18 Maret 2019
Women in Cinema: Perempuan Menyoroti Persoalan Film Indonesia

Sebagai karya seni, sinema menjadi refleksi dan representasi kehidupan manusia. Ia memiliki fungsi-fungsi kemanusiaan yang tinggi. Barangkali bagi sebagian orang, sinema dipandang sebatas medium yang gunanya untuk menghibur. Namun sejatinya, sinema merupakan artefak budaya yang berperan sebagai penyampai informasi serta sarana edukasi yang persuasif. Ia bahkan merefleksikan sebuah bangsa dan mampu mengubah pikiran serta menyentuh rasa. Perannya begitu penting. Dan karena itu, para pelakunya pun menjadi signifikan.
Dalam edisi spesial kali ini, kami mengedepankan para perempuan di industri perfilman Indonesia. Sebagian dari seluruh sosok pekerja seni yang berdedikasi dalam perfilman Tanah Air. Mereka ialah Adinia Wirasti (aktris), Bunga Citra Lestari (aktris), Dian Sastrowardoyo (aktris), Jajang C. Noer (aktris), Julie Estelle (aktris), Laura Basuki (aktris), Marsha Timothy (aktris), Mira Lesmana (produser), Nia Dinata (produser dan sutradara), Sheila Timothy (produser), Tara Basro (aktris), Tatjana Saphira (aktris), Velove Vexia (aktris), dan Widyawati Sophiaan (aktris).
Kontribusi perempuan di industri perfilman tidak semata-mata pelengkap yang mempercantik estetika demi kepuasan mata penonton. Ada perspektif yang feminin namun terasa kuat dan berdaya manakala kita tempatkan perempuan sebagai subjek dalam produksi perfilman. Kontribusi positif dapat ditelisik lewat rekam jejak perempuan di industri ini dari masa ke masa. Yang pada akhirnya, seluruh dedikasi dan konsistensi dilakukan untuk mengembangkan perfilman Tanah Air dengan cara mereka sendiri – cara kaum perempuan.
Bagaimana kisah ketika pertama kali masuk ke industri perfilman Indonesia?
Sheila Timothy: Tahun 2007, adik saya (Marsha Timothy) sudah lebih dulu main film. Saat itu saya belum menemukan naskah yang saya suka. Hingga akhirnya bertemu sutradara Joko Anwar yang datang dengan naskah Pintu Terlarang, dan saya jatuh cinta. Bersama suami, kami lantas mendirikan rumah produksi Lifelike Pictures dengan Pintu Terlarang sebagai film pertama yang kami produksi.”
Dian Sastrowardoyo: “Tahun 1999, saya masih kelas 2 SMA dan mulai berperan di film Bintang Jatuh. Sebenarnya saat itu saya maunya belajar jadi sutradara. Mas Rudy Soejarwo, sutradara Bintang Jatuh, bilang bahwa posisi asisten sutradara sudah terisi. Akhirnya saya diajak jadi pemainnya. Setelah itu dihubungi Mbak Mira Lesmana untuk ikut casting Ada Apa Dengan Cinta? yang lantas menjadi sangat popular. Namun sesungguhnya saya tidak akan punya karier di dunia film jika saya tidak main di Bintang Jatuh.”
Mira Lesmana: Lulus kuliah penyutradaraan di IKJ, tahun 1990-an, perfilman di Indonesia seperti enggak ada eksistensinya. Banyak sebabnya: peraturan pemerintah yang dirasa berlebihan, birokrasi yang menyulitkan, sekaligus mulai munculnya televisi swasta. Saya tidak bisa tinggal diam. Tahun 1995, saya ajak dua teman sesama lulusan IKJ, Riri Riza dan Nan T. Achnas untuk bikin film bareng. Kami ajak satu orang lagi yang bukan lulusan IKJ, sutradara video klip Rizal Mantovani. Dengan modal Rp 50 juta, perlengkapan syuting film yang didapatkan gratis dari teman-teman, dukungan para pemain film, serta bantuan dari para musisi seperti Slank, Iwa K, dan Oppie Andaresta. Maka lahirlah film Kuldesak. Film yang kami dibuat hampir tiga tahun secara diam-diam, karena kami melanggar semua aturan pemerintah. Kuldesak dirilis berbarengan dengan lahirnya masa reformasi di mana saat itu Departemen Penerangan dibubarkan. Kuldesak dicatat dalam sejarah dan disebut-sebut sebagai generasi baru perfilman Indonesia. Bukan hanya karena film ini dibikin di tengah-tengah kondisi ‘mati suri’, tetapi Kuldesak muncul bergaya pop kontemporer yang berbeda dengan karya-karya para pendahulunya seperti Teguh Karya, Arifin C. Noer, dan Sumandjaya.”
Anda menjadi bagian dari reformasi industri film Indonesia. Bagaimana Anda melihat perkembangannya dari dalam pusaran industri?
Dian Sastrowardoyo: “Banyak orang berpikir saya dan Nicholas Saputra (pemeran Rangga di Ada Apa Dengan Cinta?) adalah simbol kebangkitan film Indonesia. Padahal kami berdua cukup beruntung karena berada di waktu yang tepat, saat perfilman kita sedang menuju masa kebangkitan. Tahun 2008, perfilman Indonesia sedang lesu banget. Saat itu pemerintah sedang menggagas undang-undang perfilman yang sepertinya bersemangat ingin mengontrol. Mbak Mira sempat beberapa tahun enggak bikin film. Saya sendiri berhenti main film dan memilih kerja kantoran selama tiga tahun. Kemudian tahun 2013, Mas Lukman Sardi mengajak saya berperan di film 24/7. Kondisinya telah berbeda. Bikin film bisa dikerjakan hanya dua minggu, peralatan syuting makin cangih, dan bioskop jumlahnya makin banyak. Saya jadi optimis bahwa industri ini mampu tumbuh sehat. Dan saya tidak ingin membatasi diri hanya berakting lalu terjebak dalam permintaan pasar. Kini saya sedang belajar menjadi produser dan mengasah kemampuan menulis naskah. Sesuatu yang ternyata sama sekali tidak gampang.”
Mira Lesmana: “Tahun 2005, setelah bikin film 3 Hari Untuk Selamanya, saya sempat ingin menyerah. Situasinya sangat tidak kondusif, memperjuangkan hak dan aspirasi begitu sulit. Namun meski kami para pekerja film kalah di Mahkamah Konstitusi, paling tidak kami berhasil menyuarakan bahwa film itu elemen penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Saya beruntung punya sahabat seperti Riri Riza, dia mampu menyeimbangkan serta menyemangati hingga saya gagal mundur dan tidak ingin berhenti. Yang menarik, perempuan menjadi penggerak dalam industri ini. Saya bersama Nan T. Achnas bikin Kuldesak, Christine Hakim menggarap Daun di Atas Bantal, Shanty Harmayn membuat Pasir Berbisik, dan Nia Dinata dengan film Cau Bau Kan. Kini ada Lala Timothy, salah satu produser terbaik. Selain itu, kini kualitas perfilman semakin membaik. Tahun 2016, film My Stupid Boss memikat dengan 3 juta penonton. Kemudian ada Warkop DKI Reborn, Dilan, dan 2018 silam film-film lokal semakin ramai bermunculan. Saya rasa perlu dua tahun lagi untuk bisa menilai konsistensi ini. Yang kita perlu lakukan kini ialah bikin karya sebaik mungkin tanpa menurunkan prestasi dan kualitas.”
Jajang C. Noer: “Setelah sempat ‘mati suri’, saya senang kini perfilman Tanah Air semakin membaik. Saya bahagia melihat para pekerja filn seperti Riri Riza dan Joko Anwar yang bekerja dengan hati. Sebab film itu seperti ‘food for soul’ sekaligus bisa menjadi gambaran sebuah bangsa.”
Kini menonton film tidak hanya bisa dilakukan di ruangan sinema seperti bioskop dan layar IMAX. Pengalaman menonton kini mulai bergerak ke platform digital dimana film ditonton lewat layar handphone atau laptop. Bagaimana menurut Anda?
Tara Basro: “Dulu, nonton film itu seperti makan makanan di restoran mahal. Hanya dinikmati sesekali, tetapi pulang dengan bahagia. Sekarang rasanya seperti beli ‘fastfood’. Gampang diakses, pilihannya banyak banget. Tetapi akhirnya, orang jadi kurang mengapresiasi kreativitas di balik karya film. Terlebih lewat ‘small screen’, detail-detail gambar dan suara kurang bisa diresapi. Nonton film di layar kecil memang bisa menghibur, namun pengalaman nonton film di bioskop itu enggak ada duanya.”
Julie Estelle: “A lot of pros and cons here. Keduanya memberikan pengalaman yang berbeda. Seluruh detail dan kualitas film dapat ditangkap sedemikian rupa secara sempurna oleh penonton bioskop. Namun sangat menyenangkan bisa menonton film kapan pun dan di mana pun kita inginkan. Film The Night Comes for Us, di mana saya ikut berperan, tidak tayang di bioskop Pada satu sisi, sayang sekali tidak bisa menikmatinya dalam ‘atmosfer’ bioskop. Tapi di sisi lain, karena tayang di platform digital, film ini jadi bisa diakses siapapun, bahkan dari seluruh dunia.”
Dian Sastrowardoyo: Enggak semua orang punya kesempatan dan waktu untuk bisa ke bioskop. Nonton film di dalam bus atau saat menunggu dalam antrian, bukanlah pemandangan aneh. Saya sendiri beranggapan, hadirnya platform-platform seperti Netflix untuk nonton film justru akan menghidupkan industri melalui banyaknya permintaan dan meluasnya lapangan pekerjaan. Enggak masalah orang mau nonton di bioskop atau di handphone. Tugas kita ialah menyuguhkan menu berkualitas yang beragam. Paling tidak industri ini hidup, sebab sesuatu bisa disebut industri jika ada banyak orang dapat mencari nafkah secara layak dan kontinuitas di dalamnya.”
Adinia Wirasti: “Keduanya bisa sama-sama menyenangkan. Namun memang ada alasan mengapa bioskop menampilkan film di layar lebar dengan ruangan gelap dan suara optimal. Ada pengalaman sinematik yang tidak bisa kita dapatkan dengan menonton di layar handphone.”
Sheila Timothy: “Hadirnya layanan OTT (Over-The-Top, layanan konten yang berjalan melalui jaringan internet) merupakan ranah tambahan bagi sumber penghasilan para pelaku film. Artinya kami tidak melulu bergantung pada bioskop. Ada beberapa genre film yang lebih baik ditonton di layar bioskop, ada pula beberapa film yang rasanya ditakdirkan untuk dilihat di layar kecil.”
Marsha Timothy: Platform digital memudahkan acara nonton film. Tapi, bagi saya, sensasi nonton di bioskop itu tidak akan bisa tergantikan. Indera penglihatan dan pendengaran sangat dimanjakan oleh teknologi bioskop.”
Laura Basuki: “Untuk para pembuat film, hadirnya platform digital berarti keuntungan bukan hanya dari penjualan tiket bioskop, tetapi juga dari aplikasi berbayar. Saya sendiri malah senang ditonton lebih banyak orang lagi. Selain itu, platform digital bisa memudahkan masyarakat yang tinggal di daerah-daerah minim bioskop agar juga bisa menikmati film.”
Mira Lesmana: Teknologi mesti dirayakan. Jika kami melihat banyak orang nonton film di small screen, maka kami harus bikin konten-konten terbaik untuk versi small screen. Kita enggak bisa protes jika orang lebih suka nonton di handphone. Yang perlu dipastikan ialah film-film yang kita suguhkan itu pantas untuk ‘diperjuangkan’ masyarakat dengan mendatangi bioskop dan membayar harga tiket.”
Nia Dinata: “Saya setiap hari suka nonton film di platform digital, tapi tidak ada yang bisa menggantikan sinema bioskop. Dan pengalaman nonton di bioskop itu mesti dipupuk sejak usia muda. Membiasakan diri pergi ke bioskop, dua jam kita fokus tanpa terdistraksi hal-hal selain apa yang kita tonton, lalu pulang dengan berbagai pikiran di dalam kepala masing-masing yang bisa kita diskusikan. Kebiasaan ini membentuk ‘critical thinking’ dalam setiap jiwa generasi bangsa.”
Film Indonesia banyak yang masuk festival film internasional. Di sisi lain, di dalam negeri, film lokal bersaing rebutan layar dengan film-film asing. Menurut Anda, bagaimana seharusnya agar film Indonesia mampu bersaing di dalam maupun luar negeri?
Tara Basro: “Kita sedang bicara sesuatu yang ada hubungannya dengan nasionalisme. Perlu ada aturan hukum untuk menentukan berapa lama film-film lokal bisa bertahan di layar bioskop. Kebijakan ini mesti datang dari para pelaku di industri perfilman dan mereka yang berada di bisnis layar lebar.”
Tatjana Saphira: “Yang mesti dilakukan ialah meningkatkan pendidikan formal agar lahir orang-orang berkualitas di bidang perfilman. Sekaligus perlunya kepercayaan dari masyarakat agar lebih mencintai film-film lokal.”
Marsha Timothy: “Yang kita butuhkan ialah kepercayaan masyarakat. Bahwa perfilman Tanah Air sedang bergerak ke arah kemajuan dan bangsa ini mampu bikin karya yang berkualitas. Menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap film lokal itu juga sangat penting. Dan tanggung jawab kami para pelaku untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.”
Bunga C. Lestari: Sejak Ada Apa Dengan Cinta?, saya mulai optimis dengan perfilman Indonesia. Namun kita butuh kekuatan lebih misalnya aturan-aturan bisnis. Kadang orang suka berpikir, ‘Nonton film lokal nanti aja tunggu tayang di televisi’. Karena enggak lama turun dari bioskop, muncul di televisi. Saya pikir mesti ada aturan yang jelas agar industri film lokal tidak dirugikan.”
Adinia Wirasti: “Kita mesti menumbuhkan kesadaran untuk mencintai film-film lokal. Sebab investor terbesar di industri perfilman ya para penontonnya. Jika penonton enggak ada, otomatis produsennya enggak bikin film yang belum tentu menguntungkan. Bagaimana pun industri ini butuh dukungan finansial.”
Mira Lesmana: “Bahwa film mesti dibuat secara serius. Semua elemen digarap secara profesional dengan standar tinggi. Dan untuk memperkuat, kita perlu pendidikan untuk menghasilkan manusia-manusia berkualitas. Kita memang kekurangan layar di bioskop, namun apalah arti banyaknya layar jika masih kekurangan aktor, minim cerita, dan kekurangan sutradara. Siapa yang diuntungkan dari situasi ini? Tentu film-film Hollywood.
Widyawati Sophiaan: “Kita butuh dukungan pemerintah agar layar bioskop tidak didominasi film asing. Lihat industri perfilman Korea Selatan. Mustahil budaya K-Pop mewabah ke seluruh dunia jika tidak ada andil pemerintahnya. Atau film Bohemian Rhapsody yang sudah hampir tiga bulan tayang di bioskop terpilih. Mengapa kita tidak bisa melakukan hal serupa?”
Bagaimana peran pemerintah sejauh ini?
Dian Sastrowardoyo: “Ada yang bilang bantuan Bekraf kurang signifikan. Tetapi bukan berarti enggak menolong, salah satu bantuannya adalah ikut mendorong film nasional berpartisipasi di Cannes. Bekraf membantu merekognisi film-film yang perlu diangkat di Cannes untuk merepresentasikan Indonesia.”
Mira Lesmana: “Seluruh bantuan dan dukungan masih dalam kondisi ‘uji coba’ karena butuh pemahaman yang sangat luas dan konsistensi. Selain itu, Bekraf punya beban yang tidak ringan. Tidak hanya menangani film, tapi juga musik.”
Sheila Timothy: “Pemerintah membantu buka pintu agar OTT masuk. Kami juga banyak memberikan masukan kepada pemerintah agar menginisiasi berbagai program bagi industri kreatif. Misalnya menggelar seminar bersama Korea Selatan untuk mempelajari industri kreatifnya yang difasilitasi BEKRAF. Kami juga berusaha memberantas pembajakan film bersama BEKFRAF. Kemudian mengirimkan penulis-penulis Indonesia ke Torino Script di Italia yang mengumpulkan bakat-bakat penulis dari seluruh dunia. Ini didanai oleh BEKRAF.”
Jajang C. Noer: “Saya dengar Bekraf akan memberikan dana sekian triliun untuk industri perfilman. Sekarang ini saya tidak melihat ada bantuan yang signifikan dari pemerintah. Terutama soal ketentuan berapa lama minimal film Indonesia bisa tayang di layar bioskop. Jangan baru tiga hari udah diturunkan karena masuknya film-film asing.”
Bagaimana Anda melihat persoalan regenerasi di perfilman Indonesia?
Tara Basro: “Selain tugas produser untuk mencari wajah dan talenta baru, seorang aktor punya tanggung jawab untuk berbagai ilmu kepada generasi penerusnya. Dan bukan hanya kekurangan pemain, kita juga minim jumlah penulis. Kita butuh lebih banyak lagi jumlah orang yang mau terjun ke dunia film.”
Sheila Timothy: “Industri perfilman memang kekurangan pekerja kreatifnya. Saya sendiri selalu memberanikan diri untuk menggunakan pemain baru. Misalnya di film Tabula Rasa, kami menggunakan seorang anak Papua, Jimmy Kobogau, yang sepanjang hidupnya belum pernah main film dan ia menjadi tokoh utama di film tersebut. Kesulitan menggali bakat baru sebetulnya karena Indonesia tidak memiliki sekolah film formal. Jika kita mau ambil pemain baru, kita harus menyisihkan waktu untuk mendidik dan menghadirkan acting coach sebab ada teknik dan ilmu yang harus dipahami.”
Mira Lesmana: “Bagi saya, soal regenerasi sudah tergolong ‘red light’. Banyak orang ingin dibikinin film, tapi kekurangan sumber daya manusia. Penulis skenario, sutradara, costume stylist, soundman, termasuk jumlah aktor dan aktris yang masih sangat minim. Apa sebabnya? Lagi-lagi karena pendidikan film tidak dijadikan perhatian utama. Yang mau jadi pemain film banyak, tapi semua orang mencari kualitas. Itulah sebabnya sekolah film itu sangat penting.”
Apa permasalahan dalam industri perfilman Indonesia yang perlu diketahui publik?
Tara Basro: “Soal jam kerja. Tidak pernah ada aturan yang jelas soal pembatasan jam kerja bagi mereka yang bekerja di perfilman. Kami tidak pernah mengenal hari libur.”
Adinia Wirasti: “Jam kerja itu penting banget. Kami taat pajak, tapi rasanya enggak ada peraturan yang jelas soal ini.”
Mira Lesmana: “Belakangan saya dengar mulai terjadi pelecehan seksual. Saya sedang membicarakan hal ini ke kalangan produser dan mulai mengumpulkan fakta-faktanya. Sementara itu, saya kini memasukkan klausul di dalam kontrak kerja bahwa kami tidak akan memberikan toleransi bagi setiap pekerja yang terbukti melakukan pelecehan seksual.”
Sebuah film yang diceritakan dengan sudut pandang perempuan, bisa memuat kepekaan yang lebih. Dan karena itu, penulis dan sutradara perempuan sangat penting keberadaannya. Jumlahnya harus representatif. Bagaimana kondisinya di perfilman Indonesia saat ini?
Mira Lesmana: “Di dalam Asosiasi Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (PILAR), di mana saya salah satu anggotanya, tercatat ada hampir 80 orang penulis perempuan. Yang cukup konsisten, mungkin sekitar 20 orang. Sangat sedikit dan masih didominasi laki-laki. Betul sekali, suara perempuan harus kuat mengimbangi suara laki-laki. Dan bukan hanya penulis, tapi juga produser dan sutradara. Meskipun beberapa cerita memang lebih cocok ditulis oleh laki-laki. Saya sendiri lebih senang penulisan itu ada perspektif perempuan dan laki-laki.”
Sheila Timothy: “Jumlah dalam Asosiasi Produser Film Indonesia ada sekitar 50-60% anggota perempuan. Lumayan banyak. Namun memang jumlah sutradara perempuan masih sangat kurang, director of photography sepertinya hanya berjumlah enggak lebih dari lima perempuan, dan jumlah penulis juga masih sangat sedikit.”
Sebagai pembuat film, seseorang berkarya dengan idealismenya sekaligus dituntut mampu melihat pasar dan keuntungan dari segi bisnis. Bagaimana Anda mencari jalan tengah dari dua aspek ini?
Sheila Timothy: “Semua film yang saya bikin selalu ada idealisme-nya dan saya tidak akan berkompromi soal kualitas. Jalan tengah bisa ditempuh lewat strategi dan pengendalian struktur finansial, bukan sekadar idealis dalam arti konyol.”
Mira Lesmana: “Saya yakin, pasar selalu haus akan sesuatu yang baru. Dengan keyakinan ini, idealisme bisa mendapatkan tempat di hati penonton. Namun kita harus jeli membaca siapa target audiens. Kita pun mesti tepat menentukan biaya dari berbagai jenis film dengan beragam jenis penonton agar tidak rugi untuk diproduksi.”
Bagaimana Anda melihat diri Anda sendiri di industri ini?
Tara Basro: “Saya tidak ingin selamanya ada di industri ini. Sebagai perempuan, mesti diakui, saya punya ‘masa kadaluarsa’. Dunia film sangat menyenangkan, tapi bebannya juga sangat berat. Enggak jauh beda dengan pekerjaan lain. Pasti ada enak dan enggak enaknya, Sekarang sedang bersemangat sekali, tapi jika tidak ada tawaran yang pas di hati, saya lebih memilih untuk belajar hal-hal lain.”
Dian Sastrowardoyo: “Industri perfilman telah membesarkan saya dan saya ingin sekali ikut mendefinisikan wajah perfilman Tanah Air. Saat ini sedang melebarkan wawasan dari aktor ke produser. Seru sekali mengasah diri dan mempertajam insting seni.”
Marsha Timothy: “Sekarang sedang masuk ke dunia teater. Dan ternyata pernah main film bukan berarti main teater jadi gampang. Sejujurnya saya tidak pernah punya rencana, semua mengalir. Namun yang saya tahu pasti, saya selalu butuh untuk belajar.”
Mira Lesmana: “Saya enggak mungkin ke mana-mana. Perjalanan ini tidak berangkat dari kepentingan bisnis, tapi kebutuhan saya sebagai seorang sineas yakni ingin menyentuh rasa dan mengubah pikiran. Dan setiap karya saya selalu punya tujuan ke arah tersebut.”
Laura Basuki: “Ada saatnya ‘enough is enough’ itu tiba. Karena itu saya mulai menjalani bisnis-bisnis lain di luar film. Sebetulnya ada banyak kesempatan di industri ini, namun saya sangat pemilih sehingga enggak bisa banyak ambil peran.”
Widyawati Sophiaan: “Di usia nyaris 70 tahun, saya bersyukur jika masih dihendaki untuk berkarya. Saya akan berusaha melakukan yang terbaik selama masih dibutuhkan.”
Bunga C. Lestari: “Sangat seru, terlebih saya juga menyanyi jadi enggak pernah merasa jenuh. Suatu hari nanti, bisa jadi saya menjadi produser. Sebab saya ingin suatu saat nanti menciptakan cerita film yang memuat kekuatan perempuan dengan semangat feminisme.”








