BEAUTY

17 Maret 2022

Ketidakcocokan Imun Antar Pasangan Bisa Jadi Penyebab Keguguran


Ketidakcocokan Imun  Antar Pasangan Bisa Jadi Penyebab Keguguran

Insiden kehilangan janin yang terjadi pada trimester kedua atau ketiga di masa kehamilan selalu menjadi peristiwa yang bukan hanya menyedihkan, tapi juga menghancurkan hati. Terlebih dengan alasan yang tidak selalu dapat diidentifikasi. Serupa dengan situasi yang terjadi pada kegagalan transplantasi organ, ketidakcocokan sistem kekebalan antar pasangan bisa menjadi salah satu penyebab dari keguguran.

Merujuk pada masalah ini, hasil studi mutakhir telah membuka jalan baru bagi pengobatan individual yang lebih berkualitas, diiringi oleh metode terapi. Penelitian ini juga mengubah dogma yang selama ini menyatakan bahwa situasi janin sepenuhnya terlindungi oleh plasenta dan membantunya menjadi kebal dari respon imunitas sang ibu.

Dua peneliti–seorang dokter obstetri, Prof. Alexandra Benachi, bersama seorang dokter imunolog dan transplantasi, dan Prof. Julien Zuber–mengimplikasikan adanya jalur patogen yang serupa dengan yang terlibat dalam kasus penolakan transplantasi. Berikut dipaparkan oleh Profesor Julien Zuber*.

Bagaimana seorang dokter obstetri dan seorang dokter transplantasi dapat terlibat bersama melaksanakan studi mengenai kesuburan?

“Bila dilihat dari sudut pandang imunologi, setengah porsi dari genom janin: berasal dari ayah. Namun terkadang, protein yang diwariskan oleh ayah dapat dianggap asing oleh sistem kekebalan ibu. Saat itulah kami menyadari bahwa plasenta dapat berlaku layaknya sebuah ‘medan perang’ antar kedua sistem kekebalan. Masalah ini terbilang cukup jarang, namun mengakibatkan risiko serius, yang hasilnya bisa mengarah pada kehilangan janin. Di sini kami menyadari kemunculan berbagai karakteristik yang serupa dengan insiden penolakan transplantasi. Maka kemudian terjadilah kerjasama yang menjanjikan di antara bidang kebidanan dan transplantasi ini.”

Sepasang suami istri dapat melalui kehamilan pertama tanpa masalah apa pun dan mengalami komplikasi serius pada kehamilan berikutnya. Bagaimana masalah ini dapat dijelaskan?

“Kehamilan pertama berlaku sebagai sebuah reaksi yang mengukur kepekaan. Selama ini, sistem kekebalan ibu—secara keliru—telah diprioritaskan lebih superior daripada antigen ayah. Risikonya ada di kasus pertama yang saat itu kami pelajari, disebut sebagai ‘chronic histiocytic intervillositis’, yakni didefinisikan sebagai kondisi plasenta yang mengalami peradangan besar dan mengurangi suplai nutrisi serta oksigen untuk janin secara signifikan. Peristiwa ini terjadi hanya pada 5 dari 10.000 kehamilan.”

Apa saja tanda-tandanya?

Ketidakcocokan sistem kekebalan antar pasangan

“Terdapat dua pertanda yang semestinya memberi peringatan pada kemungkinan terjadinya sebuah proses penolakan. Pertama, kurangnya reaksi infeksi yang terjadi secara bersamaan. Kedua, tingkat pengulangan kambuhnya penyakit yang tinggi selama kehamilan berikutnya. Dalam konteks klinis, kami mendorong para dokter kandungan untuk bekerja sama dengan para dokter transplantasi dan juga ahli imunologi untuk melakukan penyelidikan akan sistem kekebalan yang sesuai.”

Apakah risiko dari komplikasi kronis ini dapat diprediksi sebelum kehamilan?

“Tidak ada inkompatibilitas sistem kekebalan yang bisa diprediksi sebelum terjadinya pembuahan. Selain itu, perempuan sering kali mengalami reaksi sensitif terhadap pasangannya selama masa kehamilan. Hal ini mengartikan bahwa perempuan telah membangun antibodi terhadap antigen janin yang diturunkan dari ayah. Fenomena ini bahkan menjadi ‘kelebihan’ utama bagi para perempuan yang telah melahirkan lima bayi atau lebih. Namun, pada sebagian besar perempuan, respons imun ini terjadi secara ringan dan terkotak-kotak menjadi beberapa bagian. Kecuali pada plasenta, di mana antigen ayah biasanya tersembunyi dari sistem kekebalan ibu.

Pada perempuan yang sangat peka—yang telah mengalami beberapa kali keguguran sebelumnya— kami percaya bahwa masih ada ruang untuk mengadakan strategi terapeutik yang inovatif, terlebih berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari bidang transplantasi. Sedangkan untuk perempuan yang tidak terlalu sensitif— yang telah melewati proses kelahiran normal dan sehat sebelumnya—sejumlah studi tambahan diperlukan untuk menetapkan stratifikasi risiko berdasarkan pada tingkat kepekaan terhadap ayah.

Idealnya, studi ini akan memprediksi risiko komplikasi akut dengan metode individual sebelum kehamilan. Tujuan keseluruhannya adalah untuk menentukan apakah pasien memerlukan terapi atau hanya butuh ditindak lanjuti secara cermat.”

Bentuk terapi seperti apa yang akan diterapkan?

“Di tahap ini, kita harus berhati-hati. Karena beberapa pilihan terapi tidak hanya berdasarkan pengetahuan medis dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab, namun juga berlandaskan isu-isu sosial yang diiringi oleh berbagai batasan hukum. Di antara beberapa strategi terapi, salah satunya adalah dengan mengurangi reaksi sistem kekebalan ibu, yakni dengan menerapkan pola hidup immunoactive.

Pendekatan cara ini terbukti sangat efisien untuk mencegah atau mengobati penolakan cangkok (proses transplantasi). Namun, perlu diingat bahwa semua obat immunosuppressive dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi. Oleh sebab itu, rasio manfaat atau risiko harus diseimbangkan secara cermat dan diinformasikan kepada pasien secara transparan.

Sedangkan strategi lainnya adalah dengan menggunakan metode gestational surrogacies atau ibu pengganti untuk pelaksanaan kehamilan—berlaku di negara mana pun yang diizinkan oleh hukum. Karena faktanya, janin yang dikandung dari pasangan yang ‘bermasalah’, tidak memiliki problem intrinsik dan sangat mungkin untuk berkembang secara normal di dalam kandungan ibu pengganti kehamilan yang tidak sensitif. Singkat kata, hasil studi kami telah membuka jalan terapi baru dan memberi harapan untuk perawatan dan dukungan yang lebih baik bagi para pasangan yang bermasalah.”

Penerima transplantasi umumnya harus menjalani pola hidup immunosuppressive hingga akhir hayatnya. Apakah juga berlaku pada kasus ini?

“Berbeda dengan penerima transplantasi ginjal, misalnya. Perempuan hamil umumnya tidak memerlukan obat immunosuppressive dikarenakan bentuk janin terlindungi oleh plasenta, yang berlaku seperti sebuah ‘medan gencatan senjata’, di mana antigen yang diturunkan dari ayah dan sistem kekebalan dari ibu dipisahkan secara hati-hati.”