20 Agustus 2024
Citra Sasmita Menelusuri Narasi Marginalisasi Perempuan dalam Masyarakat Bali
PHOTOGRAPHY BY Doc. CITRA SASMITA
Perempuan Bali yang memilih menggeluti profesi sebagai perupa dengan karya-karya yang menyoal kehidupan perempuan. Citra Sasmita, namanya dikenal harum dalam kancah seni rupa Indonesia melalui karya-karya lukisan dan seni instalasi yang telah dipamerkan di Indonesia serta beberapa negara di antaranya Bienal de São Paulo, Kathmandu Triennale, Thailand Biennale, Diriyah Contemporary Art Biennale, Garden of Six Seasons di Para Site Hongkong, dan pameran tunggalnya yang akan datang di Barbican Centre London tahun 2025. Selain berfokus mengungkap mitos dan hal-hal yang kerap disalahpahami dalam seni budaya Bali, Citra juga kerap kritis mempertanyakan posisi perempuan dalam hierarki sosial dan berupaya mengubah konstruksi normatif gender lewat karyanya.
Perempuan kelahiran Tabanan, Bali, tahun 1990 ini dibesarkan dalam keluarga dengan kultur tradisional Bali. Bertumbuh dalam lingkungan seni, sejak kecil ia telah bermimpi ingin berprofesi di ranah seni. Namun keinginan menjadi seniman tidak mendapat restu almarhum ayahnya yang saat itu menjadi guru kimia. Citra lantas menempuh pendidikan sarjana di dua jurusan, yakni Fakultas Sastra di Universitas Udayana Denpasar dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, jurusan Ilmu Fisika, di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Gejolak dan hasrat berkesenian itu kembali muncul saat ia bekerja di Bali Post, sebuah media lokal di Bali yang membuka jalan bagi Citra untuk berkesempatan meliput pameran dan menulis artikel seni, kemudian mendalami dunia seni rupa secara otodidak.
Menurut Citra, secara sadar ataupun tidak, seniman berkarya dengan mengolah persoalan pribadinya menjadi sesuatu yang mewakili persoalan-persoalan di luar dirinya. Menyajikan sebuah analisis, rasa ingin tahu, dan sebuah diskursus untuk membawa permasalahan kemanusiaan ke dalam karya seni. Dalam karier berkeseniannya, ide-ide penciptaan Citra berasal dari rasa simpati dan upaya untuk mengungkap pengalaman dan gagasan secara jujur. Dalam lukisan berjudul Ab Initio, Ab Aeterno, Citra menghadirkan tubuh perempuan yang ditumbuhi kaktus di sekeliling badannya. Kaktus merupakan simbol dari maskulinitas dan patriarki merupakan permasalahan yang sulit dicari ujung pangkalnya. Karyanya yang berjudul Torment menghadirkan sosok perempuan yang mencium kepala babi, sebuah imaji kehidupan kultural perempuan Bali dalam tekanan psikologis dan sosial. Sementara pada Dis Manibus Sacrum, Citra menggambarkan penghormatan kepada ibunya yang telah almarhum dengan menceritakan pengalaman maternal (keibuan) yang seringkali hanya dianggap sebatas pengalaman biologis perempuan.
Citra Sasmita telah aktif berpameran dari tahun 2012. Karya-karyanya banyak diilhami dan dipengaruhi dari Bali. Ia kerap melahirkan karya-karya yang berfokus pada sistem patriarkis pada perempuan dalam adat dan budaya setempat. Tanpa adanya jarak dengan kondisi sosial budaya Bali, Citra melihat kehidupan sosial masyarakat dari yang baik sampai yang terburuk. Dalam proses berkarya, ia mengungkap berbagai permasalahan sosial seperti isu kekerasan dan pelecehan seksual serta kasus-kasus yang sering kali tidak disadari oleh banyak perempuan dan berusaha membangun kesadaran serta empati bagi perempuan lainnya melalui karya seni. Citra juga berupaya menyeimbangkan peran perempuan dalam adat Bali dan proses berkesenian, bahkan menjadikan kodrat perempuan sebagai inspirasi dalam penciptaan karya seninya. Bagi Citra Sasmita, kesenian bukan hanya dianggap ekspresi emosional melainkan medium untuk menunjukkan perlawanan.
Perjalanan berkesenian Anda bisa dibilang tidak konvensional, terutama mengingat latar belakang akademis Anda di bidang sastra dan sains. Apa yang menggerakkan Anda?
“Sepertinya saya tersesat di jalan yang benar. Saya dibesarkan oleh keluarga seniman tetapi orangtua tidak pernah mengizinkan saya jadi seniman. Akhirnya malah kuliah di jurusan sastra dan ilmu fisika. Ketika bekerja di Bali Post, saya berkesempatan mendatangi acara-acara seni, meliput kegiatan pameran, dan menulis artikel seni. Belum lagi bersinggungan dengan banyak akademisi, sastrawan, seniman, aktivis, dan orang-orang intelektual yang dari sanalah saya mulai menemukan jawaban dari berbagai permasalahan. Ketika meliput berbagai pameran seni di Bali, saya pun bertanya-tanya, kenapa sedikit sekali seniman perempuan di Bali? Sampai akhirnya saya menemukan nama Mary Northmore, pendiri Sanggar Seniwati Gallery, sanggar seni khusus perempuan yang didirikan di Ubud pada 1991. Di kelompok itu banyak mengakomodir perempuan pelukis untuk terjun ke dunia seni, melawan konstruksi sosialnya yang hanya berkutat pada kewajiban domestik dan kerja kultural adat seperti berpartisipasi penuh dalam upacara keagamaan. Perempuan Bali merupakan kaum yang tersubordinasikan kedudukannya secara adat istiadat dalam budaya Bali yang berbentuk patriarki. Maka itu saya memilih jalan seni untuk membahas isu perempuan dan persoalan sosial budaya lebih jauh karena saya merasa ada wilayah negosiasi yang cukup cair dan fleksibel di ranah seni, salah satunya dengan melakukan dialog dan menguji gagasan di ruang pameran.”
Sejauh mana pengalaman pribadi dan identitas sebagai perempuan Bali ikut membentuk narasi yang Anda pilih untuk mengeksplorasi karya seni?
“Bagi saya, kesadaran akan identitas diri dan kepekaan terhadap gagasan yang ingin disampaikan merupakan bentuk fondasi yang signifikan. Saya mengambil unsur-unsur tradisi sebagai tools untuk memformulasikan gagasan, misalnya filosofi Tri Hita Karana adalah upaya untuk mencegah progresivitas pembangunan yang berdampak pada lingkungan. Ketika mindset manusia terlalu progresif, maka kita cenderung menganggap alam sebagai objek yang bisa dieksploitasi. Namun dalam pandangan tradisional, alam adalah subjek otonom dengan spirit dan power-nya yang sangat dihormati. Kami orang Bali sejak kecil dilatih untuk mempunyai kemampuan craftmanship, salah satunya dengan membuat persembahan dan alat-alat upacara ritual. Maka ada sifat seni yang inheren dalam diri masyarakat Bali. Bahkan sebelum ada istilah ‘seni’ dan ‘institusi seni’, kami orang Bali belajar seni dengan mendatangi langsung para maestro seni. Jadi saya pikir orang Bali secara teknis sudah memiliki memory muscle terhadap bidang estetika dan dunia kesenian.
Saya sendiri mengawali proses pembelajaran seni melalui sastra dan puisi. Menabung pembendaharaan ‘kosa visual’ lewat pengalaman mengilustrasikan karya fiksi ketika bekerja di Bali Post. Selain juga mempelajari beberapa karya seniman yang mempengaruhi karya visual saya, seperti Toyen (pelukis Ceko), Otto Dix (pelukis Jerman), Käthe Kollwitz (seniman perempuan dari Jerman), dan seniman-seniman yang karyanya merekam apa yang terjadi pada sebuah masa. Dari pengalaman pribadi dan identitas sebagai orang Bali, saya jadi memahami situasi budaya dan posisi perempuan dalam kultur yang sangat tidak berimbang dan banyak ketimpangan. Dari berbagai situasi dan kasus, saya menemukan adanya relasi yang tidak egaliter dalam sistem sosial yang dialami perempuan di Bali dan akhirnya membuat saya memilih seni sebagai medium untuk bersuara.”
Seperti apa eksplorasi Anda terhadap praktik seni Kamasan khas Bali dan bagaimana Anda mengolah isu gender ke dalam metode tersebut?
“Dulu pernah menggunakan medium lukisan tapi rasanya sulit sekali membahasakan dengan medium konvensional. Saya lantas mencari tahu formula dan bahasa seperti apa yang ketika saya hadirkan sebuah karya maka sulit dibantah orang-orang? Saya juga mempertanyakan, dari mana sebenarnya akar budaya patriarki di Bali? Ketika menelusuri sejarah seni visual di Bali, yang ditandai oleh kemunculan lukisan Kamasan pada abad ke-16, saya menemukan fakta-fakta bahwa lukisan Kamasan itu banyak menggambarkan sosok laki-laki dan kepahlawanan ala
patriarki serta melukiskan keturunan raja-raja dan kepentingan para penguasa yang notabene sifatnya maskulin. Sedangkan perempuan dinilai sebatas fungsi prokreasi dan fertilitas.
Dalam teks Calon Arang, misalnya, perempuan bahkan digambarkan sebagai sosok mengerikan atau monstrous woman. Jelas ada sudut pandang maskulin atau male gaze dalam sejarah kesenian dan warisan kebudayaan Indonesia. Dan apa yang saya lakukan adalah melawan narasi-narasi yang diwariskan budaya patriarki dengan mengganti visual laki-laki dalam lukisan Kamasan menjadi sosok perempuan.
Saya punya banyak guru, salah satunya Mangku Muriati, seorang pendeta perempuan sekaligus seniman perempuan yang melukis dengan gaya tradisional klasik Kamasan. Dari beliau saya mempelajari naskah-naskah Bali kuno dan membutuhkan enam tahun bagi saya untuk riset mengenai Kamasan. Ada pakem yang menjadi pedoman pelukis Kamasan, namun saya memutuskan tidak sepenuhnya mengikuti aturan yang mereka warisi tersebut. Saya membuat versi saya sendiri di mana para seniman Kamasan berpedoman pada gestur dan figur wayang, sedangkan saya berfokus pada anatomi tubuh perempuan. Para seniman Kamasan membuat lukisan untuk keperluan acara dekorasi arsitektur Bali yang dibikin sampai 100 meter. Saya memilih memperlakukannya agak berbeda, tidak sekadar dipajang tapi diciptakan agar punya sifat meruang yang saya buat dalam bentuk painting scroll. Menyusunnya menjadi sebuah narasi lukisan dalam bentuk gulungan panjang vertikal sehingga ketika dipajang sebagai instalasi, ada aspek teatrikal yang mengundang audiens berinteraksi.”
Bagaimana menyeimbangkan upaya menghormati nilai-nilai tradisional Bali tapi di sisi lain Anda menyoroti persoalan-persoalan yang selama ini tidak pernah dibicarakan?
“Saya pernah bekerja sama dengan organisasi nonprofit Bali Women Crisis Centre, yang membuat saya bersinggungan dengan berbagai persoalan seperti kekerasan seksual, perkosaan, pernikahan anak, dan lainnya. Ada begitu banyak kasus yang kerap menghantui proses artistik saya dan ketika persoalan itu tergambarkan dalam karya, ada saja orang-orang yang abai mungkin karena merasa tidak pernah mengalaminya. Hal ini membuat saya berpikir untuk melakukan diplomasi melalui karya seni. Melakukan perlawanan tanpa harus berteriak tapi berdampak dalam menyampaikan situasi yang terjadi di realitas sosial.
Salah satunya menggugat narasi bahwa tidak banyak warisan sejarah tentang perempuan dan sedikit sekali perempuan yang berkesempatan untuk pameran. Nilai-nilai tradisional Bali telah terintegrasi dalam laku hidup yang saya implementasikan juga dalam penciptaan karya seni saya. Maka ketika bertemu kurator atau pemilik galeri, saya pun menyampaikan situasi-situasi sosial sehingga terbentuk kesadaran untuk merangkul seniman-seniman perempuan dengan gagasan dan ide yang domestik namun lebih otentik karena memang dialami oleh perempuan itu sendiri. Sebab saya percaya semakin sering perempuan dikasih panggung, semakin besar kekuatan perempuan untuk membuat perubahan.”