LIFE

13 Oktober 2023

Tissa Aunilla Menggerakkan Bisnis Inklusif dengan Memberdayakan Pertanian Cokelat Indonesia


PHOTOGRAPHY BY doc. TISSA AUNILLA

Tissa Aunilla Menggerakkan Bisnis Inklusif dengan Memberdayakan Pertanian Cokelat Indonesia

Pada saat Pipiltin Cocoa didirikan, Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga di seluruh dunia, setelah Pantai Gading dan Ghana, yang tersebar di berbagai pulau dan provinsi, seperti Ransiki Papua Barat, Aceh, Kampung Merasa di Kalimantan Timur, Jawa Timur, Flores, dan Bali. Setiap cokelat dari masing-masing daerah memiliki rasa yang unik dan keunikan itu dipengaruhi oleh iklim, suhu, dan tempat tumbuhnya tanaman kokoa. Namun meski Indonesia dikenal sebagai penghasil cokelat yang tersebar di berbagai pulau, nyatanya masih cukup sulit mencari produk olahan cokelat lokal. Biji kakao Indonesia malah banyak dijual untuk berbagai produsen cokelat di Eropa dengan menjadikan cokelat Indonesia sebagai bahan baku produk premium mereka. Maka bukan hanya diperlukan edukasi terkait gagasan untuk mengonsumsi cokelat lokal, melainkan juga perlu adanya upaya untuk memberdayakan kesejahteraan petani cokelat di pelosok Nusantara sebagai salah satu cara untuk menjaga keberlangsungan produksi kakao serta meningkatkan mutu dan produktivitas bahan baku. Langkah tersebut yang dijalankan oleh Tissa Aunilla melalui sebuah kemitraan yang terjalin antara dia sebagai pelaku usaha bisnis kakao dengan para petani cokelat di Indonesia. Bersama sang adik, Irvan Helmi, ia mendirikan Pipiltin Cocoa pada tahun 2013.


Sebagai persiapan mendirikan perusahaan, Tissa mengambil program Master Chocolatier di Felchlin Condirama, Schwyz, Swiss, 2011 silam. Ia juga salah satu anggota ASEAN Young Business Leaders Initiative, sebuah program yang dikelola oleh Asia New Zealand Foundation atas nama Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru. Sebelum mendirikan Pipiltin Cocoa dan menekuni dunia cokelat, Tissa merupakan seorang pengacara yang bekerja sebagai corporate lawyer. Tercatat ia pernah bekerja di Assegaf, Hamzah & Partners (2006-2010), salah satu firma hukum terbesar di Indonesia. Tissa Aunilla meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia pada 2001, kemudian melanjutkan studi pascasarjana di Faculty of Law, Utrecht University, Netherlands. Tujuh tahun mengembara dunia profesional di bidang hukum, perempuan kelahiran 1978 tersebut lantas meninggalkan zona nyaman dan kepastian karier untuk fokus mengembangkan cokelat lokal dan memberdayakan petani cokelat di Indonesia.  

Berlatar belakang pendidikan hukum kemudian bertahun-tahun bekerja sebagai pengacara, apa yang membuat Anda ingin menekuni bisnis cokelat?  
“Sejak kecil saya sudah tertarik dengan dunia pangan, senang mencoba dan mengulik makanan. Suatu waktu, saya mencoba sebuah cokelat merek dari Swiss dan rasanya enak sekali. Pas saya lihat ingredients-nya tertulis cokelat tersebut memakai biji kakao dari Jember, Jawa Timur. Saya terkejut, bangga sekaligus sedih karena bagaimana bisa cokelat asli Indonesia justru diproduksi di luar negeri dengan rasa dan kualitas yang sebaik itu. Sementara di sini, kita sulit menemukan cokelat single origin yang asli Indonesia dan justru lebih familiar dengan cokelat-cokelat impor. Setelah itu saya tertarik untuk mengulik lebih jauh. Saya belajar cukup serius tentang cokelat di samping menjalani rutinitas sebagai lawyer. Bersama adik saya yang juga passionate dengan cokelat dan kopi, kami mulai mencari-cari mesin dan peralatan bikin cokelat. Tahun 2010, saya memutuskan resign untuk serius menekuni bisnis cokelat. Butuh waktu tiga tahun proses belajar dan riset sampai akhirnya kami memutuskan mendirikan Pipiltin Cocoa.”

Satu tahun pertama, apa tantangannya?
“Waktu itu kami melihat tidak sedikit hotel-hotel bintang lima kebanyakan memakai cokelat dari Prancis dan Swiss. Jadi ada kesempatan untuk kami memproduksi cokelat premium. Tantangannya, how to grab the market? Orang Indonesia tidak terbiasa mengemil cokelat batangan. Kita lebih familiar dengan jajanan pasar atau kue basah. Maka itu ketika awal Pipiltin berdiri, kami memasarkan cokelat Indonesia dengan mendirikan sebuah café dan restoran dan menjual cokelat dalam bentuk sajian desserts yang lebih lazim buat orang Indonesia ketimbang langsung menjualnya dalam bentuk chocolate bar. Enam bulan pertama Pipiltin café ramai dan sering kali pengunjung harus waiting list, tapi lama-kelamaan orang mencoba sekali lalu enggak balik lagi. Akhirnya kami menerapkan strategi dengan membuka cabang di dalam mal dan memasukkan cokelat-cokelat Pipiltin ke supermarket dan hotel-hotel.”

Seperti apa keberagaman cokelat di Indonesia?  
“Saat ini Pipiltin menggunakan cokelat dari enam daerah di Indonesia. Cokelat Aceh memiliki memiliki rasa yang bold dengan sedikit aroma tembakau dan rempah. Saat ini ada 210 keluarga petani kakao di wilayah Aceh. Cokelat Jawa Timur memiliki aroma kismis dengan sedikit wangi madu. Ada 8.468 keluarga petani kakao di wilayah tersebut. Rasa buah berry yang kompleks jelas terasa saat kali pertama mengunyah cokelat Bali. Sensasi rasa caramel perlahan muncul di bagian akhir. Saat ini terdapat 677 keluarga petani cokelat di Bali. Dan ada lebih dari 1.000 keluarga petani di Flores. Perpaduan tanah kering dengan pasir dan batu kapur memberikan karakter unik pada cokelat Flores dengan rasa cengkeh dan kopi. Sedangkan cokelat di Ransiki, Papua Barat, ditanam di daerah penyangga pegunungan Arfak Papua Barat, sebuah rumah bagi burung Cenderawasih. Saat ini ada 130 keluarga petani cokelat di Raansiki yang cokelatnya memiliki rasa pedas sekaligus umami atau gurih. Perkebunan cokelat di Kampung Merasa, Kalimantan Timur, menghasilkan cokelat dengan intensitas sedang dan rasa jeruk (citrus) serta madu. Bukan sekadar cokelat biasa, tapi punya banyak dimensi yang dibudidayakan di Kampung Merasa yakni mendukung konservasi keanekaragaman hayati dengan budaya Dayak sekaligus melindungi habitat Orangutan. Ada sekitar 100 keluarga petani kakao di wilayah tersebut.”   

Apa upaya yang Anda lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani cokelat?
“Para petani yang bekerja sama dengan Pipiltin, puluhan tahun menjadi petani cokelat tapi enggak pernah makan cokelat. Mereka merasa enggak punya relevansi dengan cokelat sebagai makanan, mereka tidak tahu biji cokelat itu ke mana setelah dibeli oleh perantara, bahkan tidak tahu bahwa chocolate bar yang rasanya enak itu dibikin dari biji kakao hasil tanam mereka. Kami ingin menjadi perusahaan yang sustainable yang bisa menyambung kembali rantai pasoknya agar para petani cokelat punya keterhubungan dengan biji cokelat. Kami juga ingin Pipiltin menjadi perusahaan bisnis yang inklusif yang merangkul semua orang yang terlibat dalam rantai pasok sehingga tidak ada yang terputus. Termasuk membeli biji kokoa hasil para petani 40-50% di atas harga pasar, sebab kami ingin memperoleh biji yang berkualitas sehingga kami juga harus membayar dengan harga yang layak.”

Sebagai negara penghasil cokelat terbesar di dunia, menurut Anda kenapa cokelat Indonesia belum terlalu populer dan masyarakatnya masih familiar untuk membeli cokelat luar negeri ketimbang cokelat lokal?   
“Kalau bicara cokelat, negara-negara Eropa sudah ratusan tahun lalu memulai proses pembuatan cokelat, sementara kita terlambat dan butuh waktu untuk melihat potensi dan sumber daya cokelat. Selain juga karena Indonesia tidak cukup lazim dengan budaya makan cokelat dan tidak sesering itu mengonsumsi cokelat. Ketimbang chocolate bar, cokelat harus diolah dan dibikin menjadi ice cream atau cake, barulah kita orang Indonesia merasa punya relevansi dengan cokelat. Berbeda dengan kopi, para petani kopi terbiasa minum kopi di mana proses pengolahan biji kopi lebih ‘simpel’ ketimbang proses pengolahan biji cokelat. Budaya minum kopi pun sangat erat dengan kultur masyarakat Indonesia. Itulah kenapa Pipiltin tidak hanya menjual cokelat batangan, tapi juga mengeluarkan produk soft ice cream sebagai upaya kami beradaptasi dengan kebiasaan orang Indonesia sekaligus salah satu cara agar masyarakat Indonesia mengonsumsi cokelat asli Indonesia.”  

Berlatar belakang pendidikan ilmu hukum dengan pengalaman karier sebagai corporate lawyer, lalu menekuni bisnis cokelat dan memberdayakan para petaninya. Dengan berbagai tantangan, apa yang menguatkan Anda?
“Buat saya, bisnis itu tidak cukup hanya dengan mengutamakan profit. Saya juga tidak pernah menjadikan uang sebagai satu-satunya motivasi. Saya sendiri merasa butuh untuk punya suatu alasan dan ‘sense of reason’ dalam menjalankan pilihan hidup dan memilih karier agar ketika dalam perjalanannya saya menemukan kesulitan, maka saya tetap punya semangat untuk terus gigih berjuang dan bergerak maju. Kalau motivasi saya hanya uang, maka saya bisa segera meninggalkan semuanya lalu mengganti haluan saat saya merasa buntu dengan segala kendala dan kesusahan. Bisnis cokelat memang tidak gampang, tapi sangat rewarding. Terdengar klise memang, tapi cukup penting buat saya untuk menemukan jalan agar saya bisa membantu mengembangkan komunitas dan memberdayakan orang lain dengan sedikit kontribusi dari apa yang bisa saya lakukan. Mengetahui bahwa saya dapat menyumbang hal baik bagi kesejahteraan hidup banyak orang dan bisa ikut melakukan sesuatu yang membanggakan Indonesia, maka rasanya saya tidak perlu alasan apa pun untuk menyesal apalagi merasa ingin kembali ke jalur karier sebelumnya,”