LIFE

4 Februari 2020

Bront Palarae Telah Menemukan Esensi Seni Perannya


Bront Palarae Telah Menemukan Esensi Seni Perannya

Membiarkan satu kaki memijak kesuksesan, dan pada saat yang sama, mengusahakan agar satu kaki lain bisa terus berkelana, Bront Palarae bercerita tentang apa yang ia hendaki untuk sebuah kebahagiaan dalam hidup.

Ada banyak alasan mengapa orang suka pergi ke bioskop. Salah satu sebabnya ialah kesenangan yang disajikan mampu membawa penonton jauh dari realitas hidup. Dan selain kenikmatan yang menyenangkan, tidak sedikit sineas yang memastikan bahwa film mereka turut memuat komponen makna. Tahun 2019 menjadi tahun yang menarik bagi para penikmat film Indonesia. Kita disuguhkan opsi tontonan yang beragam dan berkualitas dari para sineas Tanah Air. Salah satunya Gundala karya sutradara Joko Anwar. Film tersebut memenangkan tiga Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia 2019: kategori Penata Suara Terbaik, Penata Efek Visual Terbaik, dan Pengarah Sinematografi Terbaik.

Yang menarik perhatian saya dari film Gundala adalah karakter Pengkor. Sosok antagonis yang lahir dengan tubuh tidak sempurna dan kerap diejek, tetapi luar biasa cerdas sekaligus manipulatif. Perlakuan yang diterima Pengkor sejak kecil membuat ia kemudian membalas dendam dengan menaklukkan dunia lewat segala cara. Sutradara Joko Anwar membuat karakter tersebut relevan dengan kondisi sosial dan politik di Indonesia. Di penghujung tahun 2019, saya punya kesempatan bertemu dengan Bront Palarae, pemeran Pengkor di Gundala.

Aktor, penulis naskah, sutradara, sekaligus produser film asal Malaysia tersebut menemui saya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ia datang mengenakan celana denim dan kaus bertuliskan Working Class Heroes yang mengingatkan saya pada judul lagu John Lennon. Usai memesan segelas kopi Americano, perbincangan kami diawali dengan sama-sama memuji karakter Pengkor. “Ketika saya menyimak skenarionya, saya langsung jatuh cinta pada profil Pengkor. Keren sekali! Dari pengalaman berkolaborasi dengan Joko Anwar di film Halfworlds dan Pengabdi Setan, menurut saya, kisah Pengkor yang sangat menarik. Saya senang bisa memerankannya. Melakukan riset untuk menyesuaikan cara berjalan, mengulik suara sendiri agar sesuai dengan karakternya, sekaligus mengenakan special effect untuk bagian wajah yang dibikin selama tiga jam oleh Darwyn Tse,” kisah Bront.

bront palarae interview elle indonesia february 2020 - photography raja siregar - styling ismelya muntu - production rianty rusmalia
Busana: SACOOR BROTHERS

Lelaki kelahiran 27 September 1978 tersebut datang ke Jakarta dalam rangka kegiatan promosi film Love is A Bird garapan sutradara Richard Oh. Berperan sebagai Darma, fotografer dari Jakarta yang tengah berlibur di Yogyakarta, Bront beradu akting dengan Salvita Decorte dan Morgan Oey. Untuk perannya di Love is A Bird, ia mengeksplorasi sisi lain psikologi manusia yang tidak bahagia dalam suatu hubungan, tetapi sulit beranjak dari situasi. “Usai saya baca naskahnya, tidak butuh waktu lama untuk menerima tawaran main di Love is A Bird. Setelah Gundala dan film-film lainnya yang relatif besar dalam hal bujet dan promo, kadang ada kerinduan untuk bermain dalam film yang relatif ‘kecil’, tetapi punya wilayah eksplorasi yang luas dalam kreativitas,” ujarnya.

Karier Bront di perfilman berawal dari pekerjaan sebagai asisten di lokasi syuting film. “Kecuali bagian logistik, saya beruntung bisa merasakan berbagai pekerjaan di tiap departemen film. Ada beberapa hal yang hanya bisa dipelajari dengan ikut mengerjakannya di lapangan, kendati saya memang kuliah film. Pengalaman tersebut kemudian mempertemukan saya pada dunia akting lewat perkenalan dengan seorang casting director yang setiap hari mencari bakat-bakat baru. Sejak itu, kecintaan saya pada seni peran dan perfilman semakin bertumbuh besar,” Bront mengenang.

Bront lahir di Alor Setah, Kedah, Malaysia, dan merupakan keturunan Melayu, Pakistan, serta Thailand. Laki-laki bernama asli Nasrul Suhaimin ini awalnya bercita-cita menjadi saintis dan atlet sepak bola. Semasa remaja, ia menonton banyak video musik yang menggugah keinginannya untuk terjun ke dunia sinematografi. “Akhir tahun ‘90-an, ada banyak video musik keren-keren yang bikin saya tertarik jadi sutradara video klip. Rasanya menyenangkan bisa bebas mengeksplorasi narasi musik untuk sebuah tayangan selama 3-4 menit,” ceritanya.

bront palarae interview elle indonesia february 2020 - photography raja siregar - styling ismelya muntu - production rianty rusmalia

Lulus SMA, Bront Palarae melanjutkan kuliah Filmmaking di Malaysia Film Academy. Tahun 2005, ia kemudian mengambil kuliah singkat bidang Art & Culture di Universita Per'Stranieri Perugia, Italia. “Sejak kecil suka nonton film dan video musik. Saya lantas memutuskan ingin hidup dalam industri perfilman. Baik sebagai aktor maupun sutradara, bekerja di dunia film bagi saya adalah mimpi indah yang terwujud,” ungkapnya. Ia kemudian mulai membuat film pendek berjudul I Want To Be A Man dan menjadi juara dalam ajang Kodak Film School Competition di tahun 2003.

Bront memulai debut aktingnya di film Lang Buana (2003) dan mulai melejit sejak ia berperan dalam serial televisi Cinta Tsunami (2005). Laki-laki ini lantas menjajal layar lebar lewat perannya di film Anak Halal (2005). Diikuti judul-judul lainnya yakni Man Laksa (2005) dan Bilut (2005). Tahun 2009, Bront membintangi Belukar, karya sutradara Jason Chong, yang lantas mengantarkannya sebagai peraih penghargaan Best Actor dalam ajang Festival Filem Malaysia ke-23. Lebih dari 40 judul film telah dibintanginya. Termasuk The Bridge (2019) bersama aktor Ario Bayu serta Motel Acacia (2020) besutan sutradara Bradley Liew di mana ia beradu akting dengan Nicholas Saputra.

Sejumlah film Indonesia turut memasang Bront Palarae sebagai aktornya. Selain Halfworlds, ia juga berperan dalam Headshot (2016), My Stupid Boss (2016), Pengabdi Setan (2017), Ayat-Ayat Cinta 2 (2017), dan Gundala (2019). Kita perlu menyebut nama Joko Anwar ketika bicara tentang keterlibatan Bront Palarae di industri perfilman Tanah Air. Tahun 2014, usai menonton Terbaik dari Langit di Kuala Lumpur, Joko berkomentar di Twitter tentang film tersebut.

“Sewaktu Joko Anwar menulis pendapatnya di Twitter tentang Terbaik dari Langit, kami di Malaysia sangat senang. Dua bulan setelah itu, saya menerima pesan Whatsapp dari Joko yang isinya ajakan untuk ikut main di Halfworlds. Tidak lama setelah itu, ia meminta saya memerankan Bapak di Pengabdi Setan, sosok laki-laki berusia 50 tahun sekaligus ayah Rini (Tara Basro). Cukup menantang, terlebih kemampuan saya dalam Bahasa Indonesia enggak bisa dibilang bagus,” ia bercerita mengenai kisah yang menjadi babak baru dalam perjalanan kariernya.

“Sebelum bertemu Joko Anwar, saya sedang mencari makna dari apa yang saya kerjakan selama ini. Saya sangat mencintai dunia film. Namun ada kalanya sesuatu terasa tidak lagi menyenangkan,” kisahnya. Menapak karier di Indonesia jadi angin segar bagi Bront Palarae. Ia merasakan antusiasme para sineas di negeri ini dalam menghasilkan karya film yang bermutu. “Setiap orang yang terlibat berusaha menaikkan standar agar industri ini kian maju. Saya sendiri seperti menemukan ‘playground’ di Indonesia yang datang di waktu yang tepat yakni di saat saya butuh kesenangan lain dalam perjalanan karier saya di dunia film,” ungkapnya.

Alih-alih dianggap mengejar popularitas, Bront mengaku tidak sedang berusaha untuk menjadi terkenal di Indonesia. "Apa yang saya lakukan lebih kepada upaya untuk ‘menyegarkan’ karier lewat berbagai kerja sama yang membuka banyak ruang eksplorasi. Seperti kertas kosong, saya kembali belajar tentang banyak hal, termasuk mengasah kemampuan berbahasa Indonesia." Di usia yang kian matang, Bront juga menyadari pentingnya kerendahhatian agar tak lengah dalam popularitas dan senantiasa melakukan yang terbaik.

bront palarae interview elle indonesia february 2020 - photography raja siregar - styling ismelya muntu - production rianty rusmalia

“Kini saya merasa lebih nyaman dalam membawa diri. Inginnya terus belajar sambil selalu mengingatkan diri sendiri bahwa saya bisa sukses karena peran banyak orang,” ujar Bront. Yang menarik dari perbincangan dengan Bront Palarae adalah saya menemukan korelasi terbalik: semakin jarang seseorang mengedepankan perasaan bangga terhadap diri sendiri, maka semakin bahagia hidupnya. Ia meyakini, segala sesuatu di dalam film adalah hasil kolaborasi. Bahwa profesi aktor menjadi signifikan jika disertai kerja keras seorang sutradara, penulis naskah, editor, penata rias, dan lainnya.

“Jika Anda datang ke rumah saya, Anda tidak akan menemukan satu pun piala penghargaan terpajang di sudut mana pun. Semuanya saya letakkan di bawah tempat tidur. Hal ini agar saya jauh dari arogansi dan sikap terlalu percaya diri. Sebab saya tidak bisa mengandalkan suatu pencapaian untuk keyakinan bahwa seterusnya saya pasti selalu berhasil. Sukses memerankan Pengkor, tidak serta-merta pasti bagus ketika memainkan karakter Darma. Saya tentu menghargai dan mengenang setiap pujian dan pencapaian, tetapi rasanya tidak perlu berlama-lama mengaguminya,” tandas Bront.

photography RAJA SIREGAR styling ISMELYA MUNTU