7 Maret 2024
Cinta Laura Kiehl Menelusuri Celah Inspirasi Generasi
PHOTOGRAPHY BY Gladys NG
styling Gisela Gabriella; gaun & tas Tory Burch; makeup Archaangela Chelsea; hair Xavier Velasquez
Dalam lanskap industri hiburan yang terus bergerak, tokoh-tokoh tertentu menonjol karena bakat mereka yang beragam, karisma yang tak terbantahkan, dan komitmen teguh terhadap keunggulan. Di antara para bintang yang bersinar, Cinta Laura Kiehl merintis perjalanan kariernya melampaui batas ekspektasi dan memikat audiens lewat talenta multifaset dengan prestasi tak terhitung di ranah seni peran, dunia musik, dan bidang advokasi. Kini, ia juga telah merambah peran sebagai seorang entrepreneur yang memayungi sejumlah pilar bisnis yang didirikannya sendiri—di mana misi kemanusiaan tetap menjadi esensi utama tujuan aksinya. Di balik mikrofon podcast, pintu kayu kedai kopi, hingga keasrian lingkungan rumah kreatif yang menjadi jantung dari perputaran kewirausahaannya, pesan moral yang ia suratkan selalu dari dan untuk generasi bangsa. Baru saja kembali usai menghadiri ajang New York Fashion Week 2024 untuk pagelaran mode Tory Burch fall/winter 2024, ia menyempatkan diri untuk berbagi kisah dengan ELLE Indonesia di tengah rindangnya lantai dua Rumah Sraddha Semesta di bilangan Jakarta Selatan yang baru saja diresmikan Cinta Laura Kiehl pada Agustus silam.
Atasan, celana kargo motif kucing, ikat pinggang berhias studs, T Monogram Contrast Embossed mini bucket bag, Kira pearl stud earrings, dan Pierced slingback pumps, Tory Burch.
Congratulations! Tujuh belas tahun aktif berkecimpung di industri hiburan dengan predikat yang selalu positif sekaligus kaya akan aksi kemanusiaan bukanlah hal mudah.
“Thank you! Ya, kami baru saja merayakan anniversary ke-17 sepak terjang saya di industri hiburan pada 7 Februari yang lalu.”
Semakin lama berada di ranah ini, apakah waktu pada akhirnya memberi pengaruh pada proses Anda berkarya? Apakah semuanya menjadi lebih mudah? Atau justru memicu keinginan untuk slowing down?
“Saya orang yang kompetitif sekaligus gigih. Saya selalu menantang diri sendiri dengan hal-hal baru. Saya tidak bisa mengatakan kalau perjalanan ini akan menjadi lebih mudah, karena dalam diri saya selalu punya kekhawatiran dan urgensi untuk selalu menjadi lebih dan lebih. Tapi saya juga sadar bahwa di dunia ini tidak ada yang permanen—segalanya bersifat sementara. Akan ada masa jaya dan akan ada masa sulit. Menyambut tahun-tahun mendatang, saya yakin dengan kerja keras seperti yang selalu saya lakukan dan saya akan bertahan—meski mungkin tidak selalu berada di atas. Lalu apakah akan jadi lebih mudah untuk berkarya? Absolutely not. Terlebih dengan perkembangan teknologi, akan selalu muncul hal-hal baru yang memaksa kita semua untuk beradaptasi agar bisa bertahan. Adaptasi tentu tidak selalu mudah. Plus dengan attention span generasi muda sekarang yang semakin singkat, maka akan semakin sulit untuk menangkap minat mereka untuk fokus dalam waktu lama. Namun kembali lagi, saya selalu punya semangat dan daya juang yang tinggi. Saya amat yakin bisa bertahan.”
Gaun tulle, TB Monogram Contrast Embossed tote, Kira Pavé Pearl Drop earring, gelang Miller Stud Hinge, Cut-Out kitten heel pumps, Tory Burch.
Bicara soal perkembangan teknologi, bagaimana era digital masa kemudian memengaruhi Anda sebagai seorang seniman?
“Yang menarik adalah fakta bahwa generasi saya sangat addicted to technology—terutama media sosial. Banyak orang di posisi saya akan menjabarkan media sosial sebagai suatu hal yang luar biasa, dan itu benar, karena lewat media sosial kita bisa memperkuat branding dan menyebarkan awareness dengan lebih luas dan lebih cepat. Saya bisa mengedukasi banyak orang di Jakarta maupun luar pulau Jawa sekalipun. Tapi di sisi lain, media sosial kadang juga terasa melelahkan bagi saya. Sebab saya tidak terbiasa untuk posting kehidupan pribadi atau pasang foto selfie setiap saat—sangat melelahkan. Bahkan saya masih berkonflik dengan diri sendiri tentang seberapa jauh saya membuat konten ataupun share tentang diri sendiri, karena sejujurnya, gen Z adalah generasi yang ingin mengidolakan sosok-sosok yang relatable. Bagaimana caranya menjadi relatable? Yakni dengan menunjukkan sisi vulnerable diri kita. Jadi saya sedang mencari titik tengah—a healthy balance—untuk melakukan hal tersebut: share tentang diri sendiri tapi masih bisa punya privasi.”
Gaun linen, tas Kira Diamond Quilt Mini, anting, kalung dan gelang dari koleksi Kira Clover, Pierced slingback heels, Tory Burch.
Tapi Anda memulai karier di usia yang sangat muda, usia 12 tahun. Apakah perbedaan visi antargenerasi yang drastis ini juga memberi pengaruh dalam skala tertentu?
“Di rentang waktu 17 tahun perjalanan karier, saya bisa melihat dan merasakan dua dunia generasi yang berbeda: dunia yang dulu mengandalkan televisi dan media cetak, dan dunia yang kini mengandalkan teknologi. If I could have it my way, I prefer the old way. Karena zaman dulu hanya ada satu narasi dari sebuah berita, sehingga kita tidak terpapar begitu banyak versi pemberitaan lainnya. Namun kenyataannya, perubahan zaman mendorong generasi manapun untuk terus beradaptasi. And whoever adapt the fastest, will survive. Saya rasa, saya dan tim cukup bisa beradaptasi dengan masa kini. Tim saya beranggotakan banyak generasi gen Z yang tentu memberi angin segar pada bisnis saya, meski saya sendiri masih berpegang teguh pada beberapa pola pikir lama.”
Pola pikir lama seperti apa misalnya?
“Salah satunya cara saya memimpin perusahaan. Disclaimer, tentu saja saya ingin semua staf merasa happy dan tidak takut untuk speak up—mereka layak untuk bisa mengekspresikan apa yang ada di dalam hati. Tapi, saya bukan orang yang percaya akan prinsip work-life balance. Karena bila Anda ingin mencapai sesuatu dalam hidup, proses tersebut akan memberi porsi tertentu dalam hidup Anda, misalnya work 90% dan life 10%. Lalu akan ada juga waktu di mana work sebanyak 60% dan life sebanyak 40%. Atau di suatu hari nanti, saat Anda sudah berhasil mencapai cita-cita itu, bisa saja work hanya 10% dan life 90%. Faktanya, akan sulit bila dari awal Anda berekspektasi fifty-fifty. Tapi kembali lagi, jika seseorang memilih untuk menjalani work-life balance dengan porsi fifty-fifty, hal itu sah-sah saja. Namun jangan pernah menyalahkan orang lain kalau Anda akhirnya butuh waktu yang lebih lama untuk mencapai cita-cita Anda—atau bahkan mungkin tidak pernah sampai di titik itu. Hal tersebut sering menjadi masalah di generasi masa ini, di mana mereka memiliki ekspektasi dan tuntutan tinggi, namun kerap sulit mendorong diri untuk bekerja keras.”
Gaun jersey, tas Kira Diamond Quilt Mini, anting, kalung dan gelang dari koleksi Kira Clover, Pierced slingback heels, Tory Burch.
With that being said, bagaimana cara Anda menerapkan visi misi dan kerja keras dalam proses entrepreneurial Anda?
“Cinta Paras Semesta (CPS) adalah sebuah holding company yang saya bangun dan menaungi 6 perusahaan. Berdiri sejak 2021 silam dan network ini saya bangun selama 3 tahun terakhir. Tahun 2023 lalu saya benar-benar fokus untuk membuat CPS semakin solid. Di bawah payung CPS ada Revolicons yang bergerak di bidang talent management; Puella, media platform saya; Lvcid Studio yang merupakan post-production house; ABSTRKT yaitu music management; Eighteen Coffee adalah F&B franchise; dan Rumah Sraddha Semesta is where you are right now, our creative hub. Ini adalah tempat yang berlaku sebagai wadah bagi anak muda untuk bisa memperkuat keterampilan mereka di industri kreatif—selain Eighteen Coffee yang bertujuan untuk membuka lapangan kerja di luar Jakarta, menyajikan nilai-nilai Ibu Kota ke second cities di Indonesia, dan menyebarkan aksi usaha ramah lingkungan. Banyak konten-konten yang hanya memilih untuk viral dan margin tinggi tanpa mengacuhkan kualitas. Saya harap, dengan mendirikan perusahan-perusahaan ini, saya bisa berkontribusi untuk meningkatkan kualitas karya seni Indonesia dengan mengelevasi keterampilan sumber daya manusia terutama para generasi muda. Karena saya memiliki sisi filantropi yang kuat, setiap perusahaan saya dirikan dengan misi kemanusiaan. Dan semua ini tidak akan terjadi tanpa keras keras dan kegigihan.”
Mengetahui sepak terjang Anda sebagai aktivis dan speaker yang menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan selama ini, bagaimana misi kemanusiaan bisa membentuk dan menjadi dasar perusahan-perusahaan yang Anda dirikan?
“Berawal dari gagasan yang diiringi oleh ketulusan hati. Bila Anda memiliki privilese, maka sudah semestinya Anda memikirkan bagaimana caranya agar privilese tersebut bisa membantu memudahkan hidup orang lain yang barangkali kurang beruntung dibanding Anda. Saya mendasari segala aksi dengan prinsip tersebut. Saya tidak peduli bila perusahaan saya dianggap besar dan sukses, ataupun kecil dan biasa-biasa saja. Karena kalaupun hasil dari bisnis-bisnis ini membuat saya mampu membantu 10 orang saja, namun tetap 10 kehidupan itulah yang saya bantu perbaiki kualitasnya. Saya hanya melakukan apa pun yang bisa saya lakukan untuk membantu semampu saya—daripada saya tidak membantu sama sekali. Sangat disayangkan rasanya kalau saya melewatkan hidup hanya di depan kamera semata. Saya merasa dengan masuk ke ranah kewirausahaan akan membuka banyak cara di mana saya bisa menguatkan fondasi untuk bisa membuat dampak jangka panjang bagi anak-anak muda Indonesia. Saya ingin memperkuat ‘akar’ dan untuk itu, saya butuh waktu.
Misi lainnya adalah membuka pikiran masyarakat, karena saya sadar bahwa cara terbaik untuk melakukannya yaitu lewat media atau dalam bentuk hiburan. Dengan demikian, masyarakat tidak akan pernah merasa digurui, dihakimi, dan cara berpikir yang sudah dimiliki pun tidak akan merasa terancam. When you try to teach people values, you don’t want to threaten their beliefs. Dengan mengemasnya dalam bentuk hiburan (digital), maka secara perlahan hal tersebut akan memaparkan ide-ide dan pola pikir baru pada audiens di seluruh negeri. Bagi saya, dengan memiliki usaha berupa media platform, maka upaya ini menjadi satu cara efektif untuk mengedukasi masyarakat.”
Atasan, celana kargo motif kucing, ikat pinggang berhias studs, T Monogram Contrast Embossed mini bucket bag, Kira pearl stud earrings, Tory Burch.
Bagaimana tahun 2024 memperlakukan Anda sejauh ini?
“Sejauh ini sangat baik. Karena satu hal yang saya ingin lakukan tahun ini adalah memperbanyak teman. Selama ini saya seorang hermit; I’m always by myself. Yang saya lakukan hanya kerja dan tidur. Jarang punya social life. Saya memang punya banyak kenalan, tapi teman saya hanya satu atau dua orang. Di tahun ini, saya ingin menunjukkan sisi Cinta yang lebih sosial dan menjalin relasi baik dengan orang-orang baru. Sebab itu saya sering hadir ke acara-acara public figure lainnya dengan tulus apa adanya, tanpa harus diiming-imingi apa pun—karena di industri ini merupakan hal yang sangat normal untuk menginginkan imbalan sesuatu dari seseorang.
Selain itu saya sedang mencoba usaha baru yaitu dengan membuka sebuah market place di Sarinah lewat kerja sama dengan Natasha Wilona—kami beri nama Posh Market. Ini menjadi wadah bagi berbagai brand lokal fashion, beauty, lifestyle, hingga F&B yang akan berjualan dari tanggal 29 Februari sampai 3 Maret 2024. Aktivitasnya juga beragam dan kami akan mengadakan podcast secara live, yaitu antara Puella dan iWil—network milik Natasha.”
Selain aktif sebagai aktivis yang membela hak-hak perempuan, Anda juga bekerja sama dengan perempuan-perempuan berdaya lainnya. Bulan Maret ini dunia merayakan International Woman’s Day di tanggal 8. Bagaimana Anda memberi marka pada pencapaian Anda sebagai perempuan berdaya dan seperti apa sosok perempuan Indonesia di mata Anda saat ini?
“Saya tentunya selalu merasa bahagia karena selalu dilibatkan oleh berbagai brand dan institusi yang berusaha memberdayakan perempuan dalam misi-misinya. Meskipun berskala kecil, artinya saya bisa menyalurkan passion saya. Dan bersyukur sekali mereka mempercayai saya untuk menyampaikan pesan-pesan moral tersebut. Brand yang melibatkan saya merentang dari high-end brands yang menyentuh demografi A dan B, dan juga brand dan gerakan-gerakan yang menyentuh demografi C, D, dan E. Saya bangga bahwa suara saya yang melantangkan isu-isu tersebut mampu didengar oleh masyarakat antar demografis. Dan ini hal yang penting. Karena menurut saya, yang butuh diberdayakan sebenarnya adalah perempuan-perempuan yang tinggal di lokasi-lokasi terpencil.
Seperti apa sosok perempuan Indonesia saat ini menjadi topik yang menarik. Karena kondisi perempuan Indonesia yang tinggal di kota besar nyatanya jauh berbeda dengan para perempuan di pelosok daerah. Rasanya sangat bahagia melihat perempuan-perempuan kota besar mampu punya posisi tinggi dalam sebuah korporasi dan memiliki ambisi tinggi untuk pencapaian akademis. Tapi akan sangat narrow-minded kalau kita begitu yakin mengatakan dengan gamblang bahwa nasib perempuan Indonesia sudah membaik. Sebab nyatanya nasib perempuan yang tinggal di luar pulau-pulau inti Indonesia masih sangat mengenaskan; banyak yang mengalami kawin paksa, tidak bisa menyelesaikan sekolah, bahkan tidak tahu kalau mereka sebenarnya memiliki opsi. Sebab itu, saya tidak pernah berhenti untuk dapat terus mengulurkan tangan hingga mencapai ke lokasi-lokasi terpencil tersebut karena bukan hal mudah untuk melakukan aksi-aksi seperti itu di Indonesia—negara kita sangat besar, dipisahkan lautan yang begitu banyak, dan desa-desa tersebut kadang sulit untuk dijangkau karena tidak memiliki kondisi infrastruktur yang baik. Itulah sebabnya saya mendirikan Cinta Paras Semesta yang dengan segala upayanya saya sedang berusaha untuk bisa meningkatkan kualitas bangsa Indonesia hingga menjangkau ke lokasi-lokasi terpencil sekali pun. Indonesian women have come a long way, dan ini saatnya untuk kita memberi perhatian lebih pada mereka yang tidak memiliki privilese dan akses informasi seperti yang selalu kita miliki.”