LIFE

14 Juli 2021

Lukman Sardi: Hidup Merangkul Masa Kecil


Lukman Sardi: Hidup Merangkul Masa Kecil

Dunia film bukan wilayah yang asing buat keluarga saya. Ayah saya, Idris Sardi, seorang pemusik. Bapaknya ayah, Kakek Sardi, adalah komponis dan pengarah musik pertama di Indonesia. Ibunya ayah, Nenek Hadidjah, juga menekuni seni peran. Sementara neneknya ayah, buyut Bibah, sampai tahun 1980-an masih aktif di dunia sandiwara.

Waktu saya kecil, ayah menjadi pengarah musik untuk banyak film di Indonesia. Suatu pekerjaan yang membuat beliau terhubung dengan banyak sutradara. Sebetulnya kakak saya, Santi Sardi, yang lebih dulu terjun ke dunia film. Salah satunya berjudul Senyum Pagi di Bulan Desember karya sutradara Wim Umboh. Tiba kemudian giliran saya diajak main film Om Wim. Judulnya Kembang-kembang Plastik. Saya berperan sebagai anaknya Cok Simbara. Mulailah saya main film pertama kali saat berusia 7 tahun, atas seizin ayah waktu itu.

lukman sardi interview elle indonesia foto by hakim satrio

Barangkali Om Wim melihat saya punya bakat seni peran, ajakan-ajakan main film kemudian tidak berhenti. Saya dilibatkan di film Pengemis dan Tukang Becak. Film yang membuat saya untuk pertama kalinya menerima penghargaan Pemeran Anak Terbaik. Rasanya ada 8 judul film yang saya perankan sewaktu masih kecil.

Kala itu tidak sedikit pun saya merasa dunia film kelak menjadi sesuatu yang luar biasa di masa depan. Ditambah lagi kondisi perfilman Indonesia sempat mengalami stagnan. Film-film tidak berkembang, penonton jenuh, bioskop kosong, akhirnya industri perfilman Indonesia mati suri. Ya sudah, saya melanjutkan sekolah. Kuliah di Fakultas Hukum. Sempat jadi pegawai kantoran. Waktu sahabat saya ingin mendirikan sekolah Cikal, dia mengajak saya ikut mengajar anak-anak dan mengembangkan kurikulumnya. Tentu saja ini kesempatan bagus yang tidak saya sia-siakan, karena memang saya senang berkomunikasi dengan anak kecil.

Di tengah aktivitas di sekolah Cikal, saya menerima tawaran untuk main di film pendek judulnya Durian. Film ini rupanya dilihat produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza. Tidak lama, casting director Miles Films mengajak saya ikut casting untuk film Gie. Proses reading yang cukup panjang, dilatih oleh acting coach Eka Sitorus, cara kerja film yang asyik, buat saya semua itu sangat menyenangkan. Saya lantas secara mantap memutuskan resign dari sekolah Cikal dan fokus menekuni seni peran. Meskipun sebetulnya saya lumayan nekat waktu itu, memberanikan diri melepas pekerjaan padahal film Gie baru tayang satu tahun kemudian.

lukman sardi interview elle indonesia foto by hakim satrio
Lukman Sardi for ELLE Indonesia April 2019 photography Hakim Satrio styling Chekka Riesca

Ada sebuah adagium, “Fortune favours the bold”. Keberuntungan berpihak pada mereka yang berani. Saya ini bisa dibilang sangat beruntung. Ditempatkan di waktu yang tepat. Belajar bersama orang-orang yang kompeten. Senang rasanya saya bisa punya kesempatan untuk mengerjakan sesuatu yang saya sukai.

Di titik ini, saya memahami bahwa manusia memang perlu bertumbuh
dan berproses. Bahkan seorang aktor yang sudah puluhan kali main film, tetap harus ikut reading setiap mulai syuting film baru. Mengapa demikian? Sebab proses kita belajar yang bisa bikin hasil di masa depan itu bakal beda. Ada kalanya dulu saya tidak tahu mau mengerjakan apa. Tapi paling tidak saya tidak berdiam diri. Saya tidak ingin sekadar ikut arus tanpa saya tahu saya berenang ke arah mana. Sekali lagi, saya percaya banget dengan proses. Mau belajar dan tidak takut salah adalah kunci untuk membuka banyak pintu.

Sepanjang hidup, saya berusaha mengingat jiwa anak-anak (inner child) dalam diri saya yang ternyata banyak membantu saya dalam menjadi manusia. Karakter-karakter yang dimiliki anak kecil itu bisa efektif untuk orang dewasa. Seperti apa?

lukman sardi interview elle indonesia foto by hakim satrio
Lukman Sardi for ELLE Indonesia April 2019 photography Hakim Satrio styling Chekka Riesca

Tidak banyak takut, bebas bermimpi, selalu merasa tidak tahu dan rajin cari tahu. Tidak pernah judging orang lain hanya dari penampilannya. Berpikir bebas dan enggak mikirin pendapat orang lain.

Enaknya jadi anak kecil itu bukan cuma tidak perlu memusingkan cicilan yang menumpuk, tapi juga punya pikiran-pikiran seru yang bisa bikin dunia jadi terasa lebih menyenangkan.

Tulisan ini saya buat satu hari setelah Hari Anak Sedunia yang diperingati setiap 1 Juni. Bukan suatu kebetulan apabila tulisan ini kemudian diterbitkan di majalah ELLE edisi Juli, bulan di mana Indonesia merayakan Hari Anak Nasional. Suatu momen yang saya maknai dengan menyapa ‘anak kecil’ di dalam diri saya. Mengenal diri lebih dalam dengan melihat masa lalu. Mencoba memahami kembali bahwa apa pun yang dulu telah dilewati oleh Lukman kecil, kini telah membantu saya menjadi diri di hari ini.

Pun jika saya dilahirkan kembali, saya tetap menginginkan hidup yang seperti ini. Dan apabila saya dipertemukan dengan Lukman kecil, saya ingin mengatakan kepadanya, “I love you. Very much!”.