LIFE

17 Maret 2022

Putri Marino Menegaskan Kekuatan Perempuan Menaklukkan Dunia Lewat Sinema


Putri Marino Menegaskan Kekuatan Perempuan Menaklukkan Dunia Lewat Sinema

Gestur Putri Marino dapat menuturkan serangkaian kisah. Kebijaksanaan empati. Elegi. Ia menari penuh kebebasan diiringi permasalahan. Kegusaran tersirat lewat tatapan mata, intonasi setajam belati menikam, dan tangisan yang bilamana pecah—percayalah—ia mampu meremukkan hati Anda menjadi berkeping-keping. Saya (orang yang sukar terharu oleh sandiwara film) bahkan tak kuasa menahan air mata ketika menyaksikannya jatuh meratap dipelukan Maudy Ayunda dalam sinema Losmen Bu Broto (2021). Sandiwaranya di serial Layangan Putus juga bukan tontonan ringan. Putri memerankan Kinan; seorang ibu hamil yang menemukan kenyataan bahwa suaminya berselingkuh, lalu bayinya meninggal tidak lama setelah dilahirkan. Inteligensi Putri menunjukkan kesedihan atas kehilangan orang yang dicinta bercampur amarah akan ketakadilan kehidupan yang buat seseorang skeptis pada kebahagiaan, sungguh menghanyutkan!

Petang hari di bulan Januari 2022 silam— satu minggu sebelum premier episode final Layangan Putus—saya berkesempatan menemui Putri Marino yang namanya kian termasyhur selepas hampir dua tahun figurnya absen dari jagat sinema Indonesia. Bukan hanya karena serialnya sukses menjadi hit, tiga judul film yang dibintanginya juga memperoleh aplaus hangat dari segenap lapisan masyarakat. “Peran-peran yang saya hidupkan memang cukup melankolis. Tapi saya tidak merasa mereka tak berdaya,” ujar Putri. Ia benar. Lihat saja Kinan senantiasa tegar berdiri membela martabatnya. Dari tokoh Asia (perannya di Cinta PertamaKedua Ketiga karya Gina S. Noer), penonton diperlihatkan sosok generasi sandwich yang rela melepas ingar bingar masa muda demi menjadi tulang punggung keluarga. “Saya selalu berpikiran bahwa kekuatan manusia tak hanya dibentuk dari keunggulan, tapi juga penerimaannya atas kekurangan. Untuk mengakui diri kita tidak sempurna, berperasaan, dan membutuhkan orang lain; itu juga wujud keberanian yang menguatkan kita,” jelasnya.

Namun petuah lama berkata, bahwasanya pujian dan kritik terpaket jadi satu. “Karena kebanyakan peran saya memperlihatkan emosional tinggi, akhirnya muncul stigma yang menempatkan saya dalam kotak di mana publik melihat saya sebagai aktor spesialis drama melankolis,” ujarnya. Sebuah impresi yang diakui Putri cukup membuat ia mempertanyakan kapabilitasnya, hingga merasakan “kebutuhan” untuk membantah kesan tersebut. Sebab ia tak ingin berkarya memakai label di punggung. “Saya ingin menjadi aktor yang ‘bulat’ ibaratnya sebuah bola, yang dapat fleksibel terpental ke mana pun saat dilempar,” tutur Putri yang kini tengah terlibat proyek film komedi-laga, The Big Four, di bawah arahan Timo Tjahjanto.

Putri Marino for ELLE Indonesia March 2022 photography Raja Siregar styling Ismelya Muntu insterview Anovalia
Putri Marino for ELLE Indonesia March 2022 photography Raja Siregar styling Ismelya Muntu fashion & jewellery Givenchy makeup Archaangela Chelsea hair Ocha assistant photography Luddy Ocra Location The Hermitage Jakarta

“Saya begitu antusias perihal proyek ini. Premis ceritanya sangat menarik, dan bekerja dengan Timo adalah kegembiraan tersendiri. Namun, sejujurnya, keinginan membuktikan diri mampu melepaskan citra melankolis lebih besar melatari alasan awal saya memutuskan bergabung,” tuturnya. Putri bertekad memenangi validasi yang telah mengusik kredibilitasnya. Alih-alih ambisinya menemukan kesadaran; kritikus paling tajam ialah dirinya sendiri. “Saya pikir mengapa saya perlu membuktikan diri ke orang lain, padahal saya tahu betul, dan yakin, bahwa kapabilitas saya bukan terbatas oleh penilaian publik,” katanya. Saya mencoba mendalami pribadi sang aktris sejalan perbincangan kami mengalir santai di atas kasur kamar hotel tempatnya beristirahat sebelum waktu pemotretannya bersama ELLE.

Jauh sebelum berjalan di jalur seni peran, Putri Marino tidak langsung tertarik akan gempita dunia di balik layar sinema. Putri, seperti kebanyakan jiwa muda lainnya, menyongsong masa depan dengan pilihan terbuka. Pencarian jati diri sempat membawa langkah perempuan kelahiran Bali tahun 1993 itu merantau ke Italia. Di sana, ia memelajari desain mode, yang menjadi bekalnya bekerja pada sebuah label mode berbasis di Bali selama 1,5 tahun—sampai panggung televisi menyapa lewat seorang teman. “Ketika ditawari bergabung memandu My Trip My Adventure, saya bingung banget! Sebab saya bukan presenter dan tidak mengerti caranya menjadi presenter,” kata Putri. Kepribadiannya yang introver pun tak membantu menenangkannya. Kendati minus pengalaman, ia memberanikan diri pergi ke Jakarta untuk mengikuti audisi. Ia berhasil lolos. “Untuk meninggalkan zona nyaman—pekerjaan kantoran dengan pendapatan pasti per bulan— demi sesuatu yang unpredictable, awalnya bikin bimbang. Tapi saya tak akan tahu hasilnya jika tidak pernah mencoba,” katanya.

Pertaruhannya mengambil lompatan keyakinan mengantarkan langkah Putri hingga ke dunia sinema. Tiga bulan mewarnai layar televisi, tawaran audisi sebuah peran di layar lebar menghampirinya. “Saya datang dengan asa nothing to lose. Membacakan skrip yang disodorkan selayaknya berbicara normal, lalu pulang. Saya tidak paham mengapa dulu berani ikut casting tanpa mengerti apa pun tentang seni peran,” celotehnya tergelak menyembunyikan wajah tersipu dengan sebelah tangan. Semesta bekerja lewat cara yang tak terduga. Apa yang ia kira memalukan ternyata mengesankan bagi para casting director. Putri mendapatkan peran pertamanya sebagai Lala, tokoh utama Posesif (2017) karya Edwin. “Saya memulai workshop dengan hati gelisah setengah mati. Ada masanya saya meragu dan khawatir mematahkan kepercayaan semua orang. Namun ibu saya mengajarkan bahwa menjadi perempuan itu haruslah berani, tidak boleh gampang menyerah. Jadi saya terus melangkah maju. Dari situ, perlahan saya berusaha beradaptasi, mulai belajar memahami dunia film dan seni berperan.” kenangnya.

Putri Marino for ELLE Indonesia March 2022 photography Raja Siregar styling Ismelya Muntu insterview Anovalia
Putri Marino for ELLE Indonesia March 2022 photography Raja Siregar styling Ismelya Muntu fashion Hèrmes (bralette, celana pendek dan jaket) makeup Archaangela Chelsea hair Ocha assistant photography Luddy Ocra Location The Hermitage Jakarta

Keteguhan hati Putri dalam mencintai seni peran lantas mengantarkannya pada kejayaan. Atas performanya di Posesif, ia dinobatkan gelar Aktris Pendatang Baru Terpilih Piala Maya 2017. Di tahun yang sama, ia juga menerima Piala Citra Pemeran Utama Perempuan Terbaik. Kemenangan di Festival Film Indonesia bahkan mencatatkan Putri Marino sebagai aktris kedua dalam sejarah perfilman Indonesia (setelah Christine Hakim pada 1974) yang meraih penghargaan dari debut film perdana. Mengantongi reputasi tersebut sontak membuat ia dibanjiri berbagai tawaran berperan. Tahun 2018, wajahnya tampil di tiga film: Sultan AgungJelita Sejuba, Menunggu Pagi.

“Saat Anda berhasil melakukan sesuatu, selanjutnya Anda akan diharapkan memberikan hasil dua kali lipat lebih baik. Penghargaan seolah memberikan ‘beban’ itu,” akunya. Ia enggan menempatkan diri sebagai pemenang. “Tentu saya bahagia ketika pekerjaan saya diapresiasi. Namun, saya pribadi belum merasa telah menjadi aktor yang hebat. Saya masih berproses mewujudkannya. Tujuan saya di dunia film ini ialah untuk terus belajar tanpa perlu cemas harus memuaskan ekspektasi,” kata Putri. Seperti apa aktor hebat itu? “Aktor yang bisa menanggalkan seluruh egonya untuk menerima sebuah karakter merasuki dirinya secara utuh, dan menjelmakannya dengan jujur,” jelas Putri.

Di usia karier sangat muda—dan begitu cermerlang—Putri bermanuver, yang konon pantang dilakukan bilamana seseorang tengah berada di puncak kejayaan. Ia menikah. Cinta menemukannya lewat Chicco Jerikho, laki-laki yang menjadi suaminya sejak 2018 silam. Seorang anak perempuan lahir dari pernikahan itu, dan Putri bertransformasi menjadi seorang ibu. Ia mengambil jeda dari kesibukan dunia sinema selama menikmati perannya sebagai ibu baru. Namun apa yang terjadi bila Anda tiba-tiba berhenti bergerak setelah sebelumnya terbiasa berlari cepat? Pikiran suram hadir mengisi waktu luang. “Apakah saya bisa kembali bermain film? Apakah dunia saya hanya akan berpusar di rumah? Apakah saya harus mengubur cita-cita saya? Saya begitu mencintai impian saya, sampai pertanyaan-pertanyaan itu menghantui benak,” ungkap Putri. Opini tentang perempuan setelah mencapai usia atau situasi tertentu (seperti berkeluarga) kerap dipandang sebelah mata dalam dunia bekerja, faktanya, memang bukan wacana perdebatan baru. Kendati demikian, Putri tak hilang keyakinan akan mimpinya. Ia meyakinkan dirinya bahwa, “Saya percaya kesempatan yang tepat akan kembali datang.”

Putri Marino for ELLE Indonesia March 2022 photography Raja Siregar styling Ismelya Muntu insterview Anovalia
Putri Marino for ELLE Indonesia March 2022 photography Raja Siregar styling Ismelya Muntu fashion Burberry makeup Archaangela Chelsea hair Ocha assistant photography Luddy Ocra Location The Hermitage Jakarta

Kesempatan berperan itu nyatanya kembali datang, dan tak tanggung-tanggung, empat judul berturut-turut. Akhir tahun 2021 silam menandai kembalinya Putri Marino ke panggung perfilman. Wajahnya menyemarakkan layar sinema konvensional dan saluran streaming online. Salah satu yang membuka perjalanannya di tahun ini, yaitu Cinta PertamaKedua Ketiga. “Kali pertama poster filmnya dirilis, banyak orang yang tidak rela Angga dipasangkan dengan saya, ‘seorang ibu-ibu’,” Putri tersenyum. Tidak, ia tak sakit hati. Ia sudah berhenti melihat dirinya dari kacamata orang lain. “Saya maklum, di samping itu memang betul saya seorang ibu,” katanya tersenyum seraya melanjutkan, “Tapi buat saya, setiap tokoh memiliki jiwanya sendiri- sendiri. Dan saat berperan, raga serta emosi saya bukan lagi milik Putri Marino, melainkan perwujudan karakter tersebut.”

Penampilan Putri di setiap judul film, plus serialnya, telah membuktikan integritas berlakon sang aktris memang tak terbantahkan. Mendengarnya berkisah pengalaman mendalami setiap peran pun membuat saya kian salut. Ia tidak sungkan ‘membunuh’ dirinya sendiri demi menghidupkan sebuah karakter. Untuk peran Mbak Pur misalnya, “Saya selalu diam. Ketika berbicara, saya tidak menatap mata orang. Saya menolak duduk di kursi, selalu di lantai. Semua itu tidak saya lepaskan sedetik pun selama 30 hari syuting,” ceritanya. Putri juga kerap mereka adegan yang tidak terdapat dalam naskah untuk membangun memori akan suatu peran di kepalanya. Menciptakan sebuah karakter dari nol memberikan candu tersendiri bagi Putri. Sebagaimana ia berkata sebelum memasuki set pemotretan, “Melahirkan sosok yang tak ada menjadi ada untuk kemudian bisa dimengerti oleh orang lain, ialah candunya seni peran; seperti bermain puzzle!”