LIFE

11 Maret 2022

Membuat Majalah di Tengah Perang: Meninjau Lewat Sudut Pandang Editor-In-Chief ELLE Ukraina


Membuat Majalah di Tengah Perang: Meninjau Lewat Sudut Pandang Editor-In-Chief ELLE Ukraina

Tugas utamanya adalah untuk membantu orang-orang mendapatkan informasi yang faktual! Interview oleh Madison Feller.

Sonya Zabouga telah meniti karier lewat hubungannya dengan seni kata-kata. Sebelum menjadi editor-in-chief untuk ELLE Ukraina di tahun 2008 silam, Zabouga pernah bekerja sebagai broadcast journalist kemudian bergabung secara resmi dengan tim ELLE sebagai fashion director di tahun 2004. Namun meski mengeyam banyak pengalaman sebagai jurnalis, di beberapa minggu belakangan ini – tepatnya sejak militer Rusia mulai menyerbu negaranya yang menandakan sebagai perang Eropa terbesar dalam beberapa dekade ini – beberapa frasa baru telah memasuki kosakatanya dan ia kesulitan untuk melafalkan. “Saya tidak tahu bagaimana caranya untuk mengatakan ‘rudal’ atau ‘serangan militer’ dalam bahasa Inggris,” ujarnya kepada ELLE.com lewat koneksi Zoom yang ia lakukan dari lorong tanpa jendela (karena alasan keamanan) di rumahnya di Ibu Kota Ukraina, Kyiv. “Karena kami tidak pernah membutuhkan kata-kata tersebut di kehidupan kami sebelumnya.”

Kini, di saat seluruh dunia tengah menyaksikan konflik brutal ini, Zabouga tengah bekerja untuk membantu mengedukasi warga negaranya dan juga para pembaca internasional tentang situasi yang sebenarnya terjadi di Ukraina saat ini; dengan menguak kabut tebal dari barisan berita palsu yang kerap disiarkan. “Tugas utamanya adalah untuk membantu orang-orang mendapatkan informasi yang faktual,” ucapnya. “Misi kami dalam mengolah bentuk komunikasi ke audiens di luar negara ini adalah untuk membantu dunia memahami fakta, untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.”

Bagi Zabouga, hari-harinya telah berubah drastis sejak Kamis tanggal 24 Februari silam, ketika ia terbangun karena suara ledakan, ketika invasi dimulai. “Mustahil untuk seseorang bisa siap menghadapi skenario semacam ini.” Sejak hari yang kelam itu, sebagian besar stafnya bergerak meninggalkan Ibu Kota, di mana pasukan Rusia telah hadir mengusik selama berhari-hari. Mereka pergi untuk bergabung dengan keluarga mereka di lokasi lain yang dianggap lebih aman. “Sulit untuk memprediksi lokasi di mana kami dapat menghabiskan malam demi malam tanpa harus mendengar ledakan-ledakan ini.” The New York Times baru-baru ini melaporkan berita tentang serangan bertubi-tubi di mana sebuah roket menghancurkan sebuah gedung besar pemerintahan di kota Kharkiv hingga menewakan 7 orang, sementara sebuah manara TV dibom di Kyiv. Serangan-serangan lain pun telah dilaporkan terjadi di sejumlah rumah sakit dan sekolah. Sebab itu Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menuduh Rusia melakukan kejahatan perang karena telah menargetkan warga sipil – menurut Times. 

photo: DOC. ELLE Ukraina

Salah seorang kolega Zabouga meninggalkan Kyiv untuk membantu kerabatnya di kota sebelah barat daya Ukraina, di mana sejumlah orang telah menetap di ruang bawah tanah selama berhari-hari tanpa listrik, makanan yang cukup, maupun kebutuhan dasar lainnya. Bahkan di beberapa kota lainnya, beberapa orang kerap mematikan lampu di malam hari agar pesawat yang lewat dapat membedakan rumah sipil dengan bangunan lainnya. Lalu di saat berkunjung ke supermarket yang dilakukan di hari Sabtu, orang-orang membeli barang sebanyak mungkin untuk bersiap menghadapi penundaan pengiriman bala bantuan yang amat sangat diharapkan. 

Namun, di tengah kebrutalan perang yang terjadi di berbagai penjuru Ukraina, tim yang dipimpin Zabouga masih tetap melakukan hal terbaik yang mereka pahami sebagai bagian dari profesi mereka, walau beberapa di antaranya terpencar di lokasi yang berbeda-beda. Hal terbaik yang dimaksud adalah mengerahkan segala upaya untuk tetap dapat fokus melakukan publikasi, dan mengelola akun media sosial dan situs web ELLE Ukraina agar orang-orang dapat menemukan artikel tentang apa yang harus dilakukan jika Anda kehilangan jaringan internet, apa yang harus dilakukan jika cedera atau saat hendak melakukan perlindungan di ruang bawah tanah, informasi daftar organisasi sukarelawan, hingga cerita tentang orang-orang Ukrainia yang telah berlindung di sebuah gym tua selama berhari-hari. Dalam agendanya, Zabouga merencanakan sebuah edisi khusus yang kelak tayang di beberapa bulan mendatang, serupa dengan yang pernah diterbitkan setelah krisis 2014 (Euromaidan), yang mengeksplorasi perubahan kondisi Ukraina setelah perang. Kendati beberapa stafnya kini tinggal di lokasi-lokasi yang sulit mendapatkan layanan seluler, komunikasi mereka tetap diupayakan sedemikian rupa. 

Dalam sebuah postingan Instagram baru-baru ini, Zabouga memaparkan sekilas gambaran tentang bagaimana ia dan timnya memulai hari-hari mereka. “Pagi hari diawali dengan roll-call dalam obrolan seputar editorial dan menanyakan kabar ‘How are you?’,” tulisnya. “Ucapan itu saat ini terdengar jauh lebih bermakna (re: dari sekadar basa-basi biasa) dari sebelumnya. Karena sesungguhnya ucapan ini benar-benar menanyakan: ‘Apakah Anda masih hidup?’.” 

Zabouga memahami bahwa orang-orang di Rusia, terutama para pihak berwenang yang berusaha membatasi laporan media tentang invasi, mengikuti akun Instagram pribadinya. “Itu lah mengapa saya menggunakan Bahasa Inggris untuk melengkapi semua caption unggahan di Instagram. Agar orang asing di luar sana dapat memahami apa yang tengah terjadi, demikian juga orang-orang Rusia,” ia berujar. Ia mengunggah foto dan video ke Stories-nya, menunjukkan kehancuran yang terjadi di seluruh negeri. “Mereka harus dapat membandingkan apa yang mereka lihat dari saluran TV (Rusia) dan apa yang dapat mereka lihat di akun Instagram kami.” Ia sangat menginginkan tragedi ini memiliki kejelasan yang akurat, bahwa realitas di Ukraina telah berubah menjadi sebuah mimpi buruk. Namun ada sebuah pepatah di Ukraina yang menyoal tentang arti harapan. Zabouga mencoba menjelaskan sambil mengalami sedikit kesulitan untuk mengutarakannya dalam Bahasa Inggris, “Kami tidak pernah berpikir akan menjadi saksi dari peristiwa mengerikan seperti ini. Ini adalah masa yang sangat sulit dan emosional, namun kami masih berpegang pada sebuah harapan akan masa depan yang terbaik.” Setelah kami menutup telepon, saya menerjemahkan pepatah tersebut ke dengan bantuan Google. Esensi pepatah tersebut adalah: harapan adalah hal terakhir yang dapat mati.