LIFE

24 November 2023

Cinta Laura Kiehl Tak Pernah Sangsi untuk Bersuara & Setia Bertumpu pada Kakinya Sendiri


PHOTOGRAPHY BY ANDRE WIREDJA

Cinta Laura Kiehl Tak Pernah Sangsi untuk Bersuara & Setia Bertumpu pada Kakinya Sendiri

styling ISMELYA MUNTU makeup RHAY DAVID assistant styling SHAFIYAH KALLA

Mata perempuan melihat dan merenungi dunia dengan cara yang berbeda. Menghasilkan perspektif dan pandangan yang terbentuk dari lingkungan serta rintangan demi rintangan yang hadir di depan mata. Termasuk rintangan yang kadang muncul dari diri sendiri. Takut akan kegagalan tapi juga waspada dengan keberhasilan. Rasa ingin cemerlang tapi takut berlebihan. Hendak memiliki ambisi tapi khawatir jadi celaan. Setiap perempuan akhirnya punya perjalanannya masing-masing dan setiap perjalanan perempuan menghasilkan kisah yang bukan hanya inspiratif tapi juga sarat hikmah. Mengintip kisah banyak perempuan rasanya menjadi bekal pengetahuan yang mungkin tidak saya miliki kalau saya tidak jadi jurnalis. Kali ini saya berkesempatan mewawancarai Cinta Laura Kiehl, pesohor multitalenta yang namanya besar di Indonesia; pemain film, penyanyi, pebisnis sekaligus aktivis sosial.



Kemunculan Cinta Laura Kiehl di dunia hiburan belasan tahun lalu adalah sebuah fenomena. Di usia remaja, Cinta mulai menapaki karier sebagai penyanyi dan pemain film. Di dunia seni peran dan tarik suara, Cinta tak pernah sangsi untuk berekspresi. Ia leluasa menunjukkan identitas diri sebagai seorang seniman dengan percaya diri. Apa yang digeluti, dilakoni sepenuh hati. Masyarakat pun ikut jatuh hati. Dunia hiburan juga jadi tak sepi karena Cinta Laura ikut unjuk kesenian. Namun kala itu popularitasnya sempat meninggalkan kenangan pahit. Dengan aksen Amerika Serikat yang kental, ia sempat dirisak banyak orang karena pengucapan “ojyek” dan “becyek”. Bertahun-tahun kemudian, Cinta tumbuh menjadi perempuan matang dengan kemampuan akademis mumpuni, mengantongi ijazah dari kampus Ivy League, serta memiliki pengalaman bermain film skala Hollywood dalam portofolio aktingnya. Perempuan kelahiran 1993 ini pergi ke Amerika Serikat bukan hanya untuk menyelesaikan studi akademis, tapi juga memulai lembaran baru usai dihantui peristiwa “menjadi bahan olok-olok satu negara”. Yang menarik, pencapaian akademisnya―Cinta meraih dua gelar sarjana, Psikologi dan Sastra Jerman, dengan predikat cum laude dari Columbia University New York―juga menjadi momen penting di mana publik tidak lagi memandang Cinta Laura sebelah mata. Cinta dianggap prototipe perempuan masa kini, ia melampaui selebritas medioker. Sosok pemengaruh, aktivis, dan ikon.


Saat Anda membaca tulisan ini, Anda mungkin sudah mendengar single terbaru dan melihat video klip Cinta yang bertajuk Loco. Dalam percakapan kami, Cinta tak hanya bersemangat membahas karya lagunya yang sangat energetik tersebut tapi juga begitu antusias membagikan kisah perihal kesibukannya sebagai pebisnis di mana ia mendirikan sebuah holding company bernama Cinta Paras Semesta. “Saya memulai karier di usia sangat muda dan kala itu saya sangat berharap bisa punya karier yang panjang di industri kreatif. Bertahun-tahun saya berusaha mengasah diri di bidang seni melalui kemampuan bernyanyi dan berakting. Namun ketika saya kembali ke Indonesia, saya menyadari satu hal bahwa saya telah diberkahi ketenaran dan kesuksesan rasanya bukan untuk semata-mata memuaskan ego dan menumpuk kekayaan finansial, tapi bagaimana popularitas dan platform yang besar bisa dipakai untuk memberdayakan banyak orang. Pandemi Covid-19 menjadi momen yang membawa pencerahan dan perspektif baru buat saya, salah satunya mendirikan Cinta Paras Semesta dengan enam unit bisnis yang bergerak dalam ekosistem industri kreatif. Semakin dewasa, semakin saya yakin bahwa karier di dunia hiburan merupakan stepping stone untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih bermakna. Tentu profesi aktris dan musisi adalah pekerjaan yang mulia, tapi saya mau melakukan lebih dengan ikut beraksi dan berkontribusi bagi pemberdayaan perempuan dan kemajuan generasi muda di Indonesia,” tuturnya.


Saya tidak bisa tidak setuju dengan Cinta Laura. Tugas perempuan yang diberkahi banyak kebaikan dan kemudahan sejatinya memang mesti mendorong orang lain agar berani unjuk diri, menginisiasi suatu gerakan untuk menggali potensi diri agar kaum perempuan selalu bisa bertumpu pada kakinya sendiri. Namun tidak ada kisah tanpa kerikil, termasuk perjalanan Cinta Laura dengan beragam tantangan yang terbukti pernah bisa ditaklukkannya. “Having 6 start-ups isn’t easy. Saya bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Kerja keras pasti bikin lelah, tapi tantangannya adalah sifat perfeksionis dan micro-manage yang bikin saya harus cermat mengatur segala sesuatunya. Sebagai pemimpin perusahaan, selain harus bisa memandang jauh ke depan dan mampu mengeksekusi dengan cepat, saya juga harus bisa memilih orang yang tepat. Bukan hanya yang semangat bekerja tapi juga punya kesamaan visi dengan perusahaan,” ujarnya.


Namun kendala perempuan bukan hanya desakan yang muncul dari lingkungan, tapi juga keraguan yang datang dari diri sendiri. Cinta bercerita, “Ada hari-hari di mana saya kerap bertanya pada diri sendiri, ‘Bisakah saya mengerjakannya?’, “Kenapa saya ingin melakukan hal ini?’ dan lebih-lebih, saya juga masih berjuang untuk ‘melawan’ persepsi orang-orang yang masih melihat saya dengan citra di masa lalu. Mereka seperti tidak percaya bahwa saya mampu terlihat modis tapi juga bisa intelek dan asertif. Saya dapat memahami tren di dunia mode dan kecantikan, dan pada saat bersamaan saya juga berani membicarakan isu-isu penting terkait kekerasan seksual atau perubahan iklim. Kenapa demikian? Karena saya percaya untuk mendapatkan sesuatu, mengubah sesuatu, membangun sesuatu, pilihannya cuma satu: berani bicara. Dan mungkin ini juga terjadi pada kebanyakan perempuan lainnya. Apa yang kita lakukan seperti tidak pernah cukup untuk bisa dianggap benar. Perempuan harus terlihat menarik tapi jangan terlalu cantik hingga membuat orang lain merasa terancam, perempuan mesti pintar tapi tidak boleh sampai mengintimidasi, perempuan wajib bisa mandiri tapi juga harus patuh pada aturan-aturan tertentu. Buat saya, menjadi perempuan bukan berarti tidak boleh punya sifat dan energi maskulin karena maskulinitas dan feminitas sejatinya berada dalam satu spektrum. Saya bisa menjadi sangat feminin tapi juga dapat mengadopsi sifat-sifat maskulin; tegas dan berani. And I am proud to be the kind of woman that I am.”  


Oprah Winfrey pernah berujar, “You get in life what you have the courage to ask for”. Bahwa untuk mencapai tujuan dan keinginan, kita harus berani dan bersedia mengejar apa yang kita mau. Jika tidak bertindak, kita mungkin kehilangan peluang untuk memperoleh apa yang kita inginkan. Cinta Laura mengamini etos kerja keras dan pentingnya punya nyali. Ia memandang keberanian sebagai faktor krusial dalam mencapai cita-cita. Sebab kini ia tak hanya menggeluti dunia keartisan, tapi juga menunjukkan perhatian pada isu-isu sosial. Sejak kepulangannya ke Indonesia pada 2019, Cinta tak hanya sibuk membangun kembali karier di dunia hiburan tapi juga sangat vokal menyuarakan isu-isu perempuan. Ketika Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dicabut dari Prolegnas Dewan Perwakilan Rakyat, Cinta mengisi akun Instagram-nya dengan unggahan disertai tagar #SahkanRUUPKS. Dalam Instagram story-nya, Cinta turut mengunggah alasan-alasan pentingnya RUU PKS ini disahkan karena Indonesia belum ada payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual. Keseriusannya untuk terlibat dalam isu kekerasan akhirnya membuat Cinta didapuk sebagai Duta Anti Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2019 silam. Cinta bisa saja memilih diam di zona aman, menikmati hidup tanpa harus terlibat isu-isu politis. Namun nyatanya perempuan ini berani mengadvokasi isu-isu sensitif dan versi terbaik Cinta Laura justru mengemuka setiap ia angkat suara. Ia berkata, “Ada banyak persoalan yang dihadapi oleh Indonesia dan negara-negara lain di dunia. Mulai dari kesenjangan sosial, kemiskinan, ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan, pelecehan seksual, hingga problem perubahan iklim. Sebagai figur publik, saya merasa punya kewajiban untuk menggunakan platform popularitas demi terwujudnya suatu perubahan positif di negara kita. Bahwa saya telah dianugerahi karier yang cemerlang, maka ini bisa dianggap sebagai salah satu ‘giving back’ saya terhadap Indonesia. Alih-alih bersikap emosional dan irasional, saya ingin turut serta menyuarakan hal-hal penting yang berbasis data dan fakta. Terlebih, memilih bersikap diam di tengah suatu permasalahan rasanya bisa membuat kita kehilangan sisi kemanusiaan.”

Kalau saya ditanya kenapa selalu tertarik dengan kisah perempuan, buat saya menarik menyimak sepak terjang mereka yang tak punya kegentaran untuk mundur mengubur cita-cita. Apalagi perempuan-perempuan yang berani berbicara lantang mengungkap ambisi dan gagah mengejar mimpi. Tidak mungkin hati saya tidak tergerak saat menyaksikan perempuan begitu bernyali dan berani bangkit dari kegagalan, tekun mengabaikan cibiran, serta konsisten untuk berjuang dan bekerja keras. Cinta Laura sosok yang telah berproses dalam kisah-kisahnya. Di balik keberhasilannya, lewat cerita-cerita Cinta, kita mendengar sisi rapuh kehidupan; jatuh, gagal, kecewa terhadap situasi, dan merasa keadaan tak lagi memungkinkan. Kondisi-kondisi yang membawa kita pada pemahaman soal ‘timing’. “Dulu waktu kecil sampai lulus kuliah, saya selalu mengira bahwa waktu ada dalam kendali saya. Saya merasa bisa mendikte kapan saya akan berhasil dan kapan saya menerima reward atas kerja keras. Dulu saya punya obsesi bahwa segala pencapaian harus terjadi di usia semuda mungkin. Saya mesti meraih kesuksesan sebelum orang lain memilikinya. Masuk usia dewasa, saya kemudian terpatahkan oleh semua asumsi dan ekspektasi selama ini. Bahwa ternyata hidup tidak melulu bisa direncanakan dan hal-hal buruk kadang memang tak bisa dilawan. Apabila saya tak kunjung mendapatkan keinginan, barangkali memang saya yang belum siap menerima keberhasilan sehingga momen itu belum terjadi. Lewat proses panjang pendewasaan, pada akhirnya saya menyadari bahwa satu-satunya yang bisa saya kendalikan adalah diri saya sendiri. Saya harus percaya dengan insting dan kerja keras, tapi juga perlu berserah pada rencana Tuhan yang lebih tahu kapan waktu yang terbaik,” pungkas Cinta Laura.