LIFE

18 Oktober 2022

Tatjana Saphira Telah Menemukan Pembebasan Hati dan Keberdayaan Di Tengah Arus Kehidupan


PHOTOGRAPHY BY Ifan Hartanto

Tatjana Saphira Telah Menemukan Pembebasan Hati dan Keberdayaan Di Tengah Arus Kehidupan

styling by Ismelya Muntu; fashion by Celine; makeup & hair Ryan Ogilvy

Dua proyek layar lebarnya telah menyemarakkan sinema Indonesia, dan dua judul karya berikutnya pun sedang mengantre penayangan sebelum 2022 berakhir. Di tengah kebisingan kehidupan itu, Tatjana Saphira mencurahkan perasaannya tentang bagaimana ia berjuang menemukan ketenangan.


Tatjana Saphira tak ada waktu untuk bermalas- malasan. Selang sehari kepulangannya dari Singapura usai pemotretan cover ELLE Indonesia, ia segera bertolak ke Surabaya, Jawa Timur, untuk bergabung dengan para koleganya mengawal gala premier film Lara Ati. Lalu dari Surabaya, agenda perjalanannya berlanjut keliling beberapa kota di Pulau Jawa untuk rangkaian promo layar lebar besutan Bayu Skak tersebut sampai penayangan resminya di bioskop pada 15 September 2022. “Sepertinya film Lara Ati adalah salah satu proyek paling berisiko yang pernah saya ambil,” Tatjana bercerita ketika kami berbicara melalui sambungan telepon—satu-satunya cara untuk menjangkau dirinya selama beberapa minggu ke depan—pada petang hari itu. Saat saya menghubunginya, ia baru saja tiba di kamar hotel sejak pagi tadi mendarat di bandara Surabaya, dan langsung menuju lokasi premier. Sebelum obrolan kami berkembang jauh, saya menginterupsinya bilamana ia ingin beristirahat sehabis menjalani hari yang panjang. “It’s okay, saya sedang bersantai sekarang,” kata Tatjana. Suaranya yang ramah terdengar ringan, meski saya bisa menangkap semburat lelah dalam suaranya. Ia lalu kembali membicarakan karya teranyarnya.

“Sudah sejak lama, saya mengetahui visi Bayu Skak yang ingin mendobrak stigma perihal industri hiburan Indonesia hanya terpusat di Jakarta, dan saya berharap bisa ikut andil mendukung misi tersebut. Ketika mendapat tawaran bermain dalam film ini, sepertinya saya terlalu antusias, sehingga tidak sepenuhnya menyadari kalau sebagian besar dialognya menggunakan bahasa Jawa khas Surabaya,” ujarnya melepas tawa ringan sesaat, “What did I get myself into! Saya tidak tahu apa pun tentang dialek Surabaya. Walaupun saya memiliki keluarga berlatar belakang Jawa-Solo, tetap saja budaya serta pelafalan bahasanya berbeda.” Tantangan peran itu ditambah dengan waktu persiapan yang super singkat; tak lebih dari dua minggu. Pantang mundur, Tatjana pun memanfaatkan waktunya secara intensif untuk mempelajari dialek Jawa-Surabaya bersama Bayu Skak yang juga merupakan pasangan mainnya. Ia merekam setiap sesi latihan menggunakan ponsel; kemudian, setiap malam sebelum syuting adegan, ia akan memutarnya berulang kali sembari kembali mempelajari skripnya. Kendati ia sesungguhnya tahu adalah mustahil menguasai bahasa berusia ratusan tahun dalam waktu singkat, namun Tatjana enggan sekadar menjadi aktor hafalan. “Penting untuk saya mengetahui arti dari setiap kata yang saya ucapkan, dan memahami pesan yang ingin disampaikan. Saya ingin melakukannya dengan benar,” kata Tatjana.


Lara Ati bukan satu-satunya proyek filmnya yang tayang pada tahun ini. Bulan Juli silam, figur Tatjana telah lebih dulu tampil kembali sebagai Naya dalam Ghost Writer 2. Lalu di bulan November mendatang, Perempuan Bergaun Merah dijadwalkan siap untuk dilepas ke pasaran, sebagaimana dikabarkan oleh Timo Tjahjanto (selaku produser filmnya) kepada ELLE. “Banyak pengalaman akting baru yang saya dapat dari syuting Perempuan Bergaun Merah,” tutur Tatjana menyoal proyek film horor perdananya tersebut. Ia kemudian bercerita bagaimana setiap set adegan simultan menantang kapabilitas berperannya secara fisik hingga mental. Di sini, saya lantas teringat akan cerita Chelsea Islan manakala ia harus berjibaku memanjat kubangan tanah sembari terus menerus diguyur air saat syuting Sebelum Iblis Menjemput; penasaran, saya pun bertanya aksi seperti apa yang dilalui oleh Tatjana. “Di salah satu scene, saya dituntut bergerak selayaknya sang hantu; yang mana adegannya penuh koreografi aksi yang cukup rumit,” jawabnya tanpa berusaha membocorkan jalan cerita dan merusak rasa penasaran saya.

Tatjana, yang mengawali karier sebagai model iklan komersial dan bintang video musik, telah berjalan di ranah seni peran sejak tahun 2013. Selama sembilan tahun terakhir, ia menunjukkan kompetensi berakting dengan pilihan karakter yang beragam. Tercatat ia pernah memerankan pasien kanker dalam I Am Hope (2016); bermain musikal sebagai perempuan lanjut usia yang mengulang masa muda di Sweet 20 (2017); menjadi bintang idola yang terbelenggu pakem industri hiburan di Hit & Run (2019); hingga menjunjung integritas seorang penulis dalam Ghost Writer (2019). Sepanjang pengalamannya menyelam ke dalam satu karakter kemudian berpindah ke karakter lainnya, tidak pernah membuat Tatjana kehilangan arah identitas. Aktris pemenang penghargaan Pemeran Wanita Terfavorit dalam ajang Indonesian Movie Actor Awards 2018 (atas kepiawaiannya berperan di Sweet 20) itu mengaku selalu mampu memisahkan narasi fiksi dalam set dengan realitasnya. Tetapi kedalaman emosional karakternya di Perempuan Bergaun Merah yang intens rupanya cukup, untuk pertama kalinya, memengaruhinya secara pribadi.


“Peran yang saya mainkan digambarkan selalu panik dan diselimuti kecemasan. Saya pun diharapkan untuk terus menjaga emosi tersebut berada di level intens dari satu scene ke scene berikutnya,” ceritanya. Anda tahu apa yang terjadi saat lama mempertahankan kesinambungan? Keadaan konstan. Tanpa sadar, Tatjana menjelmakan karakternya ke dalam kesehariannya di luar waktu syuting. Ia mengungkap, “Pembawaan diri saya jadi tegang, dan raut wajah saya tampak suntuk setiap saat.” Ia seolah-olah lupa caranya tersenyum bahagia. Kondisi tersebut mendekapnya selama kurang lebih satu bulan ia menghidupkan karakter Dinda (nama karakternya dalam film besutan sutradara William Chandra tersebut). Sampai membuat orang-orang di sekelilingnya turut khawatir. “Beruntungnya kemuraman itu dapat saya lepaskan begitu rampung pengambilan gambar terakhir,” kisah Tatjana.

Dapat menghayati kehidupan manusia di luar realitas diri sendiri sejatinya wujud keindahan seni peran, dan bisa dibilang merupakan keuntungan melakoni profesi keaktoran. Tetapi bilamana fiksi mulai mengusik alam realitas; apakah keistimewaan itu masih suatu keberuntungan? “Seni peran sesungguhnya cukup membebaskan, setidaknya begitu yang saya rasakan. Manusia hanya punya satu kehidupan; kita menjalaninya dengan diri kita yang hanya satu ini. Tapi dengan berperan, saya memiliki privilese untuk dapat hidup mengenakan ‘sepatu orang lain’,” pendapat Tatjana. Menekuni seni peran diakui oleh nomine Pemeran Utama Wanita Terbaik Festival Film Indonesia tahun 2017 itu telah membantunya menyadari sebuah kapasitas yang tak pernah ia sangka memilikinya, yakni rasa percaya diri.


Tatjana Saphira menghabiskan kehidupan masa remajanya berkarier di jagat hiburan Indonesia. Pilihan profesinya lekat dengan popularitas; suatu kondisi yang menempatkan sosoknya dikenali dan dinilai oleh masyarakat luas; suatu kondisi yang memicu pergulatan batin dalam diri Tatjana. Ketika hidup di bawah sorotan, figur Anda dengan segala gerak-gerik yang Anda lakukan senantiasa diperhatikan; bahkan mungkin dijadikan sebagai acuan. Dan sebagai acuan, Anda harus menjadi ideal. Tidak jarang persepsi tersebut membuat Anda berusaha keras membentuk diri sebagaimana diharapkan. Lalu ketika suatu waktu Anda tidak memenuhi ekspektasi ideal—yang dianggap oleh banyak orang—Anda merasa tidak cukup sebagai seorang manusia.

Sebagaimana terjadi pada kebanyakan orang yang tengah mengalami gejolak hormon, Tatjana juga menghadapi persoalan kulit berjerawat yang kerap dinilai—oleh sebagian besar kalangan—jauh dari kesempurnaan. Sementara itu, sebelum kampanye inklusif dan keberagaman menjadi isu sosial yang sentral, persepsi paling lazim—yang tak sedikit masih ditemukan sampai hari ini—tentang kecantikan seringkali dipatok dengan kulit cerah, bersih, halus, mulus, senantiasa muda. Kenyataan bahwa ia tak memenuhi kriteria tersebut cukup menurunkan kepercayaan dirinya, terlebih dengan tuntutan dunia profesinya. “Terkadang, saya merasa seperti seorang penipu. Dalam gambaran papan billboard, televisi, ataupun majalah, orang melihat sosok saya layaknya manusia tanpa cela. Padahal kenyataannya saya memiliki cela tersebut,” tutur Tatjana. Sempat ada fase di mana ia merasa malu atas penampilannya sampai mengurung diri di rumah. “Beberapa tahun lalu, saya pernah berada di titik depresi oleh karena penampilan saya; segala cara saya tempuh agar keluar dari permasalahan ini, dan tak satu pun benar-benar berhasil,” akunya. Rasa frustasi itu ditambah dengan kecemasannya akan pandangan orang lain. Ia merasa mengecewakan orang banyak bilamana kenyataan yang ia genggam berbeda dari gambaran publik. Ia merasa semu.


Pengalaman itu diakui Tatjana cukup mengguncang kesehatan mentalnya. “Barangkali itu juga yang lantas menyebabkan saya kurang memiliki rasa percaya diri dan kerap insecure. Kadang juga jika terlalu lama bersinggungan dengan banyak orang, berada di antara kerumunan, menimbulkan perasaan tidak nyaman hingga memicu stres cukup tinggi,” ungkapnya. Baru saja saya bersiap menimpalinya, Tatjana sudah kembali bicara, “Kedengarannya ironis ya; bagaimana bisa orang yang tidak memiliki rasa kepercayaan diri bekerja di dunia entertainment. Tapi saya sadar kalau harus mengakui bahwa saya hanya manusia, yang punya banyak celah, yang harus menghadapinya setiap hari; dan manusiawi bila merasa insecure karenanya.” Dalam diam, saya tersenyum menyepakatinya. Berani mengakui ketidaksempurnaan ialah langkah awal Tatjana berproses mencintai diri sendiri. “Saya belum seutuhnya berdamai dengan segala ketidaksempurnaan yang saya miliki. Lagipula, bukan sifat manusia untuk merasa cukup. Setiap hari saya berjuang melalui setiap tantangan yang dihadirkan oleh hidup. Tapi setiap harinya juga saya belajar untuk bisa menerima diri sendiri, unconditionally, dalam kondisi apa pun,” katanya.


Belajar menerima diri sendiri turut mengantarkan Tatjana memupuk rasa empati yang tinggi. “Saya merasa seperti memiliki tanggung jawab untuk membantu menguatkan orang lain yang tengah bergelut menghadapi persoalan serupa,” ujarnya. Media sosial menjadi sarananya bersuara terbuka. Kendati tidak selalu secara lugas, mengingat perempuan kelahiran 1997 ini mengeklaim dirinya berkpribadian introver; Tatjana berusaha sebisa mungkin menjauhi penggunaan filter editing photo ketika mengunggah foto di media sosial. Kerap kali, ia bahkan menampilkan diri tanpa riasan, menunjukkan kulitnya yang berjerawat dan tidak sempurna. Dari 1,8 juta pengikutnya pun tidak selalu memujanya. Di antara orang-orang yang mengaguminya, ada pula orang-orang yang mencemooh keberaniannya. “Saya tidak lagi memikirkan apa kata orang. Saya hanya berusaha jujur pada diri sendiri. Faktanya, saya cuma seorang manusia yang kehidupannya tidak selalu sempurna sebagaimana eksistensi saya dalam film maupun media lain,” suaranya tegas.

Sebelum mengakhiri sambungan telepon dan membiarkannya berisitrahat, saya bertanya terakhir kali; apakah menggungaah foto-foto tersebut menghapus rasa insecure dalam dirinya? “Tidak seratus persen, but I feel empowered,” jawab Tatjana.