LIFE

6 Maret 2025

Kiprah Shinta Dhanuwardoyo Mengembangkan Perusahaan Rintisan Bidang Teknologi yang Berpotensi


Kiprah Shinta Dhanuwardoyo Mengembangkan Perusahaan Rintisan Bidang Teknologi yang Berpotensi

Seorang veteran dan pelopor di industri teknologi. Shinta Witoyo Dhanuwardoyo telah bekerja selama puluhan tahun untuk memajukan teknologi sejak ia mendirikan Bubu.com dan menjabat sebagai CEO perusahaan. Shinta seorang pengusaha perempuan, pegiat digital, angel investor, serta pendiri Nusantara Venture dan bubu.com. Sejak berdirinya perusahaan Bubu.com pada 1996, Shinta Dhanuwardoyo telah memberi dampak pada lanskap digital Indonesia dengan berbagai cara. Perempuan kelahiran 1970 silam ini menghabiskan masa kecilnya di Manila, Filipina. Ia menyelesaikan pendidikan Arsitektur di Universitas Oregon, Amerika Serikat, dan meraih gelar Master of Business Administration di Portland State University, Amerika Serikat. Shinta pertama kali bersentuhan dengan dunia teknologi ketika ia menjadi asisten dosen dan bekerja sebagai graduate assistant di laboratorium komputer kampus, dari 1993 hingga 1995. Saat itu ia berkesempatan mengoperasikan komputer dan membuka sebuah website di internet. Pada masamasa itulah ia mulai jatuh hati pada dunia internet.

Lulus kuliah, Shinta bekerja di perusahaan konsultan manajemen. Namun karena minatnya lebih ke arah desain web, tahun 1996 Shinta memutuskan keluar lalu mendirikan Bubu.com bersama rekannya. Awalnya perusahaan ini berfokus pada bidang web design namun berkembang menjadi perusahaan agensi digital berbasis data. Selain melayani konsumen, Shinta turut melakukan edukasi kepada masyarakat karena saat itu internet belum banyak digunakan masyarakat. Kemampuan Shinta dalam mengembangkan Bubu.com menarik perhatian banyak pihak. Tahun 2009, ia ditunjuk oleh Telkom Indonesia untuk memimpin e-commerce milik Telkom Indonesia, Plasa.com yang akhirnya dikenal menjadi Blanja.com. Di bawah kepemimpinan Shinta, Plasa.com berhasil menarik kerja sama dengan eBay pada tahun 2010. Setelah 2,5 tahun, Shinta memutuskan mundur dan menjadi Managing Partners di Nusantara Ventures, salah satu perusahaan kapital ventura Indonesia yang membantu para wirausahawan untuk menciptakan dan mengembangkan perusahaan.

Sejak menjadi Managing Partners Nusantara Ventures hingga mendirikan Bubu Ventures, peran Shinta dalam perkembangan digital Tanah Air terus menguat. Bahkan, ia berperan penting dalam membina hubungan kerja sama antara Asia dan Silicon Valley. Shinta mendirikan Silicon Valley Asia Technology Alliance, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan pada 2014 dengan misi untuk menjembatani aliran ide dan kolaborasi antara industri teknologi di Indonesia dan Silicon Valley. Shinta turut memprakarsai Angel EQ Network, jaringan angel investor yang didirikan pada Oktober 2015 oleh 13 anggota pendiri dengan tujuan untuk meningkatkan ekosistem kewirausahaan Indonesia melalui pendidikan, keterlibatan aktif, dan pendanaan. Inisiatif ini kini telah dijalankan oleh perusahaan-perusahaan rintisan di Indonesia. Selama lebih dari 10 tahun, Shinta juga menjadi bagian dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan saat ini menjabat sebagai Ketua Komite Tetap Riset dan Teknologi di sektor digital di KADIN. Ia turut menduduki posisi Ketua Komite Tetap Industri Media Online, dan juga tergabung di Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia. Shinta juga dikenal sebagai angel investor dan mentor bagi para start-up teknologi di Indonesia, dan sering kali menghadiri acaraacara digital sebagai pembicara atau dewan juri.

Shinta mulai mengadakan Bubu Award pada tahun 2001, sebuah ajang penghargaan bagi talenta di industri digital Indonesia. Sejak itu, Shinta terus mengupayakan berbagai inovasi dalam mengedukasi masyarakat Indonesia dan terus mengupayakan lingkungan start-up yang mumpuni. Pada tahun 2011, ia mengadakan IDByte sebagai ekstensi dari acara Bubu Awards. IDByte diadakan selama tiga hari mencakup pameran, seminar dan konferensi bagi industri digital. IDByte turut menghadirkan pembicara dari berbagai perusahaan teknologi ternama dari seluruh dunia, seperti Facebook, Twitter, Amazon, Google, dan lainnya. Pada 2019, Bubu berubah menjadi venture builder dengan mengembangkan sejumlah usaha baru di bawah induknya. Salah satu usahanya adalah Bubu Gaming, sebuah agensi game dan eSports, di mana Shinta berhasil menyelenggarakan turnamen Bubu eSports Tournament (BEST). Pada 2019, Shinta meluncurkan usaha baru lainnya yang disebut Startupindonesia.co, sebuah platform online untuk membantu menghubungkan semua ekosistem start-up di Indonesia yang mencakup koneksi ke venture capitals, angel investors, dan mentor. Platform ini berupaya mendemokratisasi jaringan dan pengetahuan untuk ekosistem start-up teknologi Indonesia, terutama yang memiliki dampak sosial ekonomi. Selain itu, Startupindonesia.co turut dikembangkan sebagai direktori start-up Indonesia dan pusat pendidikan online untuk kewirausahaan teknologi.

Pada tahun 2021 Shinta juga ditunjuk sebagai salah satu anggota pendiri Asia Gender Network di bawah naungan Asia Venture Philantrophy Network dan didukung oleh Bill Gates and Melinda Gates Foundation. AVPN merupakan jaringan Pan Asia pertama yang menggerakkan modal untuk tujuan memberdayakan perempuan dan anak perempuan di Asia demi mendorong kesetaraan gender di seluruh wilayah. Sepanjang tahunnya jaringan ini terus bekerja pada tujuan yang berkaitan dengan gender. Sedangkan terkait ranah kepemudaan, Shinta mendirikan dan memimpin Supergirls in Tech, sebuah program inkubasi teknologi khusus untuk mahasiswa-mahasiswa perempuan yang sedang menjalani tahun terakhir kuliah dimana setiap program dan kegiatannya didedikasikan untuk menemukan solusi berbasis teknologi demi mengatasi kesenjangan gender di Indonesia. 

Bagaimana pengalaman sebagai graduate assistant di laboratorium komputer memengaruhi minat Anda pada teknologi dan akhirnya membawa Anda ke dunia teknologi digital?

“Waktu kecil, saya sempat bercita-cita ingin menjadi dokter. Namun ketika SMA, saya menemukan kenyataan bahwa saya senang menggambar dan punya ketertarikan pada mode. Lulus SMA, sempat ingin jadi fashion designer tapi tidak mendapat restu ayah dan akhirnya memilih arsitektur agar hobi menggambar bisa tetap tersalurkan. Saya ingat sekali betapa menantangnya kuliah arsitektur di zaman itu. Tahun 1988 sampai 1995, saya menggambar dengan tangan dan baru bisa menggambar pakai komputer di tahun terakhir kuliah saat Macintosh pertama kali diperkenalkan. Saking menantangnya, akhirnya saya bilang ke orangtua saya ingin kuliah S2 jurusan bisnis. Saya mau buka usaha sendiri saja. Karena ayah tidak bisa membiayai dan saya kebetulan pernah memakai komputer Macintosh, saya pun melamar kerja sebagai graduate assistant di laboratorium komputer. Di masa itu, tahun 19951996, saya menemukan dunia baru bernama internet. Saya begitu antusias melihat berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dari kemunculan internet. Sesuatu yang membuat kehadiran dan keberadaan karya kita bisa dilihat siapapun di seluruh dunia.”

Apa yang menginspirasi keterlibatan Anda di dunia esports

“Awalnya saya menjadi mentor seseorang yang ternyata dia seorang gamer. Saya belajar banyak dari dia tentang eSports. Dari situ muncul rasa penasaran kenapa eSports kurang terdengar gaungnya, padahal kini ada 180 juta orang Indonesia main game dan 46 persennya adalah perempuan. Saya kemudian bikin event IDBytes dan tahun 2019 temanya eSports dengan menghadirkan para pembicara yang berkaliber di dunia gaming. Kemudian mengadakan turnamen eSports PUBG Mobile sekaligus mempelopori turnamen khusus perempuan. Selama ini, gamers perempuan jarang diketahui publik padahal 46% games di Indonesia itu perempuan. Saya selalu ingin apa yang saya kerjakan bisa menghasilkan sesuatu yang ada dampak baik untuk industri. Dalam ranah eSports, upayanya adalah mengangkat para gamers profesional perempuan. Saya berharap bisa menyamakan posisi gamers perempuan dengan player laki-laki. Di tengah industri yang didominasi laki-laki, upaya ini harus dua kali lebih keras diperjuangkan. Terlebih masih sedikit orang yang memahami apa itu eSports dan banyak game-game baru yang bermunculan. Artinya kita harus terus mencari gamers yang andal dari berbagai wilayah di Indonesia di tengah kemunculan game-game baru.”

Bertahun-tahun berkecimpung di industri teknologi, menurut Anda apa tantangan dan kunci untuk bertahan di lanskap digital?

“Dulu saya mulai membangun e-commerce tahun 2009-2010, saat tidak banyak orang memahami dan membutuhkan e-commerce. Dalam bisnis, kondisi ‘kepagian’ itu tidak selamanya baik karena salah satu kunci keberhasilan dalam bisnis adalah tepat waktu. Jangan terlalu awal tapi juga tidak boleh terlambat. Saya sering kali terlalu cepat mengeksekusi akhirnya pasarnya belum siap, penggunanya belum ada, dan banyak orang belum mengerti. Tantangan seorang pembuka jalan yang sedang memulai sesuatu yang baru adalah bagaimana kita mengedukasi orang lain perihal apa yang sedang kita kerjakan. Waktu itu internet masih jadi sesuatu yang asing dan enggak banyak perusahaan yang mau dibuatkan website. Ada banyak kebaruan dari dunia internet dan akan terus bertumbuh seiring perkembangan augmented reality, artificial intelligence, dan lainnya. Memang tidak bisa segera dapat dipahami, namun alih-alih menolak, kita perlu merayakan teknologi dengan menempatkan diri di segala ranah digital dan mempelajarinya untuk hal-hal positif.” 

Seperti apa Anda melihat peran perempuan dalam industri teknologi?

“Minimnya keberadaan perempuan di industri teknologi bukan karena perempuan malas dan tidak pintar tetapi lebih soal perempuan yang kurang berminat. Perempuan kerap menjauh dari teknologi karena menganggap bidang ini miliknya laki-laki dan bahwa teknologi itu susah dan rumit. Padahal teknologi diciptakan untuk membuat manusia semakin mahir dalam melakukan banyak. Kita perempuan sebagai makhluk multiperan dapat menjalani banyak peran dengan bantuan teknologi dan internet. Dan jelas teknologi bukan hanya bisa dikerjakan laki-laki tapi juga sangat bisa dikuasai perempuan. Keyakinan ini pula yang membuat saya mendirikan Supergirls in Tech, program inkubasi yang memberi ruang bagi 100 mahasiswa perempuan dari seluruh universitas di Indonesia untuk membuat solusi berbasis teknologi guna mengatasi permasalahan pemberdayaan perempuan dan ketidaksetaraan gender. Bekerja sama dengan UN Women, program inkubasi berfokus pada empat permasalahan mencakup; education attainment, financial inclusion, career opportunity, serta women’s health and empowerment. Saya berharap perempuanperempuan muda merasakan kemudahan teknologi dan menggunakannya sebagai bekal dalam bidang pekerjaan apapun yang kelak mereka pilih, serta keberadaan Supergirls in Tech dapat merealisasikan solusi untuk mengatasi permasalahan terkait pemberdayaan perempuan dan ketidaksetaraan gender berbasis teknologi.” 

Bagaimana Anda melihat signifikansi dan arti kolaborasi? 

“Salah satu yang selalu saya upayakan adalah mengangkat Indonesia di panggung global dan mencari brandbrand lokal untuk dibawa ke ranah internasional. Bisa dibilang, aset yang saya miliki adalah jaringan dan temanteman dari berbagai negara. Jaringan pertemanan yang dikombinasikan dengan pola pikir global. Saya rasa sudah saatnya kita mengedepankan kolaborasi pada apapun yang kita kerjakan. Buat saya, yang utama bagi seorang pengusaha bukan uang, melainkan networking. Tidak punya network, maka kita tidak bisa ke mana-mana. Kita harus berjejaring, kita perlu mendatangi acara-acara dan bertemu orang-orang baru, apalagi di zaman media sosial dengan kemudahan yang membuat kita terhubung ke siapapun dan di mana pun. Maka hindari duduk-duduk di kantor seorang diri, sebab kita tak akan ke mana-mana tanpa kolaborasi dan keterbukaan untuk bekerja sama.”