LIFE

7 Maret 2025

Mariana YH Opat Perjuangkan Akses Pendidikan Kesehatan Seksual & Reproduksi Bagi Kaum Muda Di Kupang


Mariana YH Opat Perjuangkan Akses Pendidikan Kesehatan Seksual & Reproduksi Bagi Kaum Muda Di Kupang

Vickram Sombu

Di Kupang, di antara bentangan padang rumput yang luas dan angin laut yang berhembus kencang, ada seorang perempuan yang tak lelah bergerak. Namanya Mariana Yunita Hendriyani Opat, atau yang akrab disapa Tata. Ia bukan hanya seorang aktivis, tetapi juga seorang pejuang di garis depan dalam memperjuangkan hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi anak dan remaja yang sering kali tersisih—mereka yang miskin, termarjinalkan, dan tidak memiliki akses terhadap informasi yang seharusnya menjadi hak dasar mereka. 

Sejak 2016, Tata mendirikan Tenggara Youth Community, sebuah komunitas independen yang hadir dari kegelisahannya melihat banyak anak dan remaja di Kupang terjebak dalam ketidaktahuan menghadapi pubertas, menjadi korban kekerasan seksual, atau mengalami gangguan kesehatan reproduksi tanpa tahu ke mana harus meminta pertolongan. Ia sadar, tak ada cukup ruang yang aman untuk berbicara, tak ada cukup komunitas yang berani berdiri di depan, dan tak ada cukup tangan yang terulur untuk membantu mereka bangkit kembali. 

Di Indonesia, pendidikan kesehatan seksual masih dianggap tabu. Padahal bukan hanya merupakan hak asasi manusia yang harus terpenuhi, kesehatan reproduksi juga penting untuk dipahami dan dijaga, terutama pada remaja, guna mencegah perilaku seksual berisiko dan penyakit menular seksual. Stigma dan perspektif tabu mengakibatkan banyak korban kekerasan seksual memilih diam, bukan karena tidak ingin berbicara, tetapi karena mereka tak tahu bahwa mereka berhak melawan. Inilah yang diperangi Tata. Dalam delapan tahun terakhir, ia dan para relawan bergerilya dari sekolah ke sekolah, dari pasar ke gereja, dari pusat kota hingga pedalaman Pulau Timor. Tidak sekadar berbagi informasi, mereka juga membangun sistem perlindungan. Membawa misi edukasi dan advokasi melalui jalan berdialog dengan anak-anak dan remaja tentang tubuh mereka sendiri—tentang hak untuk mengenali, menjaga, dan melindunginya. Tata dengan komunitasnya turut menggandeng masyarakat adat untuk mendorong peraturan desa yang secara khusus mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan seksual. Selama ini, kekerasan seksual sering kali hanya berujung pada “kesepakatan damai” yang lebih bertujuan menjaga nama baik keluarga daripada melindungi korban. Tata menolak narasi ini. Baginya, pendidikan kesehatan seksual bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga alat perlawanan— terhadap patriarki, terhadap ketidaktahuan, terhadap sistem yang sering kali mengorbankan perempuan. 

Di Kampung Neke, Timor Tengah Selatan, Tata bersama Tenggara Youth Community menggelar program edukasi berbasis komunitas. Mereka menggandeng tokoh agama, menyesuaikan pendekatan dengan kearifan lokal, dan menciptakan metode pembelajaran yang lebih dekat dengan keseharian anak-anak. Kegiatannya meliputi penyuluhan kesehatan reproduksi di sekolah, pelayanan konseling, serta program edukasi dan infromasi tentang organ reproduksi dan penyakit menular seksual. Salah satu aktivitas Tenggara Youth Community yakni jelajah alam bertema kesehatan reproduksi, di mana remaja diajak berkeliling hutan, berhenti di titik-titik tertentu, lalu belajar mengenali tubuh mereka sendiri dalam suasana yang lebih alami dan terbuka. Selain itu, komunitas ini juga menginisiasi berbagai program edukasi inovatif, seperti Bacarita Kespro—“bacarita” dalam bahasa Melayu Kupang berarti bercerita—sebuah ruang yang membuka diskusi tanpa tabu tentang seksualitas. Lalu ada Teman Bacarita, program edukasi digital yang menghubungkan remaja dengan informasi yang bebas dari stigma, serta Kespro Camp, pengalaman edukasi selama tiga hari dalam kegiatan berkemah, di mana diskusi tentang kesehatan seksual dikemas dengan aktivitas interaktif. Sasaran edukasi mereka mencakup anak usia PAUD hingga 24 tahun. Tata dan timnya sadar, pendidikan kesehatan seksual harus dimulai sejak dini, dengan pendekatan yang sesuai usia. Sebelum memberikan materi, mereka selalu melakukan diskusi awal—menggali pemahaman anak dan remaja lebih dulu, memastikan bahwa edukasi yang diberikan relevan, berbasis ilmiah, dan tidak menggurui. 

Tata tidak hanya bergerak karena kepedulian. Ia sendiri adalah seorang penyintas. Di usia remaja, ia beberapa kali mengalami kekerasan seksual—luka yang tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi ia pilih untuk diubah menjadi bahan bakar perjuangannya. Alih-alih tenggelam dalam trauma, Tata menjadikannya alasan untuk berbicara lebih lantang dan memastikan tidak ada lagi perempuan yang merasa sendirian dalam penderitaan yang sama. 

Pendidikan formalnya di bidang kedokteran hewan, lulus dari Universitas Nusa Cendana, Kupang. Dengan cara belajar sendiri, Tata menjadi relawan di berbagai LSM, mendalami metode edukasi, advokasi, dan konseling, hingga akhirnya membangun komunitas yang kini menjadi pijakan bagi banyak kaum muda di Kupang untuk berani memahami dan memperjuangkan hak atas kesehatan reproduksi dan pendidikan seksualitas. Dengan 27 orang anggota relawan yang terdiri dari berbagai latar belakang profesi—dokter, pengacara, psikolog, Tenggara Youth Community bukan hanya mengedukasi, tetapi turut menciptakan gelombang perubahan, membongkar tembok besar yang selama ini mengurung isu kesehatan seksual dalam ruang gelap penuh tabu. Tata berujar, “Saya berharap suatu hari nanti, tidak ada lagi anak yang tumbuh dalam ketidaktahuan, tidak ada lagi remaja yang merasa sendirian, dan tidak ada lagi perempuan yang terpaksa membungkam kisahnya demi menjaga kehormatan yang seharusnya tidak pernah dipertaruhkan.” 

Sebagai penyintas kekerasan seksual, bagaimana pengalaman Anda membentuk pendekatan Anda dalam mengedukasi anakanak dan remaja?

 “Setiap kali orang bertanya, kenapa komunitas ini hadir, saya selalu menjawab bahwa kami datang dari sebuah keresahan atas apa yang kami alami tapi terlambat diketahui dan seperti tidak mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. Persoalan kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual merupakan isu yang sangat sensitif yang dianggap aib buat banyak orang. Peristiwa yang saya alami membuat saya akhirnya bertanya pada diri sendiri, bagaimana perempuan yang bernasib sama seperti saya tapi tidak punya akses advokasi dan konseling? Bagaimana agar korban bisa bertahan hidup sedangkan informasi yang komprehensif serba ditutupi? Secara personal, saya ingin bisa berkontribusi untuk memastikan tidak ada lagi anak-anak dan perempuan yang merasa sendirian dalam penderitaannya.” 

Bagaimana Anda menjelaskan konsep kesehatan reproduksi kepada remaja di komunitas dengan nilai budaya dan agama yang kuat tanpa menimbulkan resistensi?

 “Kami di Tenggara Youth Community selalu berdiskusi sebelum memberikan materi, menggali pemahaman anak-anak dan remaja terlebih dulu, agar edukasi yang diberikan lebih tepat sasaran. Kami memakai konteks lokal tapi tetap menggunakan standar materi yang mengacu pada pedoman WHO, memastikan setiap informasi memiliki dasar ilmiah yang kuat. Kami juga menggandeng para tokoh agama dan menerima evaluasi dari pihak gereja atau sekolah atas apa yang kami kerjakan agar kami bisa memperbaiki cara berinteraksi dengan teman-teman remaja. Di sisi lain, kami melibatkan orangtua atau guru pendamping dalam setiap kegiatan edukasi untuk menyamakan perspektif karena rasanya mustahil mengubah pemikiran anak-anak tanpa adanya dukungan orangtua.” 

Apa tantangan awal yang Anda hadapi ketika Anda memulai inisiatif ini? 

“Menyadarkan orang-orang tentang pentingnya isu kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual. Bahwa kita perlu membicarakan pubertas, membincangkan soal tubuh, dan membahas menstruasi. Tantangan lainnya adalah membuat orang sadar bahwa mengedukasi anak-anak tentang kesehatan reproduksi bukan mengajarkan mereka untuk berhubungan seksual, melainkan membekali mereka dengan informasi yang benar agar mereka bisa melindungi diri dan membuat keputusan yang tepat. Sebaliknya, menutupi informasi hanya akan membuat mereka mencari tahu sendiri dari sumber yang belum tentu aman—dan inilah yang justru berbahaya. Jika kita ingin melindungi anak-anak dari kekerasan seksual, kehamilan remaja, dan hubungan yang tidak sehat, maka pendidikan kesehatan seksual yang komprehensif bukan pilihan, tetapi kebutuhan.” 

Bagaimana Anda melihat peran perempuan dalam memperjuangkan isu pentingnya pendidikan seksual? 

“Belakangan saya cukup optimis melihat semakin banyak perempuan yang mencintai dirinya sendiri, semakin berdaya atas tubuh mereka, semakin percaya diri dengan kehidupan. Kaum perempuan kini sangat powerful, mereka seperti bisa menggerakkan perubahan namun saling menguatkan satu sama lain. Apalagi sekarang banyak komunitas dan organisasi sosial yang bisa menjadi ruang bagi kita untuk menyuarakan isu-isu penting.” 

Apa visi jangka panjang Anda untuk Tenggara Youth Community?

 “Saya dan teman-teman di komunitas berharap suatu saat semua sekolah di Indonesia, bisa ada kurikulum pelajaran yang khusus membahas kesehatan reproduksi secara komprehensif. Bukan diselipkan di studi Biologi atau dimasukkan jadi bagian dari mata pelajaran olahraga. Sebab meskipun Tenggara Youth Community hadir sebagai komunitas, namun kami rasa sangat baik apabila komitmen dan konsistensi itu juga ada di sebuah tempat yang lebih lestari sebagai penyebar pengetahuan yakni sekolah sebagai institusi pendidikan.” 

Kerja sosial merupakan pengabdian terus-menerus yang sering kali menggerus banyak energi. Terlebih keberpihakan pada kelompok minoritas dan marginal, sikap tidak bias kelas, dan pengalaman berjibaku menyuarakan isu kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Apa yang memotivasi Anda untuk tetap konsisten di jalan ini?

 “Sejujurnya ini pertanyaan yang sangat sulit. Sampai saat ini saya masih sering bertanya pada diri sendiri, kenapa saya ada di sini? Sewaktu pandemi Covid-19, saya sempat mengalami burnout dan berpikir untuk membubarkan Tenggara Youth Community. Saya merasa seperti berjalan sendiri dan geram melihat kemajuan yang sedikit sekali. Saya memutuskan untuk rehat bekerja di akar rumput dan cukup bersuara di media sosial. Sempat beberapa waktu saya tidak membuat Instagram Story apa pun dan ketika saya unggah satu konten, tiba-tiba ada direct message masuk di akun Instagram. Si pengirim menuliskan bahwa dia ingin mengakhiri hidup, namun memutuskan untuk menundanya karena ingin bertemu untuk bercerita dengan komunitas kami. Sekarang orang itu membuka usaha toko kecil di halaman rumah dan hidup bahagia dengan ibunya. Saya rasa kejadian itu menjadi jawaban sekaligus penggerak terhebat agar saya tetap kuat dengan komitmen dalam kerja-kerja edukasi kesehatan reproduksi dan advokasi kekerasan seksual. Saat itu saya menyadari, boleh capek tapi istirahatlah alihalih berhenti. Rasanya prioritas pertama buat semua orang yang bekerja di isu pembelaan hak asasi adalah merawat diri sendiri agar tidak pesimis. Mirip seperti aturan keselamatan di dalam pesawat, jaga diri sendiri sebelum bantu orang lain.”