di masa depan yang hidup di perkotaan dapat memiliki pengalaman dan hubungan yang mendalam dengan alam. “Sejatinya manusia dan alam bukan dua hal yang terpisah lalu berjalan beriringan, melainkan satu kesatuan yang hidup dalam satu denyut nadi kehidupan yang sama. Sebab itu Kebun Kumara ingin menyatukan kembali relasi antara manusia dan alam,” ujar Cassandra. Gairahnya pada edukasi dan pengalaman berbasis pendidikan membuat perempuan ini merancang Kebun Kumara sebagai pintu masuk yang berlandaskan sistem pengajaran dan pelatihan. Menghubungkan kembali masyarakat kota dengan alam dan mencanangkan penerapan gaya hidup lestari, salah satunya dengan berkebun. Sebuah kebun belajar yang memberdayakan masyarakat perkotaan untuk mencapai keseimbangan dan gaya hidup berkelanjutan melalui edukasi dan layanan edible landscaping.

Berlokasi di Situ Gintung, Tangerang Selatan, Kebun Kumara menyelenggarakan kegiatan belajar berkebun, mulai dari pengomposan, permakultur, dan pendaurulangan sampah. Seluruh lokakarya mencakup prinsip-prinsip dasar serta solusi praktis dan terapan untuk menumbuhkan kesadaran peduli lingkungan. Sebagai sebuah bisnis, Kebun Kumara tak hanya menyuguhkan jasa edukasi tapi juga menawarkan jasa lanskap dengan cara membantu proses penggarapan konstruksi desain kebun pangan, termasuk perawatannya, di rumah-rumah, sekolah, lahan komunitas, dan sebagainya. Mengubah halaman rumput, pekarangan, balkon, atap, dinding, dan petak lahan kosong menjadi lanskap holistik yang menyehatkan manusia dan alam.

photography Dok. Kebun Kumara

Mengapa memilih kebun sebagai jalan masuk?

“Saya lahir dan besar di Jakarta. Seiring dewasa, saya kerap bertanya-tanya, kenapa kalau mau dekat dengan alam maka kita harus pergi jauh-jauh ke pantai dan hutan? Mengapa susah sekali menemukan lahan hijau yang nyaman di kota ini? Saya merasa, jangan-jangan ketidakpedulian orang perkotaan pada lingkungan disebabkan oleh terputusnya manusia dengan alam. Saya kemudian berusaha menghubungkan kembali kehidupan kota dengan alam dan memilih kebun sebagai pintu masuknya. Alih-alih mencari pantai dan hutan, saya percaya kebun bisa menjadi jalan yang baik untuk menghadirkan kembali alam di rumah-rumah perkotaan. Setiap orang bisa menumbuhkan lahan hijau di rumahnya masing-masing, dan kebun menjadi wadah yang begitu sempurna untuk seseorang secara intensif punya hubungan yang intim dengan alam. Berkebun adalah suatu kegiatan yang mengharuskan kita memupuk, menyiram tanaman, dan merawat alam. Serangkaian rutinitas yang membuat aktivitas berkebun cenderung efektif untuk kita berinteraksi dengan alam.”

Apa tantangannya?

“Banyak sekali perspektif yang lahir akibat keterputusan manusia dengan alam. Misalnya, merasa takut memegang cacing dan menganggap tanah itu kotor hingga selalu waswas setiap kali menginjak tanah. Kita tidak punya hubungan yang intim dengan alam sampai-sampai menyentuhnya pun bikin khawatir. Padahal bagaimana mungkin bisa menjaga Bumi, apabila kita tidak mengenalnya dengan baik. Ini menjadi tantangan tersendiri ketika saya hendak mengajak orang berkebun. Sering kali saya menemui anak-anak dan orang dewasa yang mencemaskan kakinya kotor kalau main di kebun. Biasanya saya mencontohkan betapa asyiknya menyentuh tanah dan memegang daun. Dan menjelaskan bahwa tanah yang subur tidak lepas dari peran dan fungsi cacing. Berbagai sudut pandang yang membuat kita tidak lagi berjarak dengan alam. Dan selalu menekankan bahwa sesungguhnya mereka bukan sedang berguru kepada saya, melainkan dengan alam itu sendiri yang selalu mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, kegigihan, kesuksesan, kegagalan, dan keanekaragaman. Sebuah tantangan bagi saya untuk mengubah perspektif. Yang tadinya alam dianggap mengerikan, kini dipahami alam yang menyeimbangkan, menguatkan, sekaligus menopang kehidupan seluruh umat manusia.”

Hal apa yang signifikan dalam upaya pelestarian alam?

“Sistem pendidikan menjadi sangat penting ketika kita membahas isu lingkungan. Tidak hanya mempelajari alam, tapi juga memahami apa yang dimaksud dengan keberlanjutan. Kita semua perlu memahami bagaimana pentingnya berbisnis tanpa merusak lingkungan, seberapa signifikan penerapan konsep ‘zero waste’ dan ‘waste management’, dan mengapa sustainable fashion menjadi sangat penting belakangan ini. Konsep keberlanjutan itu sendiri merupakan diskursus yang harus terus-menerus dipelajari agar kita selalu berusaha mencari cara untuk membuat segala sesuatunya menjadi lestari.”

Terkait keberlanjutan, seberapa penting kita perlu berpihak pada produsen lokal?

“Aspek lokal mempunyai peran besar ketika kita menginginkan hidup yang sustainable. Jika ingin menerapkan kelestarian, maka upayakan membeli barang-barang lokal karena produksinya hampir pasti lebih dekat sehingga biaya untuk bisa sampai di tangan kita juga lebih sedikit. Produk lokal selalu menjadi elemen penting dalam konsep keberlanjutan. Tapi apakah artinya harus 100% memakai barang lokal? Saya rasa tidak demikian. Kadang ada barangbarang yang diproduksi di luar negeri, namun cara produsennya menjalani bisnis barangkali sesuai dengan konsep keberlanjutan. Namun buat saya, yang utama adalah memiliki kedekatan dengan alam. Memahami bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam selalu ada hubungannya dengan manusia. Dan senantiasa memupuk kepedulian sampai akhirnya kita bisa kritis pada hal-hal lain dalam hidup kita. Dari mana asal pangan yang saya konsumsi? Bagaimana pembuatan produk kecantikan yang saya pakai? Apakah sudah saatnya saya mulai mempertimbangkan opsi pakaian ‘second hand’ dan ‘thrift shop’? Pertanyaan-pertanyaan kritis yang baru bisa muncul apabila kita sudah punya kedekatan dengan Bumi dan lingkungan.”

photography Dok. Kebun Kumara

Menjadi petani adalah cita-cita yang jarang sekali kita dengar hari ini. Warga kota tidak minat bertani, anak-anak petani barangkali juga lebih memilih bekerja di kota. Jika demikian terjadi, Indonesia sebagai negara agraris akan mengalami krisis petani. Bagaimana Anda melihat persoalan ini?

“Meski sudah ada beberapa upaya agar anak-anak petani mau meneruskan usaha pertanian, namun persoalan ini masih menjadi salah satu kekhawatiran banyak orang termasuk saya. Entah kenapa, makin berkualitas pendidikan seseorang, maka makin besar keinginan orang tersebut untuk meninggalkan desa lalu pindah ke kota. Memang tak bisa dipungkiri, profesi petani masih dilihat sebagai pekerjaan yang tidak menjanjikan karena sistem industri pangan kita juga tidak menguntungkan bagi para petani. Pertanyaannya, pendidikan kita sebenarnya membawa kita ke arah mana kalau makin kita cerdas justru kita makin terlepas dari akarnya? Ada orang pernah bertanya, apakah Kebun Kumara sedang berusaha mendidik anak-anak agar jadi petani? Saya rasa tidak. Mengharapkan setiap orang jadi petani sama saja dengan menginginkan semua orang jadi dokter atau insinyur. Kita bebas mengerjakan apa pun yang kita mau, tapi pastikan kita punya kepekaan karena semua pekerjaan tidak mungkin tidak berhubungan dengan lingkungan. Baik itu bisnis pangan, transportasi, fashion, kecantikan, bahkan teknologi pasti punya dampak terhadap lingkungan. Maka menjadi penting untuk menumbuhkan kepedulian pada alam agar setiap mengambil keputusan, kita tidak menjadi manusia serakah yang merusak lingkungan.”

Bagaimana Anda melihat keterhubungan perempuan dengan alam?

“Saya selalu merasa perempuan dan alam punya keterhubungan yang unik karena Bumi mempunyai aspek-aspek feminitas yang juga dimiliki oleh perempuan. Bumi selalu digambarkan dengan sifat-sifat khas perempuan yakni mengasihi, memelihara, menumbuhkan, memberi, dan mengayomi. Perempuan dan Bumi sama-sama selalu memberi dan menyediakan segala sesuatunya agar semua makhluk dapat bertahan hidup. Tak heran apabila kita kerap mendengar istilah ‘Bumi Pertiwi’ dan ‘Mother Nature’ yang bersinonim dengan alam. Dalam pergerakan kelestarian lingkungan, perempuan sepatutnya menjadi ujung tombak perjuangan karena perempuan melakukan segala sesuatunya berlandaskan nilai kepedulian. Perempuan memiliki daya dan upaya untuk menggerakkan perubahan lingkungan karena perempuan berinteraksi dengan cara-cara yang mirip dengan alam. Selain juga tak jarang, rasa cinta kerap menjadi alasan utama mengapa perempuan membuat sebuah perubahan. Termasuk dalam isu sosial dan lingkungan.”