CULTURE

16 Agustus 2021

DOLOROSA SINAGA: Menyuarakan Pesan Kemanusiaan Lewat Jalur Seni


DOLOROSA SINAGA: Menyuarakan Pesan Kemanusiaan Lewat Jalur Seni

Via Dolorosa, Bahasa Latin, yang berarti jalan penderitaan. Dolorosa adalah nama yang diberikan oleh sang ayah untuk menyatakan kesedihan dan penderitaan karena anak keempat yang ia dambakan laki-laki ternyata lahir sebagai perempuan. “Namun hidup bapak tak bisa dibilang menderita karena saya berhasil membuatnya bangga. I restore the dying soul. Saya menghidupkan kembali mereka yang terbunuh, tertindas, dan teraniaya untuk hidup kembali dan bangkit membangun tembok kemanusiaan yang tidak bisa dirobohkan,” kata Dolorosa kepada ELLE. Lewat jalur seni rupa, karya-karya perempuan kelahiran Sibolga 31 Oktober 1952 ini banyak menyelisik dan menggugah hati nurani karena kerap menampilkan masalah keimanan, solidaritas, dan perjuangan perempuan. Menantang ranah seni kontemporer Indonesia dengan kedalaman rasa dan kegarangan pemikiran tentang berbagai persoalan manusia. 

Seorang perempuan pematung, pendidik, sekaligus aktivis yang gigih berkarya sejak 40 tahun silam. Perjalanan berkeseniannya dimulai dari menjadi mahasiswa Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKD) pada 1971, kini Institut Kesenian Jakarta. Di semester keempat, Dolorosa meraih Penghargaan Utama dalam Kompetisi Nasional Seni Lukis karya mahasiswa se-Indonesia. Tahun 1977, Dolorosa lulus dari lembaga ini sebagai mahasiswa pertama yang menyelesaikan pendidikannya, kendati ia bukan mahasiswa angkatan pertama. Dolorosa kemudian meneruskan pendidikan Post Graduate di St. Martin’s School of Art di London, Inggris, dan lulus pada 1983. Sejak tahun 1984, ia melanjutkan studi di berbagai tempat di Amerika Serikat. Ia melanjutkan pendidikan seni rupa di San Francisco Art Institute, kemudian magang selama 6 bulan di Piero’s Art Foundry, Barkeley, Amerika Serikat, di mana ia belajar teknik pengecoran logam perunggu dan pewarnaan kimiawi medium perunggu. Dolorosa juga belajar membangun konstruksi dan tata letak pengecoran perunggu di Maryland University, membuat proses pembesaran skala patung di Ringling School of Art, Florida, dan menekuni studi pembuatan cetakan dengan medium pasir silika di Department Art, Sonoma State University, Amerika Serikat.

Dolorosa Sinaga tidak membatasi dirinya semata-mata pada praktik artistik seni. Baginya, seni perlu hadir menjangkau luas semua spektrum. Patung-patungnya bicara tentang pesan kemanusiaan dan penuh pernyataan politis. Pada karya bertajuk We Will Fight (2003), ia memunculkan figur para korban penindasan yang dibuatnya sebagai bentuk protes terhadap peristiwa pengusiran keluarga miskin yang dilakukan pemerintah kota atas nama pembangunan. Pada patung perunggu berjudul Solidaritas (2000), Dolorosamembentuk figur tujuh perempuan yang berdiri dan saling berpegangan tangan. Karya ini terpajang di Komnas Perempuan dan markas IMF di Washington DC. Suatu bentuk respons atas peristiwa kerusuhan Jakarta tahun 1998 yang meluluhlantakkan kedaulatan perempuan. 

Pengalaman hidup, kegelisahan politik, eksplorasi artistik, dan letup-letup inspirasi mewujud dalam karya-karya Dolorosa. Sebagai seniman, ia telah berkarya lebih dari empat dasawarsa dan sudah menciptakan lebih dari 600 karya. Sampai hari ini, karya-karyanya diburu para kolektor nasional dan internasional. Bukan hanya karena nilai artistiknya, tapi juga karena kemampuan Dolorosa Sinaga dalam menyuarakan pesan-pesan kemanusiaan yang tak mampu diungkapkan melalui kata-kata. 

Dolorosa Sinaga
Photography: DOC. Eva Tobing (DKJ)

Bagaimana kisah awal ketertarikan Anda pada seni?

“Sebagai seniman, bakat saya tidak tercipta sejak lahir. Tidak pernah ada cerita dari orangtua bahwa dulu saya suka mencoret-coret di atas kertas. So I don’t consider myself as a genius. Pertemanan di ruang sosial yang akhirnya membuat saya punya kecintaan pada seni. Dan itu terjadi ketika duduk di bangku sekolah dasar. Kawan sebangku saya pandai menggambar. Saya lantas ikut-ikutan menggambar dan akhirnya jadi menyukai seni. Sejak itu saya memutuskan sehabis lulus SMA, saya harus masuk sekolah seni. Setelah gagal diterima di Institut Teknologi Bandung, saya mendaftar ke sekoah seni yang baru setahun dibuka di Jakarta. Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, yang kini menjadi Institut Kesenian Jakarta.”

Masuk sekolah seni, apa opini orangtua Anda?

“Tentu ada pertentangan. Di zaman itu tidak ada orangtua yang menyetujui anaknya masuk sekolah seni. Komentarnya ‘Mau makan apa kau nanti kalau jadi seniman’ dan “Dunia seni itu berisi orang-orang eksentrik, tak kenal aturan dan tidak mau diatur. Itu dunianya laki-laki!”. Saya dinasehati seperti itu malah semakin tertantang.”  

Tidak banyak jumlah perempuan pematung, tapi rasanya ini bukan tanda bahwa laki-laki lebih superior dibanding perempuan. Mengapa Anda memilih bidang seni rupa yang dianggap dunianya laki-laki?

“Ketika saya memilih masuk studio patung, di studio ini hanya ada laki-laki. Tapi saya kagum melihat kerja keras dan konsentrasi mereka dalam berkarya, selain juga di studio ini banyak pengalaman yang bersifat teknis harus dilalui, dikerjakan, dan dipahami dengan baik. Persoalan tentang dunia ini adalah dunia laki-laki yang tidak pernah terpikir oleh saya ketika masuk ke studio ini. Namun belakangan opini masyarakat tentang seni patung lebih dilihat sebagai wilayah kaum laki-laki terdengar juga oleh saya. Dan untuk saya, hal ini tidak terlalu penting untuk dipandang sebagai kebenaran.” 

Bagaimana kisah didirikannya Somalaing Art Studio? 

“Setelah pulang dari London pada tahun 1983, saya terpikir untuk mendirikan studio sebagai tempat kerja. Ayah saya memberi izin untuk menggunakan ruang jaga yang lokasinya dekat dengan pintu gerbang rumah kami. Dan untuk penjaga rumah dibangun lagi tempat yang lebih besar agar keluarganya dari kampung bisa pindah ke Jakarta dan hidup berkeluarga dengan sejahtera. Penjaga rumah itu bernama pak Simin. Beliau asisten saya yang pertama yang bekerja di studio saya. Pada 1987, saya memperoleh izin menempati tanah yang luas milik ayah dan membangun studio yang lebih luas di tanah itu. Mulai dari satu asisten kemudian menjadi 5 pekerja, kemudian bertambah menjadi 14 pekerja. Studio tersebut memiliki nama Studio Somalaing, nama yang terinspirasi dari cerita Sitor Situmorang tentang orang Batak pertama yang memperoleh peluang bersinggungan dengan dunia Barat bernama Somalaing dan menjadi pendamping Antropolog Italia, Modigliani ketika melakukan penjelajahan di tanah Batak. Saya meminjam spirit kepeloporan Somalaing, saya menggunakan namanya untuk studio saya agar kerja-kerja kerja di studio saya ini dilandasi oleh spirit kepeloporan.”   

Karya-karya Anda sangat eksplisit menampilkan nada feminis. Selain juga kerap menyuarakan pandangan yang menggelitik tentang kondisi sosial politik. Apa sebabnya karya Anda seringkali berangkat dari isu-isu tersebut? 

“Saya melihat peran seni dalam sejarah peradaban manusia sangat signifikan. Oleh karena itu saya memilih sikap untuk membawa karya seni saya ke ruang publik sebagai bentuk ekspresi kepedulian dan keberpihakan saya atas hal-hal penting untuk dibela. Bagi saya yang berkecimpung di dunia aktivisme, membuat karya harus menjadi teks. Bisa berupa gugatan, pembelaan, penyataan, dan perlawanan.”  

Bicara soal peran sebagai aktivis, dari mana asal sikap Anda yang konsisten menunjukkan pembelaan dan keberpihakan pada mereka yang tertindas? 

“Semangat untuk membangkang itu sebetulnya berawal dari rumah. Ketiga kakak saya semuanya perempuan. Ketika saya lahir, bapak saya berharap saya laki-laki. Kami semua delapan bersaudara tumbuh dalam didikan keras kedua orangtua. Perlahan mulai muncul penolakan, tidak mau dikekang. Kata ibu, waktu kecil saya tidak pernah mau disuruh mengenakan baju yang seragam dengan orang lain. Jadi sampai sekarang pun kalau ada aturan berpakaian tidak boleh pakai ini dan itu, maka yang dilarang yang saya pakai. Saya kemudian bergaul dengan kawan-kawan aktivis untuk melawan ketidakadilan dan menentang kekuasaan otoriter, dan rasanya semua itu sudah mengalir dalam darah saya.” 

Tidak hanya membuat karya Piala Citra, Anda juga menciptakan Monumen 66 dan Monumen Lapindo Brantas (2006). Sebagai seniman, apakah Anda mengalami pertentangan dengan idealisme ketika membuat karya yang sarat muatan politis?

“Dalam berkarya, saya tidak memiliki pertentangan idealism dan tidak merasa harus melakukan pembatasan ekspresi dalam berkarya. Saya selalu berpikir bahwa saya harus menemukan jalan untuk menyatakan apa yang saya rasa harus diekspresikan dalam karya saya agar dapat membangun kepedulian publik dan menggugah rasa keadilan untuk berpihak.”

Konon Anda tidak pernah membuat patung laki-laki kecuali 5 sosok; Dalai Lama, Widji Thukul, Abdurrahman Wahid, Soekarno, dan Multatuli. Mengapa karya Anda nyaris selalu berakhir dengan figur perempuan?

“Betul, selalu nyaris menjadi perempuan karena di benak saya perempuan yang harus dibela. Tapi kemudian saya melihat tokoh kemanusiaan, sosok yang melawan rezim militer, figur yang mengumandangkan perdamaian dunia dan membuka pikiran bahwa penindasan manusia harus dihentikan. Mereka ini orang-orang yang layak ‘lahir’ di tangan saya sebagai karya seni.” 

Anda juga bergumul di ranah pendidikan. Nilai dan etos seperti apa yang Anda ajarkan kepada mahasiswa-mahasiswa Anda? 

“Bakat itu tidak melulu jadi syarat utama, melainkan minat yang menentukan arah hidup. Penting pula untuk selalu membuka diri dengan dunia di luar seni rupa agar kita punya wawasan dan kepedulian. Bahwa seni tak pernah bisa lepas dari hidup manusia. Coba ingat terakhir kali kita bingung menentukan warna baju yang cocok untuk diri kita. Saat itulah kita sedang menggunakan daya cita rasa artistik untuk membuat pilihan. Daya atau energi kreatif itu sudah tersimpan dalam diri kita sejak ratusan tahun yang lalu.” 

Menurut Anda, seperti apa peran dan relevansi seni di masa pandemi?

“Seni adalah salah satu bidang yang tidak terhenti akibat pandemi. Kita bisa lihat ada banyak sekali acara-acara seni yang dilakukan lewat medium digital. Karya film, musik, tarian, lukisan, monolog, bahkan workshop bisa dikerjakan secara virtual. Semua karya bisa diperlihatkan, meskipun tidak semua bisa memfasilitasi hal-hal yang terjadi ketika kita menikmati seni secara langsung. Misalnya ketika melihat patung secara virtual, tentu berbeda dengan menyaksikan lukisan. Secara virtual, dengan konsentrasi penuh pun kita sudah bisa melihat dan memahami lukisan. Seperti apa warnanya dan bagaimana teksturnya. Tapi melihat patung adalah pengalaman yang berbeda sebab patung membutuhkan ruang. Ketika seseorang melihat patung, maka yang terjadi adalah peristiwa di mana volume dan ekspresi patung itu menjadi ‘hidup’. Ketika seseorang melihat patung dan berada di ruangan yang sama dengan patung tersebut, maka ia akan memutari patung untuk menyaksikannya. Itu adalah peristiwa yang tidak bisa difasilitasi oleh komunikasi virtual. Namun bagaimanapun juga, seni adalah salah satu bidang yang tidak terhentikan oleh pandemi. Kreativitas itu bisa tiba-tiba muncul entah dari mana datangnya. Gagasan kreatif dan ide-ide liar kemudian mencuat, sesuatu yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya.” 

Anda percaya seni bisa mengubah dunia? 

“Seni tidak bisa mengubah dunia, tapi yang pasti seni mampu menginspirasi perubahan. Sejarah peradaban manusia sudah membuktikan bahwa ekspresi seni menjadi kekuatan yang menyadarkan manusia akan sesuatu yang perlu dibela. Gerakan-gerakan kemanusiaan banyak didukung oleh ekspresi seni dari berbagai disiplin. Mulai dari sastra, film, musik, tari, seni rupa, dan lain-lainnya. Saya tidak yakin untuk mengatakan bahwa seni bisa mengubah dunia, tapi secara lantang saya menyatakan bahwa seni sanggup menggerakkan perubahan.” 

Apa agenda dan gagasan Anda selanjutnya? 

“Saya akan terus berkarya dan memastikan karya-karya seni saya akan terus memperlihatkan kepedulian dan pembelaan saya terhadap kaum perempuan, sampai seluruh perempuan di dunia ini hidupnya sejahtera. Saya juga bercita-cita membangun milisi seni, suatu ‘kewajiban’ untuk melibatkan diri pada aktivitas seni. Sungguh saya ingin mewujudkan suatu keadaan di mana jumlah seniman di Indonesia harus lebih besar dari jumlah tentara yang ada di negara ini. Dengan demikian, maka saya bisa meyakini bahwa bangsa Indonesia akan tumbuh sebagai bangsa yang ‘less violence’.”