LIFE

8 Maret 2023

Livia Iskandar Berkomitmen Melindungi Para Perempuan Korban kekerasan


Livia Iskandar Berkomitmen Melindungi Para Perempuan Korban kekerasan

photo courtesy Livia Iskandar

Menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (2019-2024), Livia Iskandar menjadi sosok yang gigih memelihara integritas demi memberi perlindungan bagi kelompok rentan terutama perempuan korban kekerasan.


DR. LIVIA ISTANIA DF ISKANDAR, M.SC, seorang psikolog lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ia kemudian menerima beasiswa Chevening dan meraih Masters of Science dalam Psikologi Konseling di City University, London. Livia juga mendapat beasiswa East West Center dan mengikuti program doktoral di bidang Kesehatan Masyarakat di University of Hawaii di Manoa, Honolulu, Amerika Serikat, dengan topik riset berjudul Testing the Women Abuse Screening Test for Intimate Partner Violence in Primary Health Centers (Skrining Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk pasien puskesmas di Jakarta).

Ketertarikannya dalam bekerja untuk isu kekerasan berbasis gender dimulai sejak peristiwa Kerusuhan Mei ’98. Livia Iskandar menjabat sebagai Manajer Program untuk proyek kekerasan terhadap perempuan dengan lembaga PBB-UNFPA (United Nations Population Fund)/UNIFEM (United Nations Development Fund for Women) yang di antaranya melahirkan Pusat Krisis Terpadu di RSCM di tahun 2000. Ia juga menjadi Koordinator Pemulihan Untuk Penyintas di Komnas Perempuan yang memberikannya inspirasi untuk mendirikan Yayasan PULIH pada 2002 bersama rekan-rekan sesama psikolog dan para aktivis. Yayasan PULIH merupakan Pusat Pemulihan dan Penguatan Psikososial, sebuah lembaga bantuan psikologis bagi masyarakat yang kurang mampu. Tahun 2014, Livia mendirikan Pulih@thePeak—Pusat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga— sebuah kewirausahaan sosial untuk keluarga yang berada di kawasan Brawijaya, Jakarta Selatan.

Livia Iskandar turut mendesain program, pelatihan dan pemberian psikoedukasi, terutama untuk komunitas pedesaan dan terpencil di kepulauan Indonesia dan telah mendesain program untuk daerah konflik di Aceh, Ambon dan Papua. Ia juga menjadi pelatih bagi aktivis, pekerja kemanusiaan, aparat polisi, petugas kesehatan di puskesmas, jaksa serta tokoh komunitas di seluruh Indonesia, terutama di Papua dan Papua Barat.

Sebelum menjadi Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI), Livia Iskandar aktif sebagai pembina di Yayasan Pulih yang didirikannya serta menjadi praktisi sampai akhirnya pada 2018, Livia mengikuti seleksi calon pimpinan LPSK dan terpilih menjadi Wakil Ketua LPSK RI periode 2019-2024 yang bertanggung jawab atas Pemenuhan Hak Saksi Korban utamanya kekerasan seksual perempuan dan anak.


Apa peran dan fungsi LPSK?

“Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) didirikan atas mandat Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang kemudian diamandemen sebagian menjadi Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014. Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan penegakan hukum, peran LPSK semakin diperlukan untuk pengungkapan suatu tindak pidana, khususnya kasus-kasus yang memiliki implikasi pada kepentingan umum dan mencederai rasa keadilan dalam masyarakat. Peran LPSK dalam penegakan hukum adalah memastikan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak dari saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana. Sebagai salah satu ciri negara hukum, Indonesia menerapkan asas ‘equality before the law’ atau kesamaan di depan hukum. Yang artinya, saksi dan korban dalam proses peradilan harus diberi jaminan perlindungan hukum karena pentingnya keterangan saksi maupun korban dalam mengungkap fakta terjadinya tindak pidana. Mereka yang mengalami, melihat, dan mendengar terjadinya kejahatan, seringkali mengalami intimidasi, gangguan, ancaman, teror, bahkan kekerasan dari pihak yang berusaha menggagalkan atau menghalangi kesaksian mereka. Jaminan perlindungan saksi dan korban menjadi penting agar keterangan yang dimiliki saksi dan korban dapat diberikan dengan bebas dari rasa takut dan ancaman.”


Dalam perkara apa kita dapat mengajukan permohonan perlindungan?

“Ada sembilan jenis perkara yang berada di bawah naungan tugas LPSK. Mulai dari tindak pidana kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, pelanggaran Hak Asasi Manusia berat, terorisme, korupsi, pencucian uang, perdagangan orang, narkotika dan psikotropika, penganiayaan, penyiksaan, serta tindak pidana lainnya.”


Seperti apa bentuk perlindungan yang diberikan?

“Pelaksanaan perlindungan dilakukan lewat berbagai program mulai dari perlindungan fisik berupa rumah aman, pemenuhan hak prosedural yaitu pendampingan selama proses pidana, pemberian hak atas informasi perkembangan perkara, penggantian identitas, perlindungan hukum, bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan psikososial, serta fasilitasi restitusi dan kompensasi. Restitusi merupakan ganti rugi yang dibebankan pada pelaku tindak pidana, sebagai contoh korban pemerkosaan yang kemudian hamil yang dialami ada penghitungan atas penderitaan. Sedangkan kompensasi diberikan pada korban terorisme dan pihak yang membayar adalah negara.”


Apa yang harus dilakukan saat menyaksikan atau mengalami kekerasan?

“LPSK menerima dan menangani mereka yang mau melanjutkan ke proses hukum. Seseorang harus melaporkan terlebih dulu kasusnya ke pihak kepolisian untuk mendapatkan status hukum. Selain itu seseorang juga bisa mengajukan permohonan lewat surat yang dikirimkan ke kantor LPSK, melalui aplikasi Permohonan Perlindungan LPSK yang tersedia di Playstore, layanan WhatsApp 0857-700-10048, layanan email lpsk_ri@lpsk.go.id, hotline LPSK 148, atau kanal media sosial Instagram dan Twitter @infoLPSK.”


Bagaimana peran Anda di LPSK?

“Saya salah satu Wakil Ketua LPSK yang seluruhnya berjumlah enam orang wakil dan bertanggung jawab atas pemenuhan hak saksi dan korban, dan sebagai satu-satunya psikolog di LPSK, kemudian perlu memastikan kualitas program bantuan rehabilitasi psikologis yang diberikan kepada Terlindung LPSK dengan mengembangkan panduan untuk digunakan psikolog rujukan LPSK yang menangani saksi korban perempuan dan anak.”


Hal apa yang Anda lihat terkait maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan?

“Saya melihat perempuan sangat perlu punya kemampuan untuk membela diri sendiri. Kadang kita memang perlu menyimpan rahasia, tapi ada saatnya harus bicara. Ada banyak kasus perempuan berdiam diri sehabis diperkosa, kemudian belakangan diketahui dia hamil. Ada seorang anak berusia 10 tahun diperkosa oleh teman ayahnya dan hamil. Kekerasan seksual juga pernah terjadi pada seorang anak berusia 2,5 tahun oleh ayahnya sendiri. Semakin banyak kasus kekerasan yang menempatkan orang terdekat sebagai pelaku, sehingga ada kalanya rumah tidak lagi menjadi tempat yang aman untuk perempuan dan anak- anak. Kalau dulu kita sering diminta waspada dengan orang asing, rasanya kini kita mesti berhati-hati pada siapa pun, termasuk keluarga dan orang terdekat.”


Terjadinya kekerasan terhadap perempuan tidak pernah ada hubungannya dengan bagaimana perempuan berperilaku atau berpakaian. Namun sikap seperti apa yang menurut Anda penting dimiliki perempuan?

“Benar, kejahatan terjadi disebabkan karena adanya orang jahat. Dan segala tingkah laku perempuan tidak pernah ada hubungannya apalagi menjadi penyebab dari terjadinya kekerasan. Namun ada hal-hal yang patut dipahami agar kita tidak menjadi vulnerable. Bahwa perempuan mesti punya kekebalan terhadap segala macam bentuk rayuan. Sering kali perempuan langsung ‘cair’ begitu dikasih kata-kata manis, termakan bujuk rayu untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak kita inginkan. Penting sekali bagi perempuan untuk punya sifat asertif, harus bisa tegas dengan dirinya sendiri dam terhadap orang-orang di sekitarnya. Dan mulai mengajarkan pada anak-anak perempuan kita tentang pentingnya membela diri sendiri, memahami kesehatan reproduksi, serta membekali diri dengan berbagai keterampilan. Saya selalu menganggap penting bagi perempuan agar tidak punya ketergantungan pada siapa pun, apalagi secara finansial, karena tergantungan pada orang lain sangat mungkin menjadi awal dari hubungan yang toksik yang bisa memicu terjadinya hal-hal buruk di kemudian hari.”