17 Juli 2025
The Silent Struggle: Ketika Jeda Menjadi Kekuatan Baru dalam Kepemimpinan Perempuan
PHOTOGRAPHY BY Teuku Rizky Attahasi

Dalam hidup yang terus berlari, perempuan sering kali terjebak dalam paradoks yang rumit: mereka dituntut untuk kuat, tapi jarang diberi ruang untuk rapuh. Mereka kerap berdiri di garis depan: memimpin tim, mengelola bisnis, membesarkan anak, merawat orang tua, sekaligus menghadapi ekspektasi sosial yang tidak pernah benar-benar reda. Mereka dikenal kuat, tahan banting, multitasking, dan serba bisa. Namun di balik semua itu, ada kelelahan yang tak terlihat. Sebuah perjuangan mental yang senyap, namun terus-menerus menggerus dari dalam. Itulah yang disebut The Silent Struggle.
Sebagai respons atas realitas ini, Women Founders Indonesia (WFI) menghadirkan WFI Wellbeing Space dalam tajuk The Silent Struggle: Mental Health behind Women Leadership. Sebuah ruang jeda yang bukan hanya menghadirkan ketenangan, tapi juga pemaknaan baru tentang kepemimpinan perempuan. Bahwa keberanian tidak selalu berbentuk suara yang lantang; kadang ia hadir dalam keheningan. Bahwa performa sejati tak hanya diukur dari keberhasilan yang terlihat, tapi juga dari kemampuan untuk pulih, berakar, dan berkelanjutan.
Wellness dan Perempuan: Hubungan yang Lebih Dalam dari Sekadar Tren
Dalam budaya patriarkal yang selama ini memuja ketangguhan sebagai simbol kesuksesan, kebutuhan perempuan untuk rehat seringkali dianggap remeh—bahkan oleh diri mereka sendiri. Padahal, dalam konteks biologis dan psikologis, perempuan memproses stres dengan cara yang lebih kompleks. Hormon estrogen dan oksitosin membuat perempuan lebih sensitif terhadap lingkungan sosial dan beban emosional. Inilah yang membuat praktik wellness—dari mindfulness hingga self-compassion—menjadi kebutuhan yang bukan hanya personal, tapi juga struktural.
Talk show The Silent Struggle: Mental Health Behind Women Leadership menjadi titik temu dari narasi-narasi yang selama ini tersembunyi. Talissa Carmelia, psikolog klinis dari Personal Growth, mengangkat istilah invisible load—beban tak kasatmata yang ditanggung perempuan, mulai dari ekspektasi sosial hingga tanggung jawab emosional terhadap orang lain. Seringkali, perempuan merasa bersalah saat berhenti sejenak, karena merasa “tidak produktif.” Tapi justru dalam jeda itulah, ketangguhan sejati dipulihkan.
Dewi Makes, Co-Founder Plataran Indonesia, membagikan refleksi pribadinya tentang kesepian dalam pengambilan keputusan, dan bagaimana ia belajar membedakan antara tampil kuat dan benar-benar kuat. “Dulu saya kira jadi pemimpin itu harus selalu siap dan tak boleh goyah. Sekarang saya tahu, kekuatan sejati justru datang ketika kita jujur pada diri sendiri,” ucapnya.
Jeda sebagai Strategi Kepemimpinan
Dalam dunia yang memuja kecepatan dan produktivitas, mengambil waktu untuk diri sendiri sering dianggap sebagai kelemahan—terutama bagi perempuan. Padahal, dalam konteks kepemimpinan yang berkelanjutan, jeda justru adalah bentuk kekuatan baru. Ia mengembalikan kesadaran, menjernihkan pikiran, dan menyuburkan empati—tiga hal yang esensial dalam memimpin dengan hati dan visi.
“Sesi ini adalah pengingat bahwa self-care bukanlah bentuk kemewahan, tapi kebutuhan esensial,” ujar Andini Effendi, jurnalis dan entrepreneur, yang juga turut hadir sebagai host dan peserta dalam sesi refleksi ini. “Kita bisa memimpin, tapi kita juga berhak merasa lelah. Dan kita butuh ruang untuk mengakui itu.”
Komunitas sebagai Ekosistem Pemulihan
Yang tak kalah penting dalam pemulihan adalah peran komunitas. Dalam ekosistem seperti Women Founders Indonesia, perempuan tidak hanya hadir sebagai individu, tapi juga sebagai bagian dari jaringan yang saling menguatkan. Di sinilah healing menjadi kolektif, bukan lagi perjalanan yang sunyi.
Apa yang membuat jeda menjadi kekuatan adalah ketika ia dilakukan dalam ruang yang aman dan saling mendukung. Di sinilah peran Women Founders Indonesia menjadi signifikan. Dengan menginisiasi WFI Wellbeing Space, WFI tidak hanya menawarkan solusi jangka pendek, tetapi juga mengubah paradigma: bahwa keberhasilan tidak harus mengorbankan kesehatan mental, dan performa tidak harus berarti terus bergerak tanpa henti.
Fakta menarik: penelitian Harvard Business Review menyebutkan bahwa pemimpin yang rutin melakukan refleksi dan merawat diri memiliki kapasitas pengambilan keputusan yang lebih baik, empati yang lebih tinggi, serta tim yang lebih sehat secara emosional. Wellness bukan sekadar tren gaya hidup; ia adalah fondasi dari kepemimpinan yang berkelanjutan, terutama bagi perempuan yang menjalani banyak peran dalam satu waktu.
Kekuatan dalam Keheningan
Ketika matahari mulai turun, sore di Plataran Kinandari ditutup dengan sesi sound healing bersama Deece Dewayani. Denting bowls dan resonansi gong menggema dalam ruang teduh, mengundang para peserta untuk benar-benar hadir—dalam tubuh, dalam jiwa, dalam kesadaran.
“Perempuan menyimpan banyak cerita dalam tubuhnya. Sound healing membantu mereka melepaskan beban yang tak terucap,” ujar Deece. Dalam keheningan itu, tak ada tuntutan untuk menjelaskan atau memperbaiki. Hanya ruang untuk merasa.
Dari Ruang Hening Menuju Gerakan
WFI Wellbeing Space dalam tajuk The Silent Struggle: Mental Health behind Women Leadership. bukan sekadar program wellbeing, melainkan titik awal dari gerakan kecil yang sangat penting. Bahwa keberhasilan tidak harus dibayar dengan kelelahan kronis. Bahwa kelembutan bukanlah lawan dari ketangguhan. Bahwa keheningan bukanlah kemunduran, melainkan ruang untuk menyusun ulang arah. Kepemimpinan tidak selalu berarti bergerak cepat. Dan perempuan tidak harus terus membuktikan diri lewat performa tak henti.
Seperti yang diungkapkan Andini Effendi di akhir sesi, “Jangan takut untuk berhenti sejenak. Karena dalam jeda itu, kita sering menemukan kembali kekuatan kita yang paling sejati.”