LIFE

18 Agustus 2023

Vino G. Bastian Menolak Rehat dalam Berlatih dan Berkontribusi Memajukan Perfilman Indonesia


PHOTOGRAPHY BY Zaky Akbar

Vino G. Bastian Menolak Rehat dalam Berlatih dan Berkontribusi Memajukan Perfilman Indonesia

styling Sidky Muhamadsyah; fashion Prada; grooming Ryan Ogilvy; hair Oca

Ketertarikan menulis memoar Vino G. Bastian terkait pada ingatan masa sekolah dasar saya, sekitar tahun 1994-1995. Saat itu, ayah saya memiliki beberapa buku karya penulis Bastian Tito. Bagi pencinta Wiro Sableng, pasti sangat mengenal sosok beliau, pengarang karakter Wiro Sableng yang novelnya telah dicetak hingga episode 185. Dua buku novel yang pernah tergeletak di rumah saya adalah Makam Tanpa Nisan (1989) dan Guci Setan (1984). Kendati masih kecil, ingatan itu tampaknya masih membekas di kepala saya hingga tahun-tahun berikutnya. Saya mungkin bukan penggemar karya Bastian Tito, seperti almarhum ayah saya, namun kenangan tersebut berkaitan dengan kesan yang saya peroleh ketika menyimak penampilan anaknya, Vino G. Bastian, yang boleh dibilang sama seperti ayahnya, mencintai profesi sepenuh hati dan perihal konsistensi dalam melahirkan karya-karya yang tak hanya laris tapi juga punya kesan manis bagi para penikmatnya.

Lewat film 30 Hari Mencari Cinta (2004), saya mulai mengenal sosok Vino G. Bastian yang dalam film itu ia menjadi salah satu pemeran pendukung. Penampilannya serentak menjadi viral dan membuat heboh jagat sinema. Tak sekadar meriuhkan akibat berperan sebagai laki-laki homoseksual, tapi juga mencuri perhatian karena kemampuan akting yang terbaca positif di mata penonton film Indonesia saat itu. Hasilnya tahun 2004, Vino G. Bastian memenangkan penghargaan MTV Indonesia Movie Award kategori Best Romantic Scene atas perannya di film tersebut. Karier keaktoran Vino G. Bastian merupakan perjalanan olak-alik yang menggabungkan cara bertutur dan upaya membangun ekspresi personal lewat beragam karakter yang Vino mainkan dalam berbagai judul film ataupun serial. Sebut saja Catatan Akhir Sekolah (2005), Serigala Terakhir (2009), Radit dan Jani (2008), Warkop DKI Reborn (2016), Chrisye (2017), Miracle in Cell No. 7 (2022), Qodrat (2022), Scandal Makers (2023), dan Buya Hamka (2023). Barisan film ini kemudian menobatkan Vino sebagai nominasi ataupun pemenang dalam berbagai sirkuit film bergengsi, dari Festival Film Indonesia hingga Indonesian Movie Actors Awards.

Kami berdua bertemu di tengah momen penayangan film Buya Hamka di bioskop. Bisa dibayangkan, sulit bagi saya untuk tidak mengomentari penampilan Vino G. Bastian sebagai Hamka dalam film tersebut. Mengisahkan perjalanan hidup seorang ulama, sastrawan, sekaligus pahlawan nasional Indonesia bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama pena, Hamka. Film Buya Hamka disutradarai oleh Fajar Bustomi dan dibintangi oleh Vino G. Bastian sebagai Buya Hamka dan Laudya Cynthia Bella sebagai istrinya, Sitti Raham. Sebuah film yang mengajak penonton untuk mengenal lebih dekat sosok Hamka yang memiliki pemikiran progresif dan toleran serta mengetahui kontribusinya yang penting bagi perkembangan Islam di Indonesia. Film ini menjadi layak ditonton karena menampilkan sisi lain dari sosok Hamka yang tidak hanya menjadi ulama, penulis, sekaligus politisi, tapi juga Hamka sebagai manusia biasa, seorang ayah sekaligus suami yang amat mencintai keluarganya. Sebagai informasi, Buya Hamka merupakan film trilogi, volume keduanya direncanakan tayang pada akhir tahun ini.

photography Zaky Akbar; styling Sidky Muhamadsyah; fashion Dior; grooming Ryan Ogilvy; assistant grooming Jimmy Panai.

“Sepertinya setiap aktor akan sulit untuk menolak sebuah tawaran bermain peran dengan tantangan, salah satunya Buya Hamka. Beliau sosok yang sangat multidimensi. Seorang jurnalis, sastrawan, pejuang, pahlawan nasional, ulama, sekaligus seorang kepala rumah tangga. Dimensi-dimensi ini yang membuat karakter Buya Hamka punya lapisan tantangan yang beragam. Saya merasa beruntung bisa mendapat kesempatan untuk memerankannya karena tentu pengalaman ini tidak hanya menambah pelajaran dari sisi keaktoran, tapi juga memperkaya keragaman daftar karakter yang pernah saya mainkan sebagai aktor. Dan paling penting, pengalaman memerankan Buya Hamka telah mengubah cara pandang saya terkait memimpin sebuah rumah tangga dan perihal bagaimana menjadi manusia yang berakhlak. Menarik karena film ini tidak hanya bisa dinikmati oleh orang Islam, tapi juga oleh siapa saja yang ingin mengambil inspirasi dari keteladanan Buya Hamka,” ujar Vino G. Bastian.

Ketika sedang berakting, Vino seakan melupakan dan menyingkirkan pikiran bahwa ia sedang berada dalam sebuah film. Ia mengabaikan semua aspek yang tidak relevan, yang tak ada hubungannya dengan dunia si karakter. Ia bahkan seolah tak mengiraukan kamera dan orang-orang yang ada di sekitar lokasi syuting. Vino mengikuti ruang dan waktu sang karakter lalu berimajinasi sehingga ‘pura-pura’-nya itu terlihat sempurna dan aktingnya terasa nyata dan utuh. Anda bisa menilik daya seni peran Vino dengan menyaksikan penampilannya di berbagai judul film yang tayang di platform digital ataupun di layar bioskop. Dalam film Qodrat, Vino berperan sebagai seorang ustaz pemilik ilmu rukiah yang kehilangan anaknya karena dirasuki setan. Di Miracle in Cell No.7 ia menjadi Dodo Rozak, sosok ayah penyandang disabilitas yang sangat sayang dengan anak perempuannya namun hidupnya berakhir tragis karena dihukum atas kesalahan yang tak pernah ia perbuat. Di Perfect Strangers, Vino adalah tipikal laki- laki sekaligus teman yang menyenangkan tapi ada suatu rahasia yang ia sembunyikan dari teman-temannya.

photography Zaky Akbar; styling Sidky Muhamadsyah; fashion Dior; grooming Ryan Ogilvy; assistant grooming Jimmy Panai.

Jika di awal karier Vino kerap berperan sebagai remaja berjiwa bebas, lain halnya saat laki-laki kelahiran 1982 ini kian dewasa nan mendambakan tantangan lebih. Beberapa kali ia memerankan tokoh-tokoh penting dan legendaris. Kalaupun fiktif, karakter yang dimainkannya terbilang berhasil menyentuh hati penonton, sebagaimana terjadi pada karakter Dodo Rozak. “Sebagai aktor, saya tidak bisa memilih peran atau karakter seperti apa yang akan datang kepada saya. Saya sendiri tidak pernah secara sengaja memilih-milih, beruntung saya dikasih kesempatan untuk memerankan karakter yang tidak hanya beragam tapi juga berkesan. Yang pasti, saya berusaha memaksimalkan kemampuan akting setiap saya memasuki karakter baru. Berawal dari penelitian panjang, riset, pembacaan karakter secara komprehensif, yang pada akhirnya bertujuan agar saya bisa menghidupkan karakter tersebut. Saya ingin apa yang saya bawakan melalui seni peran segala sesuatunya harus masuk akal, terasa logis, dan mesti bisa dipercaya oleh mata penonton. Dan ketika penonton percaya dengan apa yang mereka lihat, saat saya berubah-ubah mengikuti karakter lalu dianggap ‘believable’, maka itu menjadi kesenangan tak terkira yang membuat saya selalu bersemangat untuk mencoba peran-peran lain,” ujarnya.

Kelogisan berpikir dan kemampuan mengedepankan nalar mulai dipegang sebagai prinsip manakala Vino kuliah Teknik Kimia di Institut Teknologi Indonesia. Sejak SMA, ia gemar mata pelajaran Kimia lalu berhasil menyelesaikan studi Teknik Kimia yang nyatanya juga menuntut kemampuan dalam matematika dan fisika. Lulus kuliah, Vino sempat bekerja di perusahaan industri minuman. Satu tahun menjadi pegawai kantoran, ia melamar ke salah satu perusahaan minyak terbesar. Namun kabar bahwa ia diterima kerja bahkan akan dikirim pelatihan di luar negeri datang terlambat satu minggu usai Vino menandatangani kontrak film Catatan Akhir Sekolah. “Saya ingat kata ayah saya, kita tidak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Banyak persimpangan hidup yang bikin kita harus selalu memilih. Dan rasanya tidak ada pilihan yang salah, semua bisa benar atau keliru, tergantung apakah kita menjalani pilihan dengan sepenuh hati dan bertanggung jawab terhadap pilihan itu. Tahun-tahun bergulir, melepaskan dunia kerja kantoran lalu memilih menjadi aktor akhirnya malah membuat saya sangat bersyukur bisa punya tempat di dunia perfilman. Kendati demikian, saya merasakan besarnya pengaruh pendidikan akademis dalam membentuk pola pikir dan perspektif saya sebagai pekerja seni. Sejak kuliah saya terbiasa dengan sistem kerja yang logis, semuanya harus melewati riset, setiap pernyataan harus bisa dipertanyakan, dan cara-cara berpikir demikian akhirnya terbawa ketika kini saya menekuni seni peran,” ungkap Vino.


Masuk ke industri perfilman bukan hanya mempertemukan Vino G. Bastian dengan sang kekasih hati, istri sekaligus aktor kenamaan Marsha Timothy, tapi juga menempatkan namanya sebagai salah satu aktor terbaik yang dimiliki industri ini. Namun kita tentu setuju, Vino G. Bastian bukan satu-satunya bintang film yang digandrungi dan tidak hanya Vino yang namanya seliweran di daftar film-film laris Indonesia. Tak pelak, kompetisi dalam perjalanan karier adalah sebuah keniscayaan. Di satu sisi, persaingan bisa memicu gairah agar kita terus-menerus berupaya menjadi lebih baik dari hari ke hari. Namun di sisi lain, rivalitas juga dapat menampakkan sebuah kenyataan bahwa kadang kala orang lain bisa lebih hebat daripada diri kita. “Sama kayak pemain bola, Ronaldo dan Lionel Messi, sampai kapan pun mereka akan terus dibanding-bandingkan oleh para penikmat sepak bola, padahal keduanya sama-sama hebat dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Begitu pun di bidang pekerjaan lainnya, termasuk dunia film, saya sendiri tidak pernah menganggap aktor-aktor lain adalah saingan yang bikin saya harus berkompetisi, mereka teman-teman sekaligus rekan kerja yang mana kita semua sama-sama saling belajar dan berkarya untuk satu tujuan, memajukan perfilman Indonesia,” ucap Vino.

Bicara bintang film, maka tidak akan lepas dari fans alias budaya penggemar yang menjadi bagian penting dari perjalanan karier seorang pelaku di industri hiburan. Terlebih kehadiran industri 4.0 yang membawa ruang baru bagi pengembangan relasi artis dan penggemar lewat media sosial. Maka menarik untuk membaca bagaimana para penggemar Vino G. Bastian begitu setia mengikuti sepak terjang karier sang aktor. Bukan satu-dua tahun lalu mereka terbentuk, melainkan 14 tahun silam komunitas VGB Friends didirikan oleh para penggemar Vino yang keberadaannya tersebar di beberapa kota di Indonesia. Dinamakan VGB Friends karena Vino menganggap komunitas ini lebih dari sekadar sekumpulan orang-orang yang mengidolakan dirinya, melainkan sebuah komunitas dan jaringan pertemanan yang bisa diajak bertukar pikiran dan berbagi cerita.

photography Zaky Akbar; styling Sidky Muhamadsyah; fashion Prada; grooming Ryan Ogilvy; assistant grooming Jimmy Panai.

“Rasanya tidak gampang mendapat kenalan dan teman yang setia menggemari dan mengikuti perjalanan kita dari tahun ke tahun. Saya beruntung punya teman-teman yang tidak hanya sekadar mengidolakan dan memuji, tapi juga bisa sangat kritis terhadap setiap penampilan saya. Orang-orang yang mengikuti perjalanan karier, sampai akhirnya mereka bisa cukup objektif untuk menyampaikan kritik dan saran. Sebuah dukungan yang datang dari hati, bukan semata-mata cinta buta apalagi menggemari sebatas penampilan fisik. Meskipun keberadaan para fans tidak serta merta dan sepenuhnya menjadi jaminan bahwa film-film yang dimainkan sudah pasti akan laris, namun kehadiran penggemar menjadi sesuatu yang penting untuk dijaga buat saya pribadi. Mereka salah satu yang membuat saya tetap bersemangat untuk konsisten berkarya di dunia film. Dan mereka juga yang membuat saya selalu ingin mengambil peran yang beragam yang dipilih dengan baik dan bijak karena saya menyadari saya berkarya bukan hanya buat diri sendiri, tapi juga untuk para penggemar yang sudah menaruh rasa cinta dan kepercayaan sekaligus tanggung jawab untuk menaruh rasa hormat kepada profesi aktor dan industri perfilman Indonesia,” pungkas Vino G. Bastian.