LIFE

8 Maret 2023

Valentina Sagala Konsisten Mengadvokasi Undang-Undang Terkait Perempuan dan Anak-anak


Valentina Sagala Konsisten Mengadvokasi Undang-Undang Terkait Perempuan dan Anak-anak

Sosok aktivis dan pegiat hukum serta Hak Asasi Manusia yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak, Valentina Sagala secara konsisten melakukan advokasi pada undang-undang terkait perempuan dan anak-anak, perumusan kebijakan, dan penegakan hukum, serta menjalankan lembaga nonprofit yang berbasis perspektif feminis.


Aktivis kemanusiaan, advokat, penulis, dosen, sekaligus tenaga ahli dan pakar yang telah mendedikasikan hidupnya selama hampir 30 tahun di dunia hukum, kebijakan, Hak Asasi Manusia, demokrasi, gender, perlindungan anak, migrasi, perlindungan saksi dan korban, tindak pidana perdagangan manusia (human trafficking), konflik, radikalisme, serta perdamaian dan keamanan. Valentina menjadi tenaga ahli utama di berbagai lembaga nasional—kementerian atau lembaga, institusi penegak hukum, LSM, perusahaan, universitas—maupun regional dan internasional seperti misalnya United Nations, lembaga internasional, dan kerjasama antarnegara.

Perempuan kelahiran 1977 ini mengenal isu demokrasi, hak asasi manusia, serta perempuan dan anak sejak ia bersekolah di SMA Santa Ursula Jakarta pada 1995. Selain ayahnya yang memengaruhi dalam hal kebiasaan membaca buku, Valentina turut dipengaruhi oleh Kepala Sekolah SMA-nya, Sr. Francesco Marianti, OSU., yang menumbuhkan daya pikir kritis dan jiwa aktivisme dalam dirinya, sekaligus mengenalkannya dengan berbagai LSM seperti YLBHI, Kalyanamitra, dan Solidaritas Perempuan. Valentina memperoleh dua gelar sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan dan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.

Ia kemudian meraih gelar Magister Hukum dari Pascasarjana Universitas Padjajaran dan Doktor Hukum dari Universitas Jayabaya. Di bangku SMA, Valentina sudah bertemu dengan Nursyahbani Katjasungkana, Lies Marcoes, Maria Hartiningsih, dan lain-lain. Semasa kuliah, Valentina bertemu dengan Pius Lustrilanang dan bergabung dalam ALDERA (Aliansi Demokrasi Rakyat) yang semakin meneguhkan panggilan jiwa untuk menjadi aktivis demokrasi dan kemanusiaan. Peristiwa perkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 menjadi titik balik yang kemudian membuat Valentina mendirikan Institut Perempuan sebagai organisasi perempuan yang berfokus pada penegakan hak perempuan, anak, dan kelompok minoritas.

Sejak tahun 2019 Valentina Sagala menjadi tenaga ahli pemerintah di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk pembahasan Rancangan Undang- Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual hingga disahkan menjadi UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Saat ini ia menjadi tenaga ahli pemerintah untuk penyusunan peraturan pelaksanaan Undang- Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, juga menjadi tenaga ahli untuk Rancangan Undang- Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak, serta Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender.

Valentina Sagala tercatat pernah menjadi dosen di berbagai universitas, antara lain Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya. Saat ini, ia mengajar di Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Jayabaya. Valentina turut menekuni dunia tulis-menulis dengan menjadi kolumnis sekaligus Anggota Dewan Redaksi koran Sinar Harapan. Telah menulis 25 buku, buku terbaru Valentina diterbitkan Gramedia berjudul 100 Tanya Jawab Seputar Kekerasan Seksual. Valentina Sagala telah menerima berbagai penghargaan, salah satunya N-Peace Award 2013, penghargaan internasional bergengsi dari United Nations. Tahun 2014, ia dinobatkan sebagai salah satu dalam daftar The Women on the Rise yang dirilis majalah GlobeAsia dan pada 2015, Peace Women Across the Globe (PWAG) menyebut Valentina Sagala sebagai salah satu Woman of Peace.


Apa yang perlu dipahami ketika kita bicara soal kekerasan pada perempuan?

“Ketika seseorang menjadi korban, ia dan orang- orang sekitarnya harus menerima kenyataan bahwa dirinya adalah korban. Pengakuan ini penting sebagai pintu masuk untuk memperjuangkan hak dan layanan bagi korban, bukan malah menyangkal dan menghindari solusi. Gerakan #MeToo rasanya cukup membantu dalam membangun kultur perempuan agar tidak takut bersuara, meski keberanian ini harus terus- menerus diupayakan karena secara geografis Indonesia sangat luas dan ada banyak perempuan yang tinggal di pedalaman yang belum tentu mengenal visi misi yang disuarakan tagar #MeToo. Kita juga harus mengubah kekeliruan pola pikir yang menilai pelaku kekerasan seksual sebatas dari kriteria fisik tertentu. Tanamkan dalam pikiran bahwa penampilan luar—dandanan dan cara berpakaian, apakah bergaya necis atau urakan—semua itu tidak ada korelasinya dengan perilaku seseorang. Yang berpenampilan rapi menarik bisa jadi pelaku kekerasan, begitu pula perempuan berpakaian tertutup bukan mustahil menjadi korban.”


Bagaimana Anda melihat korelasi antara peningkatan kekerasan seksual dengan minimnya pendidikan seksual? 

“Memberdayakan dan mencerdaskan anak perempuan sama pentingnya dengan mendidik anak laki-laki. Para orangtua juga harus belajar dan paham soal seksualitas. Perihal edukasi seksualitas dan kesehatan reproduksi sudah semestinya masuk ke dalam kurikulum untuk diajarkan dengan bahasa komunikasi yang ‘age-appropriate’ sesuai umur si anak. Kita juga perlu mengajarkan tentang konsensual kepada anak-anak agar mereka punya keberanian untuk mengatakan ‘tidak’ dan memahami apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan orang lain kepada dirinya. Kekerasan seksual yang marak terjadi memperlihatkan suatu kultur patriarki bahwa perempuan dianggap sudah pasti mau dicium dan tidak mungkin menolak dipeluk laki-laki. Saya rasa ada keterkaitan yang sangat jelas antara pendidikan dan perilaku. Baik laki- laki maupun perempuan, harus dididik dan dilatih sejak dini agar kita selalu berusaha tidak melanggar hak orang lain.”


Mengapa terjadi kekerasan seksual dalam relasi yang intim antara korban dan pelaku?

“Peristiwa tersebut dikenal sebagai siklus kekerasan yang kerap terjadi pada hubungan dekat antara pelaku dan korban; tak hanya hubungan sedarah tapi juga relasi kenal dekat seperti orangtua dan anak, guru dan murid, hubungan dengan kekasih, paman dan keponakan, dan sebagainya. Ada empat fase dalam siklus; ketegangan yang diwarnai dengan perdebatan, fase kekerasan misalnya memukul atau memaksa persetubuhan, lantas penyesalan dan minta maaf, lalu fase ‘bulan madu’ berdamai dengan iming-iming hadiah, kemudian kembali pada fase awal. Siklus ini berputar dengan intensi kekerasan yang semakin melekat dan ketika terus terjadi, tak jarang berakhir dengan kematian. Kenapa bisa terjadi? Karena ada faktor cinta dan kasih sayang di dalam hubungan itu yang membuat korban kerap menganggap kekerasan merupakan bukti cinta dari si pelaku, ini juga membuatnya kerap sulit untuk keluar dari siklus kekerasan. Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan yang dapat terjadi dalam siklus ini.”


Perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual, dengan mayoritas pelaku laki-laki. Namun nyatanya laki-laki juga bisa menjadi korban namun sering kali tidak dianggap sebagai masalah yang serius. Mengapa demikian?

“Kekerasan adalah wujud dari ketimpangan relasi kuasa. Maka siapa pun bisa menderita, apa pun jenis kelaminnya. Namun ada cara pandang bias gender yang menganggap kekerasan seksual pada perempuan itu lumrah dan pada saat yang sama terkondisikan bahwa laki-laki seharusnya menjadi agresor. Ini salah satu faktor mengapa perempuan rentan menjadi korban. Laki-laki yang tidak berani memegang-megang perempuan akan dianggap tidak seperti laki-laki. Dan ketika laki-laki dilecehkan, dia akan tutup mulut akibat normalisasi pandangan patriarki yang memandang laki-laki sewajarnya menjadi pelaku, bukan korban. Tidak sedikit kasus laki-laki yang menderita kekerasan seksual, tapi akhirnya memilih diam karena jarang ada orang yang percaya. Kita seharusnya menyadari kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, serta mulailah fokus pada tindakan dan intensi dari perbuatannya, bukan jenis kelaminnya.”


Feminisme erat kaitannya dengan nilai keadilan dan hak asasi manusia, sesuatu yang semestinya lumrah dan diterima akal sehat. Tapi kenapa topik ini dianggap kontroversial untuk dibicarakan?

“Hal itu menunjukkan betapa masyarakat Indonesia masih sangat patriarkis. Perlu dipahami, feminisme bukan persoalan ‘perang jenis kelamin’ perempuan melawan laki-laki atau laki-laki menentang perempuan, melainkan tentang cara pandang. Perlu diketahui ada juga perempuan yang kerap membela kepentingan laki-laki. Dalam bermasyarakat, kita cenderung menyukai keharmonian. Kita senang dengan situasi ajek yang tenang. Padahal dalam ketenangan itu belum tentu ada keadilan. Karena tidak ada gejolak, maka kita berasumsi tidak ada hal yang perlu diributkan. Di sini para aktivis memainkan perannya untuk membicarakan kebenaran dan keadilan dengan kritis, serta menyadarkan masyarakat ketika ada yang keliru dan salah dalam kehidupan, maka mesti dilawan. Menjadi penting juga agar para feminis untuk tidak eksklusif, namun sebaliknya inklusif bersama gerakan lain.”