LIFE

3 September 2018

Dian Sastrowardoyo: Feminisme, Media Sosial, dan Krisis Percaya Diri


Dian Sastrowardoyo: Feminisme, Media Sosial, dan Krisis Percaya Diri

Orang kerap memandang sempurna pada Dian Sastrowardoyo. Cantik, karier sukses, dan keluarga yang bahagia. Yang tidak diketahui, Dian juga punya krisis percaya diri.  

Sosok intelek. Itulah pemikiran saya tentang Dian Sastrowardoyo (36). Jika pernah mendengarnya bicara, bukan melafalkan naskah dalam film, Anda juga pasti setuju. Ia mampu membuat lawan bicaranya jadi minder–atau mungkin itu hanya terjadi pada saya yang sudah mengaguminya sejak kemunculannya di Pasir Berbisik (2001). Atas permintaan Dian, jadwal pemotretannya bersama ELLE yang direncanakan pukul 10 pada hari itu mundur jadi lebih siang. “Kita bertemu jam 12 saja, ya. Saya baru pulang dari Barcelona kemarin lusa dan masih jetlag,” begitu isi pesannya kepada kami. Seketika, saya gugup. Bagaimana jika ia terlalu lelah untuk diwawancara? Biasanya, suasana hati orang yang letih sehabis menempuh perjalanan jauh kerap moody. Saya sampai di lokasi pemotretan sekitar pukul satu siang. Dian sudah datang dan tengah dirias di ruang makeup. Saya masuk dan menyalaminya. “Halo, saya Dian! Apa kabar?” suaranya riang sambil menjabat tangan saya. Ia tersenyum ramah, tidak ada guratan lesu di wajah dan bahasa tubuhnya. Tak butuh basa-basi untuk membuka obrolan dengan Dian. Pribadinya yang hangat dan supel bikin cepat akrab, seperti berbicara dengan teman yang lama tak bertemu. dian sastro profile interview - elle indonesia

Rasa Tidak Aman

Perempuan kelahiran 16 Maret 1982 ini mengawali karier sebagai model sampul majalah remaja pada 1996. Ia pertama kali tunjukan bakat seni peran lewat Pasir Berbisik. Di situ, Dian tampil memukau bersama Jajang C. Noer yang lebih senior. Penampilannya menuai pujian dari festival film internasional. Popularitas Dian kian meroket usai membintangi Ada Apa dengan Cinta? pada 2002. Berkat kepiawaiannya menghidupkan karakter Cinta dalam film tersebut, Dian meraih berbagai penghargaan sebagai Aktris Terbaik dan sukses menempatkan diri dalam jajaran bintang papan atas. Tahun-tahun berikutnya, ia pun dibanjiri banyak tawaran film. Meski begitu, ia merasa hal tersebut tak cukup menjadi garansi karier di masa depan. Saat itu, tahun 2007, ia mulai ragu terhadap dunia seni peran. “I want to see a financial security. Dan saya tidak terlalu yakin akan perkembangan industri perfilman serta stabilitas dunia hiburan di Indonesia mampu menyikapinya kala itu,” tuturnya. Ia mengacu pada Meryl Streep yang kapablitiasnya semakin dihargai seiring usia serta jam terbang. Dian mencintai akting. Namun, Dian muda juga tak ingin jalan di tempat dan mengharap kehidupan mapan di hari tua. Akhirnya, ia putuskan berhenti dari layar lebar. Drupadi yang dirilis pada 2008 menjadi karya terakhirnya sebelum rehat selama enam tahun. Dian sempat mencicipi kehidupan perkantoran. Ia melamar ke beberapa perusahaan, sebelum akhirnya pilih bekerja di perusahaan konsultan yang memberikan jenjang karier. Predikat artis tenar tidak memberikan hak prerogatif. Ia mulai dari bawah. Anda tahu apa yang berkorelasi dengan posisi junior? Jumlah pekerjaan nan ‘melimpah’. “Saya mengerti, mereka pasti ingin menguji kemampuan saya. Jadi, hal itu fair dan profesional,” kenangnya. Dunia kerja memberikannya pengetahuan dasar bisnis, tentang struktur perusahaan, manajerial karyawan, strategi dan cara alokasi dana. “Pengalaman itu bikin saya berani membuka beberapa bisnis kecil,” ungkap Dian. Salah satu bisnis yang digelutinya bergerak di bidang kecantikan. Februari silam, ia membuka klinik kecantikan untuk perawatan tubuh dan wajah, hasil kerjasama beberapa kolega. Ketertarikan Dian terhadap dunia kecantikan sudah sejak sekolah dasar kelas dua. Minat terbesarnya tertuju pada makeup, terlihat langsung pada saat itu. Beberapa kali, ia minta penata rias kami untuk menambahkan eyeshadow pada matanya hingga bereksperimen dengan lipstik warna biru. “Saya lebih baik berkomunikasi dengan penata rias, daripada diam-diam pergi ke toilet dan menghapus riasan yang diciptakannya. Sebab, saya juga bertanggungjawab membantu si penata rias untuk mengerti anatomi tubuh saya, seperti masalah mata yang agak kubil ini,” katanya seraya mengambil kuas eyeshadow dan minta izin pada sang makeup artist untuk membaurkan sendiri riasan matanya. Dian mengaku hampir tidak pernah keluar rumah tanpa makeup. “Walau hanya sekadar aplikasi foundation atau olesan lipstik di bibir, berarti Anda menghargai diri sendiri dengan penampilan yang nyaman dipandang. Anda juga terlihat lebih kompeten menghadapi dunia,” prinsipnya. Sebagai perempuan yang telah melahirkan anak dua, problem berat badan juga kerap dirasakan oleh Dian. “Apalagi, suami lebih disiplin dalam mengatur pola makan. Dia juga rutin lari dan maraton. Saya jadi semakin pressure,” katanya sambil tertawa. Sekarang, ia menjalani diet ketogenik yang tidak mengonsumsi karbohidrat, kecuali dari sayuran. Cara itu dirasanya lebih cocok dan mudah, ketimbang ia harus menghitung kalori atau makan hambar. “Tubuh saya ini tipe mesomorph yang besar dan tebal karena otot, karena saya juga olahraga. Sebenarnya sebal, sebab saya ingin lingkar tubuh yang lebih kecil. Jadi, saya harus disiplin diet. Tapi tetap olahraga, lari, hanya saja tidak dengan ambisi. Lebih menjadi me time saja,” ujarnya. dian sastro profile interview - elle indonesia

Efek Media Sosial

Obrolan kami sempat berhenti sejenak karena harus mengejar cahaya matahari untuk pemotretan. Saat ia kembali, kami berdiskusi tentang eksistensi dan emansipasi. Nama Dian sudah lebih dulu dikenal di industri hiburan jauh sebelum era kemunculan media sosial. Namun, hari itu Dian melontarkan pendapat menarik yang membawa kami pada topik tentang dunia maya. “Saya rasa, saya bisa kembali main film berkat Instagram,” kata pemilik akun @therealdisastr ini. Setelah istirahat panjang, ia kembali muncul di layar lebar 7/24 (2014), dan sampai hari ini. Rasanya sulit membayangkan aktris sekaliber dirinya audisi lewat media sosial. Siapa produser dan sutradara yang tak ingin bekerjasama? Ia pun menjelaskan nalarnya, “Sebagai pelakon, yang bukan bagian tim rumah produksi, saya perlu menjaga visibilitas di masa kini.  Jika tidak, mungkin saya hanya akan melebur jadi pekerja kantoran dan dilupakan industri hiburan. Apalagi, saya pernah rehat yang menimbulkan asumsi berhenti total. Salah satu medium yang menjaga eksistensi adalah Instagram.” Begitu penting arti media sosial kini, Dian merasa perlu menyerahkan konten platform kepada tim ahli. Namun, teman-temannya melarang. “Mereka lebih suka konten saya yang random, lebih jujur mencerminkan diri saya. Akhirnya, saya mengunduh aplikasi untuk preview feed saja. Untuk belajar bikin feed lebih keren, hahaha!” ceritanya. Perempuan dengan 5,2 juta pengikut Instagram itu juga tidak terlalu memikirkan komentar—terutama sentimen negatif—yang mampir ke setiap foto unggahannya. Namun, masalah eksistensi di media sosial cukup menarik perhatian Dian. Ia merasa beruntung lahir pada masa sebelum media sosial menjadi tren. Karakternya terbentuk dari hasil interaksi langsung, bukan percakapan dan sentimen netizen yang maya. Dian sempat berkisah, beberapa waktu lalu, ia bertemu influencer dan blogger dunia yang sangat frustasi terhadap jumlah follower dan likes yang sedikit. “Yang lebih parah, kaum millenial muda ini paranoid hingga membentuk hidupnya sesuai komentar yang didapat,” ungkapnya. dian sastro profile interview - elle indonesia

Perempuan: Individu, Istri, Ibu

Menurutnya, emansipasi di Indonesia bersifat paradoks. “Budaya patriarki sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia hingga terkadang memberi gagasan kepatuhan bagi perempuan adalah nilai ideal,” kata pemeran biopik Kartini (2017) ini. Oleh karena itu, pendidikan menjadi penting dan mendorongnya mendirikan Yayasan Beasiswa Dian pada 2009 silam. Di Indonesia, perempuan lajang, apalagi single parent, yang sukses kerap mendapat stigma negatif. Ia merasa beruntung "punya suami yang selalu memberi dukungan positif untuk setiap kegiatannya." Tetapi, Dian tetap sadar akan posisinya sebagai istri yang harus menghormati pasangan, serta ibu yang wajib mengurus anak-anak. Ada kalanya, kesibukan masing-masing membuat Dian seperti menjalani pernikahan jarak jauh. Padahal, secara fisik mereka berada di kota yang sama serta tidur di tempat yang sama. Jika sudah merasa terlalu lama berjauhan, ia dan suami pasti akan meluangkan waktu istimewa untuk berdua. “Karena sebenarnya, kehadiran bukan hanya fisik. Tapi juga jiwa, hati, dan pikiran Anda untuk berdua,” ujar perempuan yang menikahi Indraguna Sutowo pada 2010 itu. Kata-katanya pun mengingatkan saya akan kehadiran kami hari itu. Berbicara dengannya sungguh bikin terhanyut hingga tidak terasa sudah pukul empat sore. Setiap dialek yang meluncur dari bibir Sarjana Humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univesitas Indonesia ini lugas dan penuh wawasan. Satu hal yang saya suka dan garis bawahi, tutur kata Dian tak pernah berniat menggurui. Ia harus pergi meeting ke daerah Senayan. Sebelum pergi, saya sempat menanyakan proyek barunya tahun ini. “Rencananya, bakal produksi dua film baru,” jawabnya. Tetapi ia tidak bicara banyak, hanya seringai jahil yang bikin penasaran.   (Foto: Dok. ELLE Indonesia; Photography Vicky Tanzil Styling Ismelya Muntu) (Artikel ini dipublikasikan dalam majalah ELLE Indonesia edisi April 2018)