18 Maret 2019
Joe Taslim: Mengapa Sinema Indonesia Butuh (Lebih Banyak) Perempuan?

Membahas isu besar soal kesenjangan gender diiringi kasus pelecehan seksual yang menimpa para perempuan di panggung Hollywood, industri perfilman Indonesia rasanya masih menunjukkan gelagat jauh lebih baik. Gagasan tersebut dilontarkan Joe Taslim, seorang aktor kelahiran Palembang tahun 1981 yang telah beberapa kali menginjakkan kaki di jagad Hollywood, saat kami bertemu di bulan Januari silam. Waktu itu, dua hari sebelum jadwal penerbangannya ke Cape Town, Afrika Selatan.
Sekarang, ia sedang sibuk syuting musim kedua Warriors, original series produksi saluran televisi internasional Cinemax. Setelah debut penampilan di Furious 6 (2013), langkah Joe memang kian mantap melenggang ke kancah perfilman mancanegara. Wajahnya tak hanya sekali waktu menghiasi layar lebar Hollywood. Pada 2016, ia turut mencatatkan nama dalam daftar para pemeran Star Trek Beyond.
Kembali ke soal perempuan dan sinema, saya satu pendapat dengan Joe. Tidak berarti ia—juga saya—memandang ranah sinema kita tanpa masalah sama sekali. ‘Rebutan layar’ bioskop, pembajakan, dan regenerasi, masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu perhatian. Namun, kesempatan itu lebih terbuka bagi perempuan di Indonesia. “Saya pikir, perempuan cukup mendapat tempat di industri film Indonesia,” kata aktor yang melejit berkat perannya di laga The Raid: Redemption (2011) itu.
[caption id="attachment_6780" align="aligncenter" width="685"]
Busana: Hugo Boss[/caption]
“Dari segi pemain kita enggak kekurangan pemeran perempuan. Banyak sutradara berbakat kita juga perempuan. Upi, Nia Dinata, Mira Lesmana, dan...” Joe tiba-tiba berhenti bicara lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dalam jeda sejenak itu, ia membuka halaman situs pencarian internet dan sibuk mencari nama sutradara film Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak. “Oh, Mouly Surya!” serunya kemudian menaruh kembali ponselnya. “Sangat enggak sopan untuk enggak menyebutkan nama seseorang dengan benar (menjelaskan aksinya yang tiba-tiba itu). Saya suka sekali Mouly. Karyanya sangat luar biasa.”
Di antara nama sutradara perempuan yang ia sebutkan selama diskusi siang hari itu, Mouly bisa dibilang sosok pilihan favoritnya. Tetapi, jika melihat dari upaya Joe ketika tadi menelusuri nama Mouly di internet, saya bisa tahu kalau ia tidak mengenal sutradara yang meraih penghargaan Sutradara Terbaik dan Penulis Skenario Asli Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2018 silam itu secara pribadi. Ia menilai bahwa Mouly tidak mainstream.
“Dari karyanya, terlihat sekali jika ia mencintai film. Visinya pure. Ia menggarap film seperti apa keinginannya, tanpa ada intervensi pihak luar. Not for the sake of businness atau mengikuti kemauan pasar. Pemilihan ceritanya unik dan berani. Saya menyukai gaya Mouly yang artsy itu.” Bicara Joe seolah sedang melakukan ‘promosi’ film Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak. Tetapi tidak ada alasan untuknya melakukan itu. Filmnya sudah lama lewat masa tayang. Terlebih lagi, ia juga bukan salah satu pemain dalam film tersebut. Rasa kagumnya tulus.
Menurut Joe, “Mata seorang perempuan mampu menghasilkan perspektif yang berbeda dengan laki-laki.” Walau begitu, pada kenyataannya, Joe mengaku belum pernah benar-benar merasakan bermain peran di bawah arahan sutradara perempuan. “Dulu sekali pernah, tapi hanya untuk proyek iklan. Prosesnya tidak menghabiskan banyak hari, jadi tidak bisa saya jadikan sebuah patokan,” kenangnya.
Joe pun menanti datangnya hari itu, di mana ia bisa bekerjasama dengan seorang sutradara perempuan. Dalam bayangannya, “Pasti sangat seru. Karakter filmnya bisa lebih sensitif, ‘cantik’, atau justru lebih keras. I Looking forward to it.” Perempuan itu tidak harus Mouly. Bisa siapa saja, yang penting mampu menyuguhkannya bobot atas filmnya. Bobot di sini maksudnya, "Membahas sesuatu yang tidak umum. Suatu hal penting yang tidak banyak orang berani membicarakannya,” jelas Joe. Naluri idealis sebagai aktor kerap memandu untuk lebih mementingkan nilai tersebut ketika mengambil tawaran pekerjaan. Bukan hanya melihat dari segi materi.
[caption id="attachment_6779" align="aligncenter" width="685"]
Busana: Hugo Boss[/caption]
Minim pengalaman dengan sutradara perempuan tidak berlaku jika bicara pasangan lawan main. Di The Night Comes for Us (2018) misalnya, Joe beradu aksi dengan empat aktris papan atas Indonesia sekaligus: Julie Estelle, Hanna Al Rasjid, Dian Sastrowardoyo, dan Salvita Decorte. Ia memerankan tokoh utama, Ito, yang membelot dari Triad (kelompok mafia) demi menyelamatkan nyawa seorang anak. Dalam salah satu adegannya, Joe dihajar habis-habisan oleh Julie hingga kewalahan dan babak belur. “Julie melakukan sendiri seluruh aksi di kamar mandi itu tanpa bantuan pemeran pengganti,” kata Joe. Jujur, saya sempat meragukan kata-katanya.
Saya bertemu dengan Julie Estelle selang satu minggu kemudian untuk sesi pemotretan ELLE: Women in Cinema, dan ia memastikan bahwa Joe bukan pembohong. “Timo sempat menawarkan saya stuntman. Tapi saya katakan pada Joe, ‘Joe I trust you. Let’s do this.’ Lalu kami melakukannya tanpa berpikir dua kali. And we did it! I love working with him. Saya mendapatkan sinergi kerja yang sangat baik dan Joe banyak membantu saya dalam setiap scene. I think Joe is very proffessional actor,” kisah Julie.
Joe mulai serius menggeluti akting sebagai profesi sejak 2008. Sebelum itu, ia adalah seorang atlet bela diri judo. Tidak heran jika ia piawai dalam adegan laga. Beberapa kali cedera dan seiring bertambahnya usia, Joe memutuskan gantung sabuk pada 2007. “Salah satu highlight film ini sebenarnya adalah Julie,” ungkap Joe. “Anda sudah nonton filmnya? Julie selalu tampil bersinar dalam setiap scene. Ia tidak pernah digambarkan jatuh terpuruk. Ia tidak pernah kalah dalam berkelahi. Kalau dipikir lagi, karakter Julie lebih garang di antara para perempuan lainnya dan dibandingkan seluruh laki-laki dalam film ini.”
[caption id="attachment_6778" align="aligncenter" width="685"]
Busana: Ted Baker[/caption]
Lewat karakter perempuan-perempuan yang pernah menjadi rekan mainnya, Joe memahami benar bahwa perempuan bukan sekadar pemanis dalam film. Tidak ada peran yang remeh, meski hanya pendukung jalan cerita. Baginya, setiap peran mampu menonjol jika diberikan background story yang kuat. “Tapi memang, ada beberapa film yang ‘menerapkan’ stigma itu. Saya pribadi kurang setuju statement itu. Filmaker should looking for artist who could deliver the images and the messages.” Joe beropini berdasarkan pengalaman pribadi.
Tahun lalu, saat terlibat produksi film terbarunya berjudul Hit & Run, Joe bukan sekadar melakoni tokoh utama. Ia juga, untuk pertama kalinya, menduduki kursi produser kreatif di balik layar. Tugasnya? “Bersama Ocay (Ody C. Harahap, sebagai sutradara) dan Upi (penulis skenario) di balik layar, saya ikut terlibat pembuatan naskah dari draf pertama hingga final, pengembangan karakter dan ide agar alur cerita berjalan menarik setiap menitnya,” jawab Joe.
Tanggung jawab atas peran barunya itu dirasakan Joe sangat menantang. Bagaimana tidak, ia diharuskan membagi fokus kepada segala hal di balik layar; memperhatikan gerak pemeran lain dan menjaga koneksi antara para pemain senantiasa harmoni; sekaligus performa di depan kamera. Walau begitu, pemeran Tegar di film tersebut menikmati setiap peluh yang ia dapat di belakang kamera.
Di film Hit & Run yang rencananya akan rilis pertengahan tahun—antara Juni atau Juli—2019 mendatang, Joe tampil beradu akting dengan Tatjana Saphira. Ia pun kembali menekankan bahwa perempuan bukan sekadar perkara tampang. “Meskipun wajahnya terlihat manis, ketika diminta keras, dia bisa melakukan hal-hal yang engga Anda sangka dan tanpa stunt,” katanya.
[caption id="attachment_6781" align="aligncenter" width="685"]
Busana: Ted Baker[/caption]
Sepanjang kisah Joe soal perangai setiap perempuan yang pernah bekerjasama dengannya, sudut pandang Joe seolah meluluh lantakan sentimen mengenai perempuan di industri perfilman. Bahwa perempuan adalah diva. Bahwa perempuan kerap menuntut perlakuan khusus. Sejatinya perempuan memberikan 'warna' yang lebih menghidupkan dunia sinema. “Lagi pula, syuting dengan komposisi gender yang beragam itu justru lebih menyenangkan,” tutupnya.
(Photo: DOC. ELLE Indonesia; photography ZAKY AKBAR styling SIDKY MUHAMADSYAH makeup ARIMBI)



